Untitled-2Seiring perkembangan dunia teknologi yang semakin canggih, mempunyai pengaruh yang besar pada perkembangan anak-anak zaman sekarang, terutama gadget. Anak-anak saat ini menjadi ketergantungan dengan gadget yang ada. Tak pelak kondisi ini juga sempat membuat geram Ibu Walikota Bogor, Yane Ardian, yang merasa prihatin dengan mental anak-anak yang cenderung lebih fokus kepada gadget.

Oleh : Latifa Fitria
[email protected]

Masa masa masuk sekolah bagi anak baru tidak selamanya berjalan lancar, seringkali ditemukan anak yang takut, cemas, khawatir apabila dit­inggal oleh orang tua atau pengasuhnya. Ti­dak jarang juga ada anak yang menolak pergi ke sekolah karena alasan yang tidak jelas. Bahkan ada juga yang mengalami keluhan fisik seperti muntah-muntah setiap dibawa ke sekolah.

Hal seperti ini tentunya membingungkan orang tua dan dapat menyebabkan si anak menjadi terlambat mendapatkan pendidi­kannya. Hal ini disebut gangguan cemas perpisahan.

“Gangguan cemas perpisahan adalah berkembangnya kecemasan yang berlebihan dan tidak sesuai yang berhubungan dengan perpisahan dari rumah atau dari seorang in­dividu yang melekat,” papar Psikiatri Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, Dr Lahargo Kembaren SpKJ.

Menurutnya, gambaran dasar dari gang­guan ini adalah kekhawatiran yang berlebi­han akan kehilangan atau berpisah secara permanen dengan seseorang yang sangat melekat. “Manifestasi dari kecemasan ini termasuk distres berlebihan yang berulang dan atau keluhan fisik seperti pusing, sakit perut, muntah, keringat dingin seperti ke­tika terjadi perpisahan dengan rumah atau figur utama yang melekat dan juga sebagai antisipasi terhadap bakal terjadinya perpisa­han,” tambahnya.

BACA JUGA :  Ampuh Turunkan Berat Badan, Ini Dia 10 Minuman Diet Alami dan Sehat

Gangguan cemas perpisahan ini juga bisa terlihat sebagai ketakutan untuk tidur send­irian. Gangguan cemas perpisahan ini dite­mukan 2 – 12 persen pada populasi umum, dan merupakan gangguan kecemasan yang paling banyak pada anak dan urutan ketiga gangguan pada anak secara umum. “Gang­guan ini dapat terjadi secara seimbang an­tara pada anak laki-laki dan perempuan. Keluhan dirasakan selama 4 minggu atau lebih pada anak usia kurang dari 18 tahun,” pungkasnya.

Umumnya, anak kelas 1-2 SD memang masih diantar-jemput oleh orangtua atau pengasuhnya. Untuk anak usia 6-7 tahun tentunya jauh lebih baik bila tetap diantar-jemput. Atau paling tidak diikutkan di mo­bil antar-jemput sekolah. Namun, ada juga psikologi anak yang sudah punya keinginan pergi dan pulang sekolah sendiri bersama teman-temannya naik angkutan umum. Bi­asanya dimulai di kelas 4.

Yang jadi pertanyaan, sebenarnya di usia berapa sih anak bisa dilepas pergi dan pulang sekolah sendiri? Jawabannya tidak ada tolok ukur yang baku mengenai hal ini. Semuanya kembali pada kesiapan masing-masing psikologi anak. Persoalannya, meski umurnya sama, kemampuan dan tingkat kematangan masing-masing anak bisa saja berbeda. Begitu pula tingkat kemandirian­nya, yang tentunya tidak bisa disamaratakan begitu saja. Jadi bila anak meminta untuk berangkat dan pulang sekolah sendiri, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbang­kan. Orangtua juga dapat menilai aspek ke­mandirian dan kematangan berpikir anak.

BACA JUGA :  Wajib Tahu! Ini Dia 6 Manfaat Vitamin K untuk Tubuh

Secara umum, psikologi anak kelas 3 SD ke atas memang sudah memiliki kemampuan geografis. Anak mampu berpikir alternatif dengan kemampuan verbal yang jauh lebih maju. Bahkan keberanian dan kemandirian­nya jauh lebih baik ketimbang anak kelas 1-2 SD. Namun sekali lagi, kemampuan ini tidak bisa dipukul rata. Boleh jadi, ada anak kelas 4 SD yang kemandirian dan keberaniannya masih setingkat adik nya yang duduk di kelas 2 SD. Begitu juga dengan kemampuan ber­pikir alternatifnya dalam mengatasi masalah bila ia berada di area publik.

Tak ada salahnya jika anak dilepas pergi dan pulang sekolah sendiri tanpa harus di­antar, jika memang orangtua merasa yakin dengan kesiapan psikologi anak. Apalagi bila anak juga merasa yakin bisa berangkat sendiri. Orangtua yang paling tahu kelebi­han dan kekurangan pada anak, seperti apa kondisi anak, benarkah anak mampu pergi ke sekolah sendirian atau tidak. Jika masih belum yakin benar, terutama terhadap anak yang masih duduk di kelas 1-2 SD, sebaiknya tunda saja dulu. Ikutkan saja di mobil antar-jemput. Paling tidak anak mulai belajar un­tuk tidak selalu ditemani oleh orangtua atau pengasuh.

============================================================
============================================================
============================================================