GUBERNUR Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengingatkan, perekonomian Indonesia tahun depan masih akan menghadapi ketidakpas tian perekonomian global.
YUSKA APITYA AJI
[email protected]
Setidaknya setidaknya terÂdapat tiga risiko utama yang perlu diantisipasi baik oleh otoritas moneter maupun pemerintah,’’ kata Agus Martowardojo dalam sambuÂtannya di acara Bankers Dinner di Jakarta Convention Center Senayan, Selasa (24/11/2015).
Agus mengungkapkan, risiko pertama terkait prospek pertumbuÂhan ekonomi global yang meskipun diperkirakan akan membaik menÂjadi 3,5 persen, namun ada risiko proyeksi tersebut lebih rendah.
Kedua, ia menyebut gejolak di pasar keuangan global sebagai dampak dari antisipasi pasar terhadap rencana penaiÂkan suku bunga di Amerika Serikat dan melambatnya ekonomi China yang akan menekan pasar keuangan domestik. ‘’Hal ini terutama ditandai dengan berlanjutÂnya pelemahan nilai tukar rupiah terhaÂdap dolar Amerika Serikat,’’ kata Agus.
Untuk itu, ia mengimbau IndoneÂsia perlu mewaspadai terjadinya proses rekomposisi modal portofolio oleh para pemodal global, yang dapat memutarbalÂikan arah aliran modal keluar dari negara berkembang. “Risiko koreksi ini terutama apabila pemulihan ekonomi China dan negara berkembang lain tidak sesuai haÂrapan. Kekhawatiran ini cukup beralasan karena hingga kini geliat ekonomi China dirasakan masih belum cukup kuat,†ujar Agus
Proses transformasi ekonomi China dari perekonomian berbasis investasi ke konsumsi diperkirakan akan memakan waktu yang cukup lama, sejalan dengan perkembangan demografi yang tengah memasuki aging population. “Kondisi ini berisiko membawa pertumbuhan ekonoÂmi China memasuki era new normal, yaiÂtu era pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibanding yang ditorehkan dalam satu dasawarsa terakhir,†ungkapnya.
Komoditas Masih Lesu
Risiko ketiga, lanjut Agus, terkait penurunan harga komoditas yang diperÂkirakan masih berlanjut pada 2016 sejalan dengan berakhirnya super-cycle harga koÂmoditas. Menurutnya, perkembangan ini perlu terus disikapi karena dapat semakin menurunkan ekspor Indonesia. “Ini juga akan menghambat pemulihan ekonomi apabila kita tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada ekspor berbasis sumber daya alam,†terangnya.
Selain ketiga risiko tersebut, Agus Marto juga menyebut Indonesia perlu mencermati dinamika global lain, termaÂsuk konstelasi kebijakan ekonomi global yang menjurus pada upaya meningkatkan daya saing melalui mata uang atau currenÂcy war.â€Karena, pengalaman kita di 2015 seperti saat China tiba-tiba mendevaluasi mata uang yuan tanpa diperkirakan sebelÂumnya,†ujar Agus.
Agus juga mengatakan, upaya peÂmangkasan aturan atau yang biasa diseÂbut deregulasi dan debirokratisasi perlu mendapat dukungan dari sektor swasta yang lebih besar. Sehingga sasaran perÂtumbuhan ekonomi pemerintah dapat lebih mudah tercapai.
Ia mengatakan, selain keterlibatan sektor swasta yang lebih luas, tingkat parÂtisipasi ekonomi juga dinilai penting bagi upaya pemerintah dan otoritas moneter dalam menggali potensi dan peran dana domestik dalam pembiayaan ekonomi baik secara konvensional maupun syaÂriah.
“Beberapa potensi masih bisa digali dalam skala besar terkait dengan potensi sumber dana, mulai dari pengelolaan zaÂkat dan wakaf hingga pengembangan pasÂar obligasi korporasi,†ujar Agus.
Dalam upaya menggali potensi dana masyarakat ini maka ia menyarankan perÂluasan jangkauan layanan jasa keuangan sampai lapisan masyarakat terbawah di seluruh pelosok negeri, juga perlu menÂjadi perhatian.
Apabila partisipasi ekonomi meningÂkat, maka diharapkan akan ada peningkaÂtan produktivitas perekonomian. “Dalam kaitan ini, kehadiran swasta, termasuk UMKM, menjadi sangat penting untuk mengisi keterbatasan kemampuan pemerÂintah dalam pembangunan ekonomi,†ujar Agus.
Ia mengacu pada survei yang dilakÂsanakan oleh McKinsey Global Institute (MGI) pada 2014 yang menunjukkan produktivitas tenaga kerja Indonesia maÂsih lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, ThaiÂland, dan Filipina.
Sejalan dengan itu, Global ComÂpetitiveness Report 2014-2015 juga meÂnyatakan efisiensi pasar tenaga kerja InÂdonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. “Ini menjadi tantangan kita berÂsama, termasuk dalam upaya kita untuk mengurangi ketimpangan pendapatan anÂtar daerah,†lanjutnya.
(Yuska Apitya/dtkf)