Analisis Komparatif Politik

Oleh: Muhammad Aditya Pradana

Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIVERSITAS INDONESIA 2017

 

Derita Rohingya seperti tiada akhir, banyak isu-isu yang berkembang terkait mengenai asal muasal konflik yang terjadi di Myanmar Utara, tepatnya di negara bagian Rakhine ini. Dari isu gerakan separatis, konflik agama, genosida, sampai isu kepentingan geopolitik di wilayah Rakhine yang konon mempunyai kekayaan sumber daya alam mineral yang melimpah di dalamnya. Gelombang arus ribuan pengungsi Rohingya yang mencari perlindungan ke negara-negara tetangga di sekitar Asia Tenggara, sejatinya menjadi permasalahan yang harus dihadapi bersama diantara negara-negara yang tergabung dalam kelompok ASEAN.

Sikap dari negara-negara yang menjadi tujuan eksodus pengungsi Rohingya ini menarik untuk di analisis singkat dengan menggunakan pendekatan institusional, melalui negara-negara yang terlibat, di kombinasi dengan pendekatan behavioral dari aktor-aktor politik didalamnya, yang bertujuan sebagai perbandingan politik perihal kebijakan-kebijakan luar negeri serta langkah-langkah yang diambil oleh negara-negara anggota ASEAN tersebut. Dalam hal ini sikap dari pemerintah Indonesia dan Malaysia, perihal usaha-usahanya dalam menghadapi persoalan mengenai pengungsi Rohingya, serta sejauh mana kedua negara tersebut memberikan pengaruhnya kepada Aung San Suu Kyi dan pemerintahan Myanmar.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

 

Mengapa Etnis Rohingya Seakan Sulit Mendapatkan Dukungan Internasional?

Pemerintah Myanmar tidak mau memberikan kewarganegaraan kepada etnis Rohingya karena Rohingya bukan merupakan orang Burma asli, Rohingya dianggap sebagai pendatang gelap jika dirunut melalui sejarahnya di Myanmar. Meskipun orang Rohingya sudah ada di Rakhine secara turun temurun, nama etnik Rohingya tidak tercantum dalam daftar 135 etnik yang diakui pemerintah berdasarkan undang-undang kewarganegaraan tahun 1982. Pemerintahan maupun masyarakat Myanmar juga tidak biasa menggunakan kata Rohingya ketika menyebut kelompok etnik yang sebagian besar hidup dan tinggal di wilayah Rakhine ini, lazimnya mereka menyebutnya dengan sebutan ‘orang Bengali atau orang Muslim’.

Sekjen PBB, Antonio Guterres, menyebut situasi Rohingya sebagai sebuah tragedi dan Myanmar harus menghentikan kekerasan di negara bagian Rakhine. Beliau juga menambahkan, bahwa pengungsian sekitar sepertiga umat Muslim Rohingya menunjukkan terjadinya pembersihan etnis, sekaligus memperingatkan bahwa krisis itu menciptakan ketidakstabilan kawasan. Dalam keterangan persnya di New York, Guterres meminta pihak berwenang Myanmar menangguhkan aksi militer, mengakhiri kekerasan, dan menegakkan hukum serta mengakui hak untuk kembali bagi semua yang sudah meninggalkan negara itu. (BBC, 14 September 2017)

Menurut Deputi Juru Bicara PBB, Farhan Haq mengatakan jika dikalkulasikan dengan gelombang pengungsi yang melarikan diri sebelumnya, jumlah total pengungsi Rohingya di Bangladesh diyakini lebih dari 700.000 orang. Ini adalah gerakan pengungsi massal terbesar di kawasan ini dalam beberapa dasawarsa. (New York Times, 29 September, 2017) Tentunya data tersebut belum termasuk jumlah pengungsi yang melarikan diri ke negara-negara kawasan ASEAN lainnya seperti Indonesia dan Malaysia, serta para pengungsi yang mati atau tenggelam di lautan saat mencoba melarikan diri dari Rakhine. Ditengah kecaman dunia internasional, pemerintah Myanmar mengklaim bahwa masalah etnis Rohingya ini adalah konflik interen, etnis Rohingya dianggap melakukan aksi separatis. Dunia internasional kembali bias dalam melihat konflik yang terjadi ini, karena aksi separatis tidak akan mendapat dukungan dari negara manapun.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Ironisnya pemimpin Myanmar secara de facto, Aung San Suu Kyi yang merupakan ikon pejuang demokrasi sekaligus peraih penghargaan Nobel Perdamaian serta simbol kebebasan dan pelindung bagi Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1991, hanya diam saat diklarifikasi mengenai konflik yang terjadi, muncul tekanan dari dunia internasional agar Nobel Perdamaian yang diraih Suu Kyi ini dicabut kembali oleh Komite Nobel.

============================================================
============================================================
============================================================