BOGOR TODAY – Ketika kita bicara sejarah Bogor, selalu saja dihubungkan dengan masa keemasan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Menurut sejarah (Saleh Danasasmita 1983) dikupas panjang lebar dalam buku tersebut tentang sepak terjang kerajaan ini sejak kepindahannya dari galuh Ciamis ke Bogor dan penobatan Sribaduga Maharaja Pajajaran,   kemudian dikenal sebagai Prabu Siliwangi bertepatan dengan Tanggal 3 Juni 1482. Boleh jadi kemudian tanggal dan tahun tersebut dijadikan sebagai titik awal perjalanan sejarah pemerintahan di Bogor.

Secara umum dan politis diakui, cikal bakal Kota Bogor adalah Pakuan Pajajaran yang merupakan Ibukota Kerajaan Hindu di Jawa Barat. Namun sebagai kota modern, Bogor baru lahir seiring dengan pembangunan  Vila Buitenzorg  pada tahun 1745, atas prakarsa Gubernur Jenderal Gustaf Wiliam Baron van Imhof yang memerintah antara tahun 1743 -1750, ini adalah sebuah peristiwa penting dan bersejarah bagi Kota Bogor.

Pada era tahun 1745 sampai dengan tahun 1808, Buitenzorg (Bogor) langsung menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Para Gubernur Jenderal tidak lagi mau menempati Istana di Jakarta, mereka memilih menjalankan roda pemerintahan Kolonial di era tersebut di Buitenzorg (walau tidak secara resmi).

Menurut catatan paling tidak ada 9 orang Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebelum Daendels,  sudah bertempat tinggal di cikal bakal Istana Bogor ini. Kendati peresmian sebenarnya baru berlangsung pada tahun 1866 melalui surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.11 tahun 1866. Status ini berlangsung sampai dengan masa Pendudukan Jepang. Bahkan, status Buitenzorg (Kota Bogor) tidak hanya sebatas itu saja, menyusul keputusan pemindahan pusat admisitratif Hindia Belanda ke kota ini dengan didirikannya kantor Algemeene Secretarie pada tahun 1888.

Baca juga : DPRD TERBITKAN PERDA PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO

Pada tahun 1905 adalah sebuah episode baru dalam perkembangan Buitenzorg (Kota Bogor),  karena sejak tahun itu, Buitenzorg secara administratif resmi lepas dari Batavia dan diberikan otonomi tersendiri berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.208 tahun 1905. Sejak saat itu pula secara resmi berdiri sebuah pemerintahan otonom yakni sebuah Stadsgemeente  (Pemerintah Kota).

Adanya surat penetapan tersebut menjadikan Bogor sebagai salah satu pemerintahan kota yang cukup tua di Indonesia, bahkan lebih tua dari Kota Bandung yang baru ditetapkan sebagai Stadsgemeente satu tahun kemudian (1906).  Gemeente Buitenzorg dengan seorang Burgemeenter (Wali Kota) kala itu yakni  Mr. Bagchus (1920 – 1927) dan corak pemerintahan ini berlangsung sampai dengan masa Pendudukan Jepang.

BACA JUGA :  Rendah Fluktosa, 4 Makanan ini Baik untuk Penderita Diabetes

Sejak proklamasi kemerdekaan RI (17 Agustus 1945) disusul periode revolusi, kota-kota otonom diseluruh Indonesia termasuk Bogor pada umumnya diduduki Belanda. Pada tahun itu pula terbitlah Undang-Undang No. 1 tahun 1945 tentang pemerintahan yang erat kaitannya dengan pemerintahan daerah. Menurut catatan sejarah tentang Kota Bogor, bahwa Wali kota Bogor yang pertama kali bertugas me­mim­pin pemerintahan setelah terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia pada tahun 1945 adalah R. Odang Prawiradirja.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950,  Gemeente Buitenzorg ber­ganti nama menjadi Pemerintah Kota Besar Bogor. Lalu kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, nama Peme­rintah Kota Besar berubah menjadi Pe­­merintah Kota Praja. Berikutnya, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menetapkan penggantian nama Pemerintah Kota Praja menjadi Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II, kemudian kembali berubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,  Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II menjadi Pemerintah Kota sampai dengan sekarang.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Menurut  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, di­sebutkan bahwa Pemerintah Daerah ada­lah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Ketua DPRD berasal dari anggota DPRD dan dipilih oleh anggota DPRD, Sedangkan Kepala Daerah (Wali Kota) karena jabatannya juga sebagai Ketua dan anggota DPD .

