Oleh : Ainun Fiki (Mahasiswa Fakultas Pertanian IPB)

Tok. RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang. Perjuangan kelam terkait isi UU yang disahkan masih terasakan oleh masyarakat dengan ketidak berpihakannya pada rakyat. Pertanahan pun membelenggu dalam coretan isi UU Cipta Kerja. Terkait pertanahan sampai saat ini masih belum jelas, dialog publik sudah dilakukan namun masih ada pertanyaan yang masih belum terjawab. Subtansi bidang pertanahan masih dipertanyakan, khususnya bank tanah (BT), hak pengelolaan ( HPL), dan HGU, seperti falsafah, tujuan regulasi, kelembagaan dan pengelolaan. Pemaksaan dalam pencetusanUU Cipta Kerja semakin terlihat nyata, dengan adanya kerancuan dalam UU yang membahas terkait pertanahan. BT yang di sepakati dalam panja meliputi menyediakan dan mengelolah tanah-tanah yang di himpun sebelum disalurkan, yang pada akhirnya akan menyebabkan tumpang tindih peraturan, perlu di ketahui bahwa alasan mendasar yang melandasi usulan BT ialah rancangan pembangunan jangka menengah nasional (RPPJMN) 2015-2019. Usulan terkait pembahasan dan kelanjutan BT (Maria Sumardjono, Kompas 22/2 dan 5/10/2020), mengusulkan bisa dibentuk badan layanan umum (BLU) di bawah Kementerian keuangan untuk menghimpun tanah-tanah negara (aset) yang kemudian di salurkan dengan berbagai tujuan. Landasan BLU jelas yaitu terkandung dalam UU Nomor 1 tahun 2004 tentang pembendaharaan negara Jo PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan BLU dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Peraturan yang menaungi HPL mutlak mengkhianati isi prinsip-prinsip UU Pokok Agraria, hal tersebut di kemukakan dalam rumusan jangka waktu hak guna usaha (HGU) yang memberikan ijin atas HPL selama 90 tahun jelas bertentangan dengan keputusan MK No. 21-22/PUU-V/2007.
BACA JUGA :  Tes Kepribadian: Sifat dan Karakter Tersembunyi Seseorang Diungkap dari Bentuk Kaki
============================================================
============================================================
============================================================