Untitled-9CURAH hujan tinggi di wilayah Indonesia tetap saja berpotensi, menyebabkan berbagai daerah mengalami kebanjiran.

Oleh: MUHTADI
pengajar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Ancaman bencana banjir di sejumlah daerah pun tetap akan menghadang, khususnya mema­suki musim hujan bulan-bulan mendatang. Dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, tak ja­rang bencana banjir merenggut korban jiwa dan kerugian mate­rial yang tak terkira.

Indonesia darurat bencana banjir ini seperti menjadi ”lang­ganan” bagi kita di Indonesia, karena setiap kali musim penghu­jan dengan intensitas hujan yang tinggi dapat dipastikan banjir pun akan tiba.

Sudah merupakan hal yang biasa, hujan dengan curah tinggi akan merendam perumahan, ja­lan raya, tempat bisnis dan lain sebagainya.

Untuk mengantisipasi banjir, paling tidak tahun lalu, pemer­intah khususnya di Pemprov DKI Jakarta telah melakukan modifi­kasi cuaca agar curah hujan tidak tinggi yang berdampak pada ban­jir tersebut. Modifikasi cuaca seb­agai solusi untuk mengantisipasi banjir jelas memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Memang, modifikasi cuaca se­bagai upaya agar hujan tidak be­rakibat banjir di Jakarta sah-sah saja. Tetapi, hal ini bukan solusi yang radikal atau permanen, modifikasi cuaca dapat dikatakan hanya solusi instan saja. Solusi yang tidak menyelesaikan ten­tang apa akar persoalan dari ben­cana banjir.

Curah hujan yang tinggi adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Pertanyaan­nya, bagaimana kita dapat men­gelola curah hujan tinggi itu agar tidak menjadi bencana banjir? Ini tentu, kita sebagai masyarakat, pemerintah dan dunia usaha, dapat ikut berpartisipasi agar hujan itu dapat menimbulkan ke­berkahan dan kemaslahatan pada penduduk di bumi Indonesia ini.

Modifikasi Perilaku

Meski ada solusi mengatasi banjir dengan modifikasi cuaca, tetapi yang lebih penting sebena­rnya adalah modifikasi perilaku kita semua.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Ini menjadi penting, karena bencana banjir yang kita alami ini salah satu kontribusi terbesar yang menjadi sebabnya adalah perilaku kita yang tidak ramah dan menjaga alam serta ling­kungan sekitarnya (termasuk di dalamnya sikap dan perilaku kita dalam memperlakukan air. Dalam modifikasi perilaku itu, ada dua hal yang patut kita laku­kan.

Pertama, kita seharusnya menjadikan air sebagai sahabat. Kita memperlakukan air sesuai dengan kodrat dan hukumnya.

Sikap kita sebagai sahabat air dapat tercermin dari sikap tidak membuang sampah sembaran­gan yang menyebabkan saluran air mampet atau tidak jalan. Sam­pah yang dibuang sembarangan akan menyebabkan sungai men­jadi kotor dan mengalami pen­dangkalan.

Sikap lainnya adalah tidak ada salahnya, warga masyarakat melakukan gerakan kerja bakti massal membersihkan dan mem­perbaiki saluran air. Ini penting agar memasuki musim hujan, saluran-saluran air, got-got dan gorong-gorong lancar sehingga ti­dak menyebabkan banjir.

Cermin atau tindakan lain kita sebagai sahabat air adalah tidak melakukan keru­sakan hutan. Karena alasan ekonomi, banyak hutan-hu­tan di bumi Pertiwi ini gundul dan rusak parah akibat pne­bangan secara liar hingga me­nyebabkan banjir bandang.

Sebagaimana diketahui, kerusakan hutan di negeri dari tahun ke tahun bukan­nya menurun tetapi malah meningkat. Padahal, hutan yang masih perawan adalah tempat bagi air. Jika hutannya dirusak, lantas air mau disim­pan di mana?

Kedua, kita dapat berbagi ruang dengan air. Sikap kita ini dapat tercermin dengan tidak membangun vila-vila atau perumahan di daerah resapan air. Kita seharusnya menyediakan banyak daerah resapan air, bu­kan sebaliknya, berlomba-lomba membuat rumah-rumah mewah yang menyalahi aturan dan tidak memikirkan apakah tempat itu ‘rumah” bagi air atau bukan.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Karena sikap serakah dan ti­dak mau berbagi inilah, banyak daerah resapan air dijadikan pe­rumahan, vila, atau apartemen.

Banyak lokasi-lokasi di ping­gir atau sisi daerah aliran sungai dijadikan tempat permukiman oleh warga masyarakat, sehingga hal ini menyebabkan terjadinya pendangkalan air sungai hingga lebar sungai pun praktis semakin mengecil.

Pendangkalan sungai dan berkurangnya daerah resapan air akibat pembangunan permuki­man yang bukan peruntukannya ini semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Secara kodrati, jika air tidak diberikan ruang oleh kita, oto­matis air pun akan mencari tem­pat sendiri dan sekarang terlihat sendiri pada musim banjir. Air masuk ke jalan raya. Air masuk ke kawasan perumahan. Air masuk ke pusat perbelanjaan. Bukankah sebenarnya tempat-tempat itu bukannya ‘tempat’nya air?

Keberadaan air di planet bumi ini memang ada perannya. Bahkan, bagi kehidupan manu­sia, air sangatlah penting sekali. Manusia jika tidak bertemu atau meminum air selama 10 hari, dia akan mati.

Tubuh manusia pun sebagian besar terdiri dari air. Berangkat dari hal ini, modifikasi perilaku menjadi penting, di mana kita perlu menanamkan sikap bersa­habat dan berbagi dengan air se­bagai kebiasaan.

Kita tinggalkan kebiasaan yang buruk dan mulai berubah bagaimana seharusnya memper­lakukan air secara ramah. Air yang merupakan anugerah ini tetap menjadi berkah bukannya bencana bagi kita.

Untuk itu, marilah kita mulai mengubah sikap dan perilaku kita. Kita tidak bisa mengklaim bahwa kita hidup boleh semau­nya saja dan tidak memikirkan yang lainnya. Bersahabat dan berbagi ruang dengan air akan menjadi solusi dalam mengatasi masalah ancaman bencana banjir di negeri ini. Semoga. ***

sumber: suarakarya.id

============================================================
============================================================
============================================================