APA yang kita saksikan sejak dua tahun terakhir. Persisnya, sejak Jokowi – JK dilantik sebagai Presiden – Wakil Presiden 2014 – 2019. Sejak menghadiri APEC di Beijing sampai terakhir kunjungan kerja Jokowi ke Paris, yang kemudian kita baca melalui media massa adalah bermunculannya angka-angka investasi. Seolah-olah misi utama diplomasi kita kini, didominasi oleh misi dagang.
Oleh : Bang Sem Haesy
DARI berbagai pidato dan pernyatÂaan para petinggi di dalam negeri, yang mengemuka juga persoalan seputar ekonomi. Para buhun menÂgartikulasikan persoalan ekonomi sebagai persoalan beuteung.
Fakta memang menunjukkan, banyak sekali kebijakan politik dan ekonomi, serta politik ekonoÂmi Indonesia kini, berporos ke China. Sejumlah petinggi negara, secara jelas dan terang benderang memainkan lobbiest Singapura yang memang begitu karib denÂgan Republik Rakyat China (RRC).
Ada tembang masa bocah dari Bogor, bertajuk Ayang-Ayang Gung. Lagu sindir samÂpir jaman penjajahan, ketika Tanuwijaya alias Luitenant der Javanen (letnan senior pribumi) mendapat perintah dari CamÂphuijs membuka hutan PajajaÂran, untuk mendirikan kampung baru di pinggiran Batavia (yang kini bernama Jatinegara dan Cipinang) dan membuka sejumÂlah lahan di Buitenzorg (Bogor) untuk permukiman.
Bersama Scipio, Tanuwijaya mengunjungi kampung-kamÂpung peninggalan Pajajaran, lalu mendirikan kampung-kampung baru lagi, seperti: Parakan PanÂjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, BaranangÂsiang, Parung Banteng, Parung Angsana dan Cimahpar. Lantas, Parung Angsana didesain sebaÂgai pusat pemerintahan.
Ia juga menentukan garis batas daerah dengan permukiÂman orang-orang Banten yang dibangun Pangeran Purbaya di aliran sungai Cikeas. Di bagian lain, antara Kedung Badak samÂpai Muara Beres dia menentukan batas pemukiman orang-orang Mataram yang pernah dikirim Amangkurat I menggempur Batavia di abad ke 17 dan enggan pulang kampung.
Dukungan penjajah membuat Tanuwijaya berkuasa, dan memÂberi ruang bagi orang asing PaÂkuan, untuk menguasai ekonomi Pajajaran. Termasuk memberiÂkan konsesi atas kebun karet keÂpada pedagang asal Tiongkok, pemasok senjata dalam aksi mengusir orang Banten yang menduduki Depok. Wilayah konsesi itu berkembang menjadi permukiman pedagang Tiongkok yang disebut Pondok Cina.
Belakangan hari, karena sadar betapa dukungan dari penjajah dan sekutunya telah membuat sengsara pribumi serÂta membuat jalan terang PajajaÂran menjadi suram, Tanuwijaya berusaha membebaskan dirinya dari pengaruh asing itu. TanuÂwijaya membantu Perwatasari melawan penjajah Belanda dan menghadapi kekuasaan VOC yang kian besar. Mereka kalah. Tanuwijaya diasingkan ke TanÂjung Harapan – Afrika Selatan menyusul Maulana Yusuf.
Kesadaran Tanuwijaya yang terlambat (setelah menjadi kaki tangan VOC lalu membantu Perwatasari yang tak berdaya), diibaratkan, seperti “lempa lempi lempong adu pipi jeung nu ompong.†Sindir sampir atas kehidupan Tanuwijaya tercerÂmin dalam syair lagu Ayang-Ayang Gung : Ayang-ayang gung, gung…. Gung goongna ramé-ramé, mé… Ménak ki Mastanu, nu.. nu jadi wadana, na.. Naha manéh kitu, tu… Tukang olo olo, lo… Loba anu giruk, ruk… Ruket jeung kumpeni, ni… Niat naék pangkat, kat… Katon kagorenÂgan, ngan… Ngantos kangjeng dalem, Lempa lempi lempong. Ngadu pipi jeung nu ompong…. Sekarang, ketika ’incu MaÂtaraman’ kembali didukung ‘kumpeni’ dan berporos diploÂmasi dengan Tiongkok, sambil menyanyikan lagu ayang-ayang gung, kita bangun kesadaran baru. Yakni, memperkuat pereÂkonomian rakyat, melalui usaha kecil mandiri.
Kita memang perlu investasi asing (foreign direct investment) sebagai konsekuensi logis, tapi setarikan nafas kita mesti memÂperkuat fundamental ekonomi rakyat.