KARENA kesulitan yang terus menghimpit, rakyat mulai resah dan bereaksi negatif terhadap kepemimpinan Ratu Nilakendra. Ekspektasi berlebihan terhÂadap pemimpin yang dianggap jujur, sederhana, dan baik itu berbuah kecewa.
Oleh : Bang Sem Haesy
KEPEMIMPINAN Nilakendra memang tak sehebat yang dibayangkan, atau tak seinÂdah yang dituliskan para juru pantun istana. Mereka tak paham situasi, seperti tergambar dalam amsal: arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureÂum, haseup ngebul tina piÂrunan. (Mereka tak sadar, langit sudah memerah, asap sudah mengepul kegelisahan dan kemarahan rakyat).
Sejumlah orang muda dari kalangan rakyat yang berpegang teguh pada nilai dan aturan yang ditinggalkan Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa, yang datang dari bekas wilayah kawikuan tak bosan-bosan mengingatkan. Sambil melakukan aksi membantu rakyat untuk bangkit dan ngejo, anak-anak muda itu berusaha menyadarkan Ratu Nilakendra dan para petinggi istana di Pakuan.
Tapi, “Boro-boro rék ngawaro, malah budak nu jangÂgotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbéroÂkan.†Alih-alih dianggap, anak-anak muda yang beranjak dewasa itu, malah diciduk dan dibungkam. Dan lagi-lagi, semua itu terjadi akibat kebijakan penguasa yang gurung gusuh, dan menimbun rakyat dengan berbagai beban masalah.
Dalam situasi semacam itulah Pakuan ditaklukan Banten, lalu ditinggalkan rajanya. Rakyat tercerai berai. Sebahagian penduduk mengungsi ke wilayah sekeliling Pakuan. Termasuk ke Serena di sekitar Gunung SanggabuÂwana. Ada juga yang mengungsi ke Cikundul, ke kaki GuÂnung Salak, Ciampea, Sukaraja, Tenjo, Sajra dan Rangkas.
Hanya sedikit yang ikut mengungsi ke Kaduhejo – Mengger, Mandalawangi, Ciandur, dan Jiput di kaki Gunung Aseupan dan Pulosari. Suryakancana yang mendapat beban untuk melanjutkan kepemimpinan Nilakendra tidak dapat mengatasi semua masalah. Ia memutuskan, sebagian keluarga kerajaan, tetap tinggal di Pakuan dan bertahan di Rancamaya.
Pustaka Kerthabumi menyebut, momen penaklukan yang membuat Pajajaran murba, itu dengan kalimat penanda: “Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaçai çuÂplapaksa Weshakamasa sahasra limangatus punjul siki ikang çakakála.†Pada tanggal 11 bagian terang bulan WeÂsaka tahun 1501 Saka.
Dari sumber Banten diketahui, penaklukan itu terÂjadi, karena pengkhianatan dari dalam lingkungan kerajaan, karena terlalu banyak orang yang kecewa. Terutama, karena tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh jabatan, sesuai dengan aturan. Nilakendra mengabaikan apa yang sudah diatur oleh Prabu SurawisÂesa, dan melanjutkan apa yang dilakukan Ratu Dewata dan Ratu Sakti, melalui kontes yang diaturnya sendiri. Semacam lelang jabatan di masa kini.
Hoesein Djadiningrat tidak mempersoalkan situasi ini, dalam disertasinya (1913) dia hanya mengoreksi penÂanggalan masa sirnanya Pajajaran, karena perhitungan Saka – Jawa. Djajadiningrat menyatakan, apa yang tertulis dalam Serat Banten, dibuat begitu saja tanpa menghitung sistem windu yang dimulai oleh Sultan Agung Mataram.
Yang jelas, kehancuran terjadi karena Raja digeÂlapkan oleh pencitraan dan pembenaran dan tak mau mendengarkan aspirasi yang menjelaskan situasi sebeÂnarnya. Akibatnya, keputusan yang diambil, membuat keadaan tak nyaman. Baik di pemerintahan maupun di kalangan rakyat.