Fluktuasi kondisi negara pada waktu itu, banyak berpengaruh pada perubahan struktural pemerintahan dan juga lembaga legislatif. Perubahan-perubahan nama terjadi pada lembaga-lembaga pemerintahan se­perti sebutan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, mula-mula DPRD Sementara (DPRDS), kemudian DPRD Peralihan (DPRDP), lalu kembali DPRD. Setelah terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959, sebutan DPRD menjadi DPRD Gotong Royong (DPRDGR).

Sementara itu, istilah Pemerintah Daerah juga berubahubah sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku pada waktu itu. Sebutan  untuk Pemerintah Daerah, pada mulanya Gemeente, kemudian menjadi Pemerintah Kota Praja (Undang-Undang No. 1 Tahun 1957), Pemerintah Kota Besar (Undang-Undang No.18 Tahun 1965), Pemerintah Kotamadya  Daerah Tingkat II ( Undang-Undang No. 5 tahun 1974), kemudian kembali berubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,  Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II menjadi Pemerintah Kota sampai dengan sekarang.

BACA JUGA :  Cemilan Simple dengan Cireng Empuk Renyah dengan Bahan Murah Meriah

Baca juga : DPRD TELAH MENETAPKAN EMPAT RAPERDA MENJADI PERDA

Pada tahun pertama berdirinya Republik Indonesia, istilah DPRD Kota Bogor memang belum ada. Meski demikian, hal ini tidak  berarti bahwa tidak terdapat lembaga legislatif semacam DPRD. Pada tahun awal kemerdekaan lembaga legislatif sesungguhnya telah lahir berdasarkan Undang-undang No 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan daerah.

Seperti diterangkan diatas, menurut  Undang-Undang No. 22 tahun 1948 yang disebut Pemerintah Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Selanjutnya, pada masa transisi setelah kembalinya status Republik   Indonesia Serikat ke dalam NKRI, di  Kota Bogor dibentuk DPRD Sementara dan dipimpin langsung oleh Ketua DPD yakni Walikota. Istilah DPRD Kota Bogor  baru dikenal setelah terbitnya Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan dalam Daerah Istimewa Yogjakarta.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 1950 ini secara resmi mencabut  Undang-undang (Ordonantie) Pembentukan Kota Surabaja (Stbl. 1928 No. 504), Kota Malang (Stbl. 1928 No. 501), Kota Madiun (Stbl. 1928 No. 449), Kota Kediri (Stbl. 1928 No. 498), Kota Semarang (Stbl. 1929 No. 390), Kota Pekalongan (Stbl. 1929 No. 392), Kota Bandung (Stbl. 1926 No. 369), Kota Bogor (Stbl. 1926 No. 368), Kota Cirebon (Stbl. 19 No. 370), Kota Jogjakarta (Undang-undang No. 17 tahun 1947) dan Kota Surakarta (Undang-undang No. 16 tahun 1947).

Undang-Undang tersebut juga menetapkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) Kota Besar dan jumlah Anggota DPRDS  Kota Besar, yakni :

1. Kota Surabaya terdiri dari 25 kursi ,

2. Kota Malang (20 Kursi),

3. Kota Madiun (15 Kursi),

4. Kota Kediri (15 Kursi),

5. Kota Semarang (25 Kursi),

6. Kota Pekalongan (15 Kursi),

7. Kota Bandung (25 Kursi),

============================================================
============================================================
============================================================