Oleh: Rudi Haryono,S.S., M.Pd.
Dosen STKIP Muhammadiyah Bogor dan Pemerhati Pendidikan

Di Indonesia istilah MEA lebih populer dibandingkan den­gan AEC, walaupun secara konsep sama. Untuk menghadapi masyarakat ekonomi Asean tersebut sudah saatnya Pemerintah Indonesia terutama memajukan bidang pendidikan agar lulusan lemba­ga pendidikan yang ada dapat bersaing dengan Masyarakat eko­nomi Asean lainnya.

Karena salah satu tantan­gan dalam MEA yaitu bidang pendidikan. Pendidikan adalah kekuatan masa depan, karena merupakan alat perubahan yang sangat ampuh.

Salah satu maslah terbesar yang dihadapi adalah bagaimana menyesuaikan cara berfikir un­tuk menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks, cepat dan berubah.

Perdagangan intra dan ekstra ASEAN terus berkembang; tum­buh kesadaran untuk menjaga sentralitas ASEAN dalam peta du­nia yang semakin mengarah pada regionalism. Tujuan untuk mewu­judkan MEA antara lain: mening­katkan daya saing dan daya tarik menghadapi Tiongkok dan India; meningkatkan kesatuan dan posi­si tawar ASEAN dalam rangka pe­rundingan ASEAN + 1 (Tiongkok atau India atau Jepang atau Korea atau Australia/Selandia Baru) dan arsitektur regional baru: seperti: ASEAN+3 (ASEAN + Cina + India + Korea), dan lain-lain: ASEAN+6/ ASEAN+8); serta merespon me­ningkatnya trend regionalism vs multilateralism.

Budiman (2015) menegaskan bahwa menyiapkan sumber daya manusia bukanlah pekerjaan mudah dan bisa dilakukan se­cara instant. Namun, setidaknya guru dan sekolah bisa membekali siswa dengan kedua ketrampi­lan tersebut ditambah dengan meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi agar terus mengem­bangkan diri.

Karena hal itu merupakan upa­ya minimal yang bisa dilakukan tetapi sangat fundamental untuk meningkatkan mentalitas dalam menghadapi persaingan global. Isu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah isu pernting yang mengemuka di awal tahun 2016.

Sebagaiman diketahui bersa­ma ASEAN adalah perkumpulan negara-negara ASEAN yang be­ranggotakan Brunei Darussalam, Cambodia, Indonesia, Lao PDR, Malaysia, Myanmar, Filipina, Sin­gapora, Thailand , dan Viet Nam. The ASEAN Secretariat is based in Jakarta, Indonesia.

ASEAN berdiri tanggal 8 Agus­tus 1987, dan dalam perkemban­gannya sangat signifikan dalam menjaga stabilitas dan sinergi negara-negara anggotanya.

Dalam situs ASEAN.org. dise­butkan bahwa The ASEAN Com­munity 2015 is a community of opportunities under three com­munity pillars: Political-Security Community, Economic Communi­ty, and Socio-Cultural Community.

Komunitas ASEAN menyepakati beberapa hal kerjasama untuk lebih memberikan kebe­basan kerjasama dalam bidang keamanan dan politikn, ekonomi (MEA), dan sosial budaya.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

ASEAN sebagai sebuah komu­nitas menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi mul­tilateral di antara negara anggot­anya. Menurut Kirkpatrick (2010),

“The ten countries of ASEAN currently represent great linguistic diversity with more than a thou­sand languages from a range of different language families spoken throughout the region. However, the desire for each of the ten na­tions to establish a national lan­guage -and the general overall suc­cess in doing this together with the need to use English as a language of modernization and internation­al communication, has seriously diminished interest in and the pro­motion of local languages.”

Negara negara anggota ASE­AN memiliki representasi bahasa nasional dan lokal yang sangat variatif dan kaya juga bahasa ibu yang dimiliki. Namun kebutuhan akan modernisasi dan kesuksesan dalam bekerja, berkontribusi dalam menumbuhkan minat mer­eka mempelajari bahasa Inggris.

Penulis hanya akan mem­fokuskan sejauhmana kesiapan guru Indonesia dalam mengha­dapi MEA terkait dengan kompe­tensi mereka dalam penguasaan bahasa Inggris.

BAHASA INGGRIS DAN ASEAN

Kirkpatrick (2015) mengemu­kakan bahwa “The Charter of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) was officially ad­opted in February 2009. Article 34 of the Charter states that, ‘The working language of ASEAN shall be English’”.

Ungkapan tersebut kurang lebih menegaskan bahwa bahasa kerja atau bisnis ASEAN adalah bahasa Inggris. Selaras den­gan hal tersebut Cheong (2011) menjelaskan bahwa “Language is the most important key towards the development of Association of South East Asia Nation (ASE­AN) Community”.

Menurut Cheong, bahasa adalah kunci penting untuk pengembangan komunitas ASE­AN. Secara spesifik bahasa yang dimaksud adalah bahasa Inggris sebahasa international.

Sebagai bahasa internasi­onal dan PBB, bahasa Inggris merupakan lingua franca, ba­hasa penguhubung antara berb­agai macam bahasa yang bersi­fat multilingualisme. Dalam konteks yang lebih regional, ba­hasa Inggris digunakan oleh ham­pir seluruh negara ASEAN dalam berkomunikasi bilateral dan mul­tilateral.

Berdasarkan hasil penelitian EF English Proficiency Index (EPI) Indonesia menempati urutan ke- 32 dengan level kemampuan ber­bahasa Inggris menengah. Pene­litian yang dilakukan kepada 910 ribu orang dewasa usia 18-30 ta­hun di 70 negara yang dilakukan secara online ini bertujuan untuk mengukur tingkat rata-rata ke­mampuan bahasa Inggris orang dewasa di suatu negara.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Director of Educational Re­search and Development EF English Firts, Steve Croock men­gatakan, EF EPI digunakan untuk membantu memetakan pening­katan kemampuan bahasa Inggris di suatu negara.

Penelitian tersebut mengung­kap bahwa lima besar skor ter­tinggi adalah Swedia, Belanda, Denmark, Norwegia, dan Fin­landia. Indonesia di level Asia peringkat delapan, di bawah Singapura, Malaysia, dan India. Peningkatan hasil tes masyarakat Indonesia dari tahun sebelum­nya, imbuh Crooks, tidak terlalu signifikan.

Padahal di sisi lain bahasa In­ggris menjadi alat komunikasi di seluruh dunia. Crooks (2015) me­maparkan bahwa berdasarkan data, tingkat rata-rata kemam­puan bahasa Inggris perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan pria.

Dia berharap, hasil penelitian ini mampu menunjukkan kebi­jakan pendidikan, kualitas sum­ber daya manusia, hingga tingkat perekonomian negara, terutama menyambut Masyarakat Ekono­mi