Oleh: 
Yuska Apitya Aji Iswanto, S.Sos
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Pamulang (Unpam) Tangerang Selatan. **)
 
Pergolakan politik di internal Golkar pasca penahanan Ketua DPR RI, Setya Novanto (SN), terkait kasus korupsi proyek E-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kian memanas. Gelombang desakan dari internal agar SN mengundurkan diri dari kursi Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR RI kian membesar. Sebagai puncaknya, tongkat kepemimpinan Golkar diambil alih sementara oleh Idrus Marham (Sekjen Golkar). Lantas, bagaimana dengan nasib kursi pimpinan DPR RI?
Dengan berbagai intrik, SN akhirnya bersedia mundur dari jabatannya sebagai ketua DPR. Dari dalam Rumah Tahanan (Rutan) KPK, tersangka kasus korupsi proyek e-KTP itu mengirimkan surat pengunduran diri kepada Fraksi Partai Golkar di DPR. Namun, dalam surat pengunduran diri tersebut, Novanto turut menunjuk Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Partai Golkar Aziz Syamsuddin menggantikan posisinya.
Usulan SN dengan memasang Azis sebagai bakal Ketua DPR RI tersebut menuai pergolakan di internal Partai Golkar. Hampir seluruh Pengurus Harian DPP Golkar menolak meneken usulan SN tersebut. Aksi penolakan terhadap Azis juga dilakukan oleh Badan Musyawarah (Banmus) DPR RI. Hampir seluruh perwakilan fraksi menolak Azis menggantikan SN sebagai Ketua DPR RI.
Jika ditinjau dari legalitas, mengenai pergantian Ketua DPR diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3). Selain itu, ada juga Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR yang mengatur soal pengunduran diri dan pergantian Ketua DPR.

Di UU MD3, aturan itu ada di Pasal 87 ayat (1). Dalam pasal itu disebutkan ‘Pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan’. Pasal 87 ayat (2) huruf b menyatakan Pimpinan DPR diberhentikan karena ‘melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Kehormatan DPR’.

Kemudian untuk seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya, Pasal 87 ayat (3) menyatakan pimpinan yang lain menetapkan salah seorang dari mereka untuk melaksanakan tugas dari Pimpinan DPR yang berhenti itu. Lalu pada Pasal 87 ayat (4) menjelaskan bahwa pengganti Pimpinan DPR akan berasal dari fraksi partai yang sama. Ketentuan lebih lanjut lagi soal tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan DPR dalam Pasal 88 UU MD3 disebutkan diatur lebih lanjut dalam peraturan DPR tentang tata tertib. Secara spesifik, aturan itu ada di Pasal 46 Peraturan DPR dan Tata Tertib. 
Bunyi aturan soal penggantian pimpinan DPR itu adalah sebagai berikut:
(1) Dalam hal ketua/atau wakil ketua DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 34, DPR secepatnya mengadakan penggantian
(2) Dalam hal penggantian pimpinan DPR tidak dilakukan secara keseluruhan, salah seorang pimpinan DPR meminta nama pengganti ketua dan/atau wakil ketua DPR meminta nama pengganti ketua dan/atau wakil ketua DPR yang berhenti kepada partai politik yang bersangkutan melalui Fraksi
(3) Pimpinan partai politik melalui Fraksinya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan nama pengganti ketua dan/ atau wakil ketua DPR kepada pimpinan DPR
(4) Pimpinan DPR menyampaikan nama pengganti ketua dan/atau wakil ketua DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam rapat paripurna DPR untuk ditetapkan.
Jika mengacu dari pasal tersebut, SN sebagai ketua DPR dapat saja diganti oleh wakil ketua DPR lainnya menjabat ketua DPR dari fraksi berbeda tetapi tidak dimaksudkan mengganti fraksi lain dari paket pimpinan DPR yang terpilih. Fadli Zon sebagai wakil ketua dapat saja diangkat menjadi ketua DPR dari fraksi Gerindra, sementara pengganti SN menjabat wakil ketua DPR. Yang salah kalau fraksi PDI Perjuangan atau fraksi Nasdem mau masuk menggantikan paket pimpinan yang sudah terpilih sebelumnya dalam rapat paripurna.
Karena itu, Pasal 28 Peraturan DPR No. 1 tahun 2014 mengatur tata cara pemilihan pimpinan DPR dan bukan tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua DPR. Sehingga, sangat berbeda makna gramatikalnya antara memilih pimpinan DPR dan memilih ketua dan wakil ketua DPR karena perubahan imbuhan, pengulangan atau pemajemukan yang terikat pada konteks pemakaiannya.
Penahanan SN dalam kasus korupsi proyek EKTP jelas mengganggu sifat kolektif kolegial dengan ketidakhadiran seorang pimpinan DPR apalagi berkedudukan sebagai ketua DPR. Kehilangan 1 (satu) pimpinan justru menghilangkan makna gramatikal kepemimpinan atas mandat Pasal 86 UU MD3 yang mengatur tugas pimpinan DPR.
Keputusan SN dengan mengundurkan diri dan menunjuk saudara Azis Syamsuddin sebagai penggantinya ketua DPR tidak saja melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan tetapi juga aturan internal (AD/ART) Partai Golkar dan kesepakatan Pleno Internal Partai. Khususnya secara etika dan moral dalam kehidupan pengelolaan negara karena DPR adalah lembaga negara dan Partai Golkar adalah milik publik dan bukan milik SN secara perseorangan.
Penulis berargumen, pergantian kursi Ketua DPR menunggu Hasil Munaslub Golkar atau (jika memungkinkan) DPP Golkar menggelar kembali rapat pleno dengan keputusan yang bulat sesuai AD/ART Golkar untuk memutuskan siapa yang cocok untuk menggantikan SN sebagai Ketua DPR RI. Dengan usulan yang bulat ini diharapkan semua anggota Fraksi Golkar mampu melakukan lobi politik ke semua fraksi di DPR agar tercapai keputusan kolektif untuk memilih  pimpinan DPR yang kredibel, terpercaya, antikorupsi dan diterima semua fraksi di DPR RI.(*)
BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR
============================================================
============================================================
============================================================