Oleh : Rr Vincie Apriany, SST

(Statistisi BPS Kota Bogor, Alumnus STIS Jakarta)

Pada awal Agustus lalu, ada ekonom yang berkomentar bahwa inflasi Juli berasa telur dan ayam. Hal ini tidak dapat dipungkiri, mengingat telur dan ayam adalah dua komoditas pemberi kontribusi terbesar inflasi yang terjadi pada bulan Juli lalu. Tepat 1 Agustus 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka inflasi Juli 2018 sebesar 0,28 persen. Menurut BPS, inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran. Kelompok bahan makanan memberikan andil terbesar (0,86%). Komoditas yang dominan memberikan kontribusi inflasi pada kelompok ini adalah telur ayam ras (0,08%) dan daging ayam ras (0,07%). Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi?

Ada beberapa hipotesis yang dikemukakan oleh para ekonom, tiga diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, kenaikan harga telur dan ayam merupakan siklus tahunan. Kedua, akibat terjadinya pelemahan rupiah. Harga pakan ternak, vitamin dan obat-obatan melambung karena mayoritas bahan baku pakan ternak, vitamin dan obat-obatan berasal dari impor. Biaya produksi meningkat dan berdampak pada kenaikan harga jualnya ke konsumen. Hipotesis lainnya adalah, terjadinya penurunan supplay telur dan ayam akibat larangan penggunaan antibiotic growth promotor (AGP) oleh Pemerintah berdasarkan seruan PBB.

BACA JUGA :  Menu Sahur dengan Sambal Goreng Tahu dan Krecek yang Pedas dan Gurih Bikin Nagih

Paradigma Harvard (SCP)

By theory, inflasi berkaitan erat dengan supplay dan demand. Sederhananya, apabila supplay suatu komoditas terhambat dan berkurang, dengan asumsi ceteris paribus (antara lain demand dalam kondisi konstan) maka pasar akan bereaksi, harga komoditas tersebut naik, terjadilah inflasi, dan sebaliknya. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa faktor-faktor penentu supply adalah: harga jual konsumen, harga faktor produksi, teknologi produksi, jumlah produsen, dan kebijakan pemerintah. Jumlah produsen akan menentukan struktur pasar. Struktur pasar kaitannya dengan inflasi, dapat dipelajari dengan teorema yang ada, salah satunya adalah Paradigma Harvard.

BACA JUGA :  Jadwal Pertandingan Wakil Indonesia di Final Swiss Open 2024

Mason (1930) dari Universitas Harvard, membangun sebuah kerangka formal yang berisi atribut-atribut pasar. Kerangka model tersebut dikenal dengan kerangka structure-conduct-performance (SCP). Pola hubungan linier yang sederhana ini, menempatkan struktur sebagai pengaruh utama dari keberhasilan fungsi pasar. Pantas saja Sheperd (1990) berpendapat bahwa struktur pasar akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam membuat keputusan untuk berkompetisi atau berkolusi menetapkan harga pasar. Menurutnya, tingkat konsentrasi yang tinggi akan mendorong perusahaan untuk melakukan kolusi, biasa dikenal dengan kartel (harga, produksi dan pemasaran) untuk menentukan kinerja yang dicapai, merebut pangsa pasar, menguasai pasar, dan menentukan harga di pasar (price setter). Sejalan dengan Mason dan Sheperd, Jacquemin (2000) menyatakan bahwa formula SCP lebih menekankan pada analisis struktur pasar dan hubungan langsungnya dengan kinerja. Ukuran kinerja dengan pendekatan tingkat keuntungan. Tentunya dengan tujuan high profit, namun pada akhirnya menyebabkan inflasi.

Struktur Pasar

============================================================
============================================================
============================================================