diah pitaloka
Diah Pitaloka saat menghadiri diskusi dengan tajuk ‘Stop Kekerasan Seksual di Sekitar Kita! Dengar, Peduli dan Respons (DPR) dalam rangka Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan’ di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (26/11/2021).

BOGOR-TODAY.COM, JAKARTADewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus berupaya mendengar dan merespons kegelisahan publik terkait persoalan isu kekerasan seksual. Dengan demikian, Rencana Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi salah satu bentuk kepedulian lembaga perwakilan rakyat untuk mewadahi aspirasi publik.

Oleh karena itu, DPR RI menggelar diskusi dengan tajuk ‘Stop Kekerasan Seksual di Sekitar Kita! Dengar, Peduli dan Respons (DPR) dalam rangka Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan’ di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (26/11/2021).

Melansir dari Youtube Chanell DPR RI, Sabtu (27/11/2021) Ketua Presedium Kaukus Perempuan Parlemen, Diah Pitaloka menyebutkan bahwa RUU TPKS ini sangat identik dengan perempuan, hingga perlu diperjuangkan oleh seluruh Anggota DPR RI.

Pasalnya, kata Diah data yang ada saat ini tindakan kekerasan seksual di Indonesia itu lebih banyak terjadi kepada kaum perempuan.

“Jika kita cek data itu 90 persen korbannya perempuan, dan tindakan kekerasan seksual itu 90 persen itu terhadap perempuan,” kata Diah Pitaloka dalam diskusi media DPR-RI dengan tema ‘Stop Kekerasan Seksual di Sekitar Kita’.

Politisi PDI Perjuangan itu menambahkan kebijakan tindakan memberikan kompensasi kepada kaum perempuan yang selama ini menjadi korban diskriminasi sangat diperlukan dalam ruang politik di DPR RI, hingga semangat perjuangan untuk emansipasi perempuan itu tidak boleh surut.

“Ini tentu korelasi dengan semangat Affirmative action yang memperjuangkan ruang politik bagi perempuan, termasuk juga dengan lembaga legislatif dan kita merasa ini bagian dari dorongan orientasi kita untuk juga memperjuangkan nasib kaum perempuan, termasuk di Gedung DPR/MPR ini,” ucapnya.

BACA JUGA :  Cek Lokasi SIM Keliling Kota Bogor, Kamis 18 April 2024

Dijelaskan Diah, masalah emansipasi yang diperjuangkan saat ini bagian dari agenda demokrasi, dimana narasi soal diskriminasi harus diperjuangkan oleh semua pihak.

“Jadi satu yang menjadi catatan menurut saya dalam ruang demokrasi kita, jika emansipasi itu adalah agenda subtansi dari demokrasi, dan diskriminasi juga saya rasa emansipasi, diskriminasi itu narasi yang tidak boleh surut harus tetap hidup dalam perjuangan di gedung dpr mpr ini,” jelasnya.

Oleh sebab itu, gerakan perjuangan emansipasi yang identik dengan perempuan itu tidak hanya diperjuangkan oleh perempuan, tetapi juga dilakukan oleh Anggota DPR RI laki-laki karena hal tersebut adalah semangat demokrasi.

“Kita tentu berharap ini tidak identik menyuarakan perempuan itu perempuan. Tapi juga laki-laki gitu, otomatis itu hanya kewajiban perempuan karena agenda emansipasi itu adalah juga dimiliki oleh laki-laki sebagai bagian dari semangat demokrasi,” ungkapnya.

Diakui Diah Pitaloka, perjuangan emansipasi dan diskriminasi terhadap perempuan sejauh ini sudah sering disuarakan oleh para politisi perempuan di DPR dan DPD RI.

Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Abby Gina Boang Manalu yang menjadi moderator menyebut, tingginya kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah menjadi fenomena gunung es. Masyarakat menantikan regulasi yang komprehensif untuk melindungi korban-korban kekerasan seksual.

BACA JUGA :  Kamu Penderita Diabetes tapi Ingin Makanan Manis? Coba Japanese Vanilla Cake Roll Ini

“Menurut data Komnas Perempuan, kekerasan seksual yang paling banyak jumlahnya kedua tertinggi dibanding kekerasan yang lainnya. Harapan dari masyarakat bagaimana ada sebuah hukum yang mengatur dan menangani hal tersebut secara komprehensif karena dari berbagai data menunjukkan banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang sulit diproses,” ujar Gina.

Jurnal Perempuan melihat banyaknya korban yang enggan melaporkan kekerasan seksual karena masalah sosial kultural di masyarakat. Gina memberi contoh, saat korban justru disalahkan ketika mengaku mendapat tindak kekerasan seksual.

“Sistem hukum kita yang belum mengenal persoalan itu sehingga korban seringkali mengalami reviktimisasi. Maka kita punya harapan yang besar dengan RUU TPKS,” ucapnya.

Ketua Panja RUU TPKS DPR RI, Willy Aditya mengungkap substansi dari RUU ini. Ia mengatakan, RUU TPKS dibutuhkan sebagai bentuk perlindungan terhadap korban sebab undang-undang yang ada saat ini seperti KUHP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perkawinan, UU ITE, hingga UU tentang Pornografi belum bisa menjadi payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.

“RUU TPKS dibutuhkan dalam dua ranah. Pertama bagaimana korban mendapat keadilan dan perlindungan, agar aparat penegak hukum, khususnya polisi dan jaksa punya legal standing dalam menindak,” sebut Willy.

============================================================
============================================================
============================================================