Oleh: AHMAD BAEDOWI
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Jika guru atau orangtua sebagai subjek pengasuÂhan memiliki kendali dan kontrol emosi yang posiÂtif disertai dengan pola perilaku yang hangat, itu akan memiliki pengaruh yang juga posiÂtif terhadap anak dan atau siswa. Jenis pengasuhan semacam itu dalam bahasa psikologi pendidiÂkan disebut sebagai orangtua/guru otoritatif karena mereka mampu memberikan pengaruh yang baik terhadap anak secara positif.
Jika pola pengasuhan memiÂliki tanda-tanda yang negatif, baik dari aspek kehangatan (warmth) maupun kontrol emosi, pengaruh ke anak atau siswa pasti juga akan buruk. Pada tingkat itu, hubunÂgan emosi anak dengan orangtua dan atau guru pasti memiliki keleÂkat an (attachment) yang kurang kuat sehingga bisa memeng aruhi perilaku anak. Istilah kelekatan untuk pertama kalinya dikemuÂkakan seorang psikolog pada 1958 bernama John Bowlby.
Kemudian formulasi yang lebih lengkap dikemukakan Mary Ainsworth pada 1969 (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Kelekatan merupakan suatu ikatan emosionÂal yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khuÂsus dalam kehidupannya, biasanÂya orangtua.
Pengaruh Bahasa
Salah satu yang membuat inÂgatan seorang anak dan atau siswa bertahan dalam relung pikir dan jiwa ialah pengaruh bahasa yang digunakan para orangtua/ guru mereka. Bahasa bukan hanya diliÂhat sebagai produksi kata-kata, melainkan juga bahasa tubuh orangtua/guru ikut memengaruhi kelekatan anak terhadap figur dambaannya.
Bayangkan, jika seorang anak setiap hari memperoleh bahasa yang tidak dia pahami secara baik, ditambah dengan bahasa tubuh yang mengesankan citra negatif guru dan atau orangtua, kelekatan anak akan tumbuh secara negaÂtif pula. Pasalnya, menurut teori kelekatan Bowlby, implikasi pola hubungan dan penggunaan baÂhasa akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manuÂsia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengÂganti ibu.
Karena itu, penting bagi para pendidik, terutama orangtua dan guru, untuk mengerti efek bahasa yang digunakan sehari-hari terÂhadap proses tumbuh kembang anak. Meskipun dalam teori keleÂkatan tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat disebut kelekatan, beberÂapa ciri dasarnya menunjukkan kelekatan yang ditimbulkan pengÂgunaan bahasa dan bahasa tubuh akan bertahan cukup lama pada diri seorang anak.
Pentingnya bahasa bisa dilihat dari proses pengajaran bahasa, baik ketika anak mulai ingin berÂbicara, belajar bicara, hingga kelas 4 sekolah dasar yang meruÂpakan waktu yang sangat critical. Namun, seperti kita lihat fenomÂena akhir-akhir ini ketika taman pendidikan anak semacam PAUD bertumbuhan bak jamur di musim hujan, pengajaran bahasa, teruÂtama bahasa ibu, menjadi sedikit terabaikan.
Hasil ujian bahasa Indonesia siswa di perdesaan dan perkotaan sangat perbedaannya mencolok. Para guru pengajar bahasa IndoÂnesia di sekolah-sekolah perdeÂsaan tetap menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar prosÂes belajar mengajar, tetapi tak mampu mendesain proses tranÂsisi berbahasa. Bahkan, di awal-awal berdirinya Sekolah Sukma di Aceh, misalnya, masyarakat protes karena bahasa wajib di sekolah ialah bahasa Indonesia, bukan bahasa Aceh. Perlu 1 tahun bagi guru-guru di Sekolah Sukma untuk mendesain proses transisi ini dan meyakinkan masyarakat dan anak-anak agar mau belajar dan berbicara bahasa Indonesia di lingkungan sekolah.
Menurut beberapa pusat peneÂlitian bahasa dan kebudayaan di beberapa universitas, bahasa pengantar di sekolah punya damÂpak serius terhadap keberhasilan prestasi siswa ke depan. MuridÂmurid SD di perkotaan umumnya ialah penutur-penutur asli bahasa Indonesia, sedangkan bagi murid perdesaan, bahasa ibu mereka bukan bahasa Indonesia. Ratarata setiap hari mereka berjuang memÂpelajari bahasa Indonesia dan pada saat yang sama mereka juga harus mempelajari materi pelajaÂran lainnya yang juga berbahasa Indonesia. Bagi seluruh anak SD di perdesaan, ini bukanlah persoÂalan sepele, melainkan persoalan serius.
Meskipun keluhan tentang penggunaan bahasa Indonesia seÂbagai bahasa pengantar di TK dan SD tidaklah banyak, kurang lebih 75% siswa TK dan SD di perdeÂsaan bukanlah penutur asli bahasa Indonesia. Oleh karena itu, peÂmakai an bahasa ibu di TK dan SD kelas awal mungkin masih perlu dilakukan. Selain untuk menjaÂmin kelangsungan pembelajaran, juga untuk mencegah gangguan perkembangan kognitif anak. Tugas Departemen Pendidikan Nasional juga harus ekstra dalam memberikan pelatihan yang meÂmadai kepada para guru TK dan SD serta menyediakan buku teks yang tentu harus berbeda, atau sesuai dengan kebutuhan lingkunÂgan dan budaya se tempat dalam mengantarkan anak-anak memaÂhami bahasa Indonesia sebagai bahasa peng antar di sekolah.
Dalam Whole Language for Second Language Learners (1992), Freeman, Yvonne S Freeman, dan David E menyebutkan bahwa signifikansi penggunaan bahasa ibu sebÂagai bahasa pengantar di sekolah sebelum bahasa kedua dikuasai anak akan mampu menghasilkan prestasi yang le bih baik bagi anak-anak di masa mendatang.
Harus ditemukan cara yang seÂcara pedagogis mampu membuat anak nyaman ketika mengalami peralihan dari bahasa ibu mereka ke bahasa Indonesia sebagai bahaÂsa pengantar di sekolah. Jika maÂsalah ini dijalankan dengan baik, kekhawatiran tentang dampak buÂruk pengenalan berbahasa IndoÂnesia yang terlalu dini di sekolah tak akan terjadi. Kita patut menjaÂga sense bahasa ibu anak-anak kita serta menyiapkan proses transisi berbahasa mereka agar penguaÂsaan bahasa Indonesia dan bahasa lainnya menjadi kuat.
Dalam waktu bersamaan, jika proses ini terjadi secara baik, akan muncul kelekatan yang positif pada diri seorang anak. Banyak bukti dari beberapa hasil riset tentang perkembangan mental dan kejiwaan yang menunjukkan secara konsisten dan kuat bahwa pendidikan usia dini berpengaruh terhadap kesuksesan masa deÂpan seorang anak. Dalam laporan Center on the Developing Child (2007), ditunjukkan secara khusus bahwa efek pendidikan usia dini yang benar, terutama pengaruh penggunaan bahasa ibu, dapat meningkatkan kapasitas arsitektur dari otak anak, yaitu pada saatnya otak tersebut akan memberikan pengaruh yang baik dalam memÂbentuk perilaku sosial dan emosi anak yang cerdas. (*)