CURAH hujan tinggi di wilayah Indonesia tetap saja berpotensi, menyebabkan berbagai daerah mengalami kebanjiran.
Oleh: MUHTADI
pengajar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Ancaman bencana banjir di sejumlah daerah pun tetap akan menghadang, khususnya memaÂsuki musim hujan bulan-bulan mendatang. Dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, tak jaÂrang bencana banjir merenggut korban jiwa dan kerugian mateÂrial yang tak terkira.
Indonesia darurat bencana banjir ini seperti menjadi â€langÂganan†bagi kita di Indonesia, karena setiap kali musim penghuÂjan dengan intensitas hujan yang tinggi dapat dipastikan banjir pun akan tiba.
Sudah merupakan hal yang biasa, hujan dengan curah tinggi akan merendam perumahan, jaÂlan raya, tempat bisnis dan lain sebagainya.
Untuk mengantisipasi banjir, paling tidak tahun lalu, pemerÂintah khususnya di Pemprov DKI Jakarta telah melakukan modifiÂkasi cuaca agar curah hujan tidak tinggi yang berdampak pada banÂjir tersebut. Modifikasi cuaca sebÂagai solusi untuk mengantisipasi banjir jelas memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Memang, modifikasi cuaca seÂbagai upaya agar hujan tidak beÂrakibat banjir di Jakarta sah-sah saja. Tetapi, hal ini bukan solusi yang radikal atau permanen, modifikasi cuaca dapat dikatakan hanya solusi instan saja. Solusi yang tidak menyelesaikan tenÂtang apa akar persoalan dari benÂcana banjir.
Curah hujan yang tinggi adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. PertanyaanÂnya, bagaimana kita dapat menÂgelola curah hujan tinggi itu agar tidak menjadi bencana banjir? Ini tentu, kita sebagai masyarakat, pemerintah dan dunia usaha, dapat ikut berpartisipasi agar hujan itu dapat menimbulkan keÂberkahan dan kemaslahatan pada penduduk di bumi Indonesia ini.
Modifikasi Perilaku
Meski ada solusi mengatasi banjir dengan modifikasi cuaca, tetapi yang lebih penting sebenaÂrnya adalah modifikasi perilaku kita semua.
Ini menjadi penting, karena bencana banjir yang kita alami ini salah satu kontribusi terbesar yang menjadi sebabnya adalah perilaku kita yang tidak ramah dan menjaga alam serta lingÂkungan sekitarnya (termasuk di dalamnya sikap dan perilaku kita dalam memperlakukan air. Dalam modifikasi perilaku itu, ada dua hal yang patut kita lakuÂkan.
Pertama, kita seharusnya menjadikan air sebagai sahabat. Kita memperlakukan air sesuai dengan kodrat dan hukumnya.
Sikap kita sebagai sahabat air dapat tercermin dari sikap tidak membuang sampah sembaranÂgan yang menyebabkan saluran air mampet atau tidak jalan. SamÂpah yang dibuang sembarangan akan menyebabkan sungai menÂjadi kotor dan mengalami penÂdangkalan.
Sikap lainnya adalah tidak ada salahnya, warga masyarakat melakukan gerakan kerja bakti massal membersihkan dan memÂperbaiki saluran air. Ini penting agar memasuki musim hujan, saluran-saluran air, got-got dan gorong-gorong lancar sehingga tiÂdak menyebabkan banjir.
Cermin atau tindakan lain kita sebagai sahabat air adalah tidak melakukan keruÂsakan hutan. Karena alasan ekonomi, banyak hutan-huÂtan di bumi Pertiwi ini gundul dan rusak parah akibat pneÂbangan secara liar hingga meÂnyebabkan banjir bandang.
Sebagaimana diketahui, kerusakan hutan di negeri dari tahun ke tahun bukanÂnya menurun tetapi malah meningkat. Padahal, hutan yang masih perawan adalah tempat bagi air. Jika hutannya dirusak, lantas air mau disimÂpan di mana?
Kedua, kita dapat berbagi ruang dengan air. Sikap kita ini dapat tercermin dengan tidak membangun vila-vila atau perumahan di daerah resapan air. Kita seharusnya menyediakan banyak daerah resapan air, buÂkan sebaliknya, berlomba-lomba membuat rumah-rumah mewah yang menyalahi aturan dan tidak memikirkan apakah tempat itu ‘rumah†bagi air atau bukan.
Karena sikap serakah dan tiÂdak mau berbagi inilah, banyak daerah resapan air dijadikan peÂrumahan, vila, atau apartemen.
Banyak lokasi-lokasi di pingÂgir atau sisi daerah aliran sungai dijadikan tempat permukiman oleh warga masyarakat, sehingga hal ini menyebabkan terjadinya pendangkalan air sungai hingga lebar sungai pun praktis semakin mengecil.
Pendangkalan sungai dan berkurangnya daerah resapan air akibat pembangunan permukiÂman yang bukan peruntukannya ini semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Secara kodrati, jika air tidak diberikan ruang oleh kita, otoÂmatis air pun akan mencari temÂpat sendiri dan sekarang terlihat sendiri pada musim banjir. Air masuk ke jalan raya. Air masuk ke kawasan perumahan. Air masuk ke pusat perbelanjaan. Bukankah sebenarnya tempat-tempat itu bukannya ‘tempat’nya air?
Keberadaan air di planet bumi ini memang ada perannya. Bahkan, bagi kehidupan manuÂsia, air sangatlah penting sekali. Manusia jika tidak bertemu atau meminum air selama 10 hari, dia akan mati.
Tubuh manusia pun sebagian besar terdiri dari air. Berangkat dari hal ini, modifikasi perilaku menjadi penting, di mana kita perlu menanamkan sikap bersaÂhabat dan berbagi dengan air seÂbagai kebiasaan.
Kita tinggalkan kebiasaan yang buruk dan mulai berubah bagaimana seharusnya memperÂlakukan air secara ramah. Air yang merupakan anugerah ini tetap menjadi berkah bukannya bencana bagi kita.
Untuk itu, marilah kita mulai mengubah sikap dan perilaku kita. Kita tidak bisa mengklaim bahwa kita hidup boleh semauÂnya saja dan tidak memikirkan yang lainnya. Bersahabat dan berbagi ruang dengan air akan menjadi solusi dalam mengatasi masalah ancaman bencana banjir di negeri ini. Semoga. ***
sumber: suarakarya.id