BADAN Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah orang berpendapatan menengah ke atas di Indonesia berjumlah 55 juta orang, atau 20% dari total jumlah penduduk. Orang menengah tersebut rata-rata mengeluarkan uang Rp 2,28 juta per bulan.
Oleh : Alfian Mujani
[email protected]
Untuk berpendapatan menengah ke atas pengeluarannya Rp 2,28 juta per bulan,†kata Sairi Hasbullah, Deputi Kepala BPS RI Bidang Statistik Sosial, di kantornya, JakarÂta, Senin (18/4/2016). Ini berdasarkan data terakhir BPS September 2015.
Sairi menyebutkan, ada penurunan pengeluaran oleh masyarakat pada kelompok tersebut. Ini seirÂing kondisi perekonomian yang melemah dalam beÂberapa tahun terakhir, dan terendah adalah periode 2015. “Penurunan belanja ada indikasi penurunan keÂm a k Âmuran. Belanja orang kaya itu belanja makanan, non makanan, dan barang-barang lainnya,†ujarnya.
Sementara itu untuk masyarakat kelas paling bawah, atau 40% dari jumlah penduduk Indonesia yang sebanyak 100 juta orang, pengeluÂarannya hanya sekitar Rp 420.000 per bulan. Kelompok ini sangat terÂbantu oleh program pemerintah. “Konsumsi masyarakat memang maÂsih drop. Tapi di lapisan bawah ada bantalan dari pemerintah. Ini akan meningkatkan lapisan bawah,†tegas Sairi.
Hal ini yang kemudian mendoÂrong rasio gini menurun dari 0,41 menjadi 0,40. Artinya ketimpanÂgan masyarakat paling miskin di Indonesia dengan yang kaya sudah menurun. “Kinerja ekonomi belum pulih sampai September sehingga pendapatan orang yang lebih makÂmur selama ini mengalami penuÂrunan. Gini ratio mengecil yang atas naik, yang tinggi turun,†paparnya.
BPS juga mengumumkan rasio gini Indonesia per September 2015 adalah 0,40, atau turun 0,01 dibandÂingkan periode Maret 2015 yang sebesar 0,41. Ini disebabkan oleh pengeluaran orang kaya di IndoneÂsia turun, sementara orang miskin justru naik. “Iya (pengeluaran yang berpendapatan tinggi) turun dari sisi persentasenya dan bisa juga absoÂlutnya,†ungkap Kepala BPS, SuryÂamin, di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (18/4/2016).
Suryamin menyebutkan, 20% masyarakat Indonesia yang berpengÂhasilan tinggi mengalami penurunan, dari 48,25% pada September 2015 menjadi 47,84% pada Maret 2015, terhadap pengeluaran penduduk per kapita. “Untuk yang berpenghasilan tinggi turun 0,41%,†imbuhnya.
Kemudian masyarakat berpengeÂluaran rendah yang sebanyak 40% masyarakat Indonesia tercatat naik 0,35%, dari 17,41% menjadi 17,45%. Sementara masyarakat berpengeÂluaran menengah naik 0,05%, dari 34,65% menjadi 34,7%. “Dari kelomÂpok ini ditotal maka rasio gini menÂjadi 0,41,†kata Suryamin.
Rasio gini adalah alat yang diperÂgunakan untuk mengukur ketimpaÂngan pengeluaran di suatu wilayah yang diumumkan dua kali setahun, yakni Maret dan September. Ini akan menjadi salah satu acuan pemerinÂtah dalam pengambilan kebijakan perekonomian.
Dalam teorinya, ukuran yang dipergunakan adalah 0 sampai denÂgan 1. Artinya secara sederhana, kalau pendapatan semua orang di Indonesia sama, maka rasio gini adalah 0, dan semakin tinggi rasio tersebut, maka ketimpangan semaÂkin tinggi.
Suryamin menambahkan, raÂsio gini dibagi atas tiga level. Level pertama adalah 0-0,3 yang disebut dengan ketimpangan rendah. Level kedua 0,3-0,5 yang disebut sebagai ketimpangan menengah, dan level ketiga yaitu 0,5 ke atas yang berarti ketimpangan tinggi.
Rasio Gini Indonesia pada SepÂtember 2015 tercatat mencapai 0,40, atau turun 0,1 poin dibandingkan dengan periode Maret 2015. Ada beberapa faktor yang menjadi peÂnyebab dari penurunan tersebut, di antaranya kenaikan upah buruh tani dan bangunan.
Suryamin, menyampaikan upah buruh tani naik 1,21%, dari Rp 46.180 per Maret 2015 menjadi Rp 46.739 per September 2015. Sedangkan buÂruh bangunan naik 1,05% dari Rp 79.657 menjadi Rp 80.494. “Upah buÂruh ini mempengaruhi pengeluaran masyarakat,†ujar Suryamin.
Kemudian berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (SaÂkernas), terjadi peningkatan jumlah pekerja bebas dari 11,9 juta orang (Februari 2015) menjadi 12,5 juta orang (Agustus 2015). Menurut SuryÂamin, hal tersebut juga memberikan pengaruh terhadap rasio gini. “KeÂnaikan ini terjadi di jumlah pekerja bebas baik di pertanian ataupun non pertanian,†jelasnya.
Suryamin menambahkan, penÂgaruh lainnya adalah pertumbuhan ekonomi yang meningkat pada kuarÂtal III-2015 dan pembangunan berbÂagai proyek infrastruktur di berbagai daerah, penyaluran bantuan sosial, dan perbaikan pendapatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan bawah. “Adanya gaji 13 itu juga pengaruhi pengeluaran, masuk dalam data kita,†kata Suryamin.
Di samping itu, jumlah penduduk perkotaan meningkat pada SeptemÂber 2015. Tercatat penduduk kota naik 52,55% pada Maret 2015 menÂjadi 53,19% pada September 2015.
“Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan migrasi dari desa ke kota, yang menyebabkan semakin tingginya upah yang diterima oleh buruh kasar,†paparnya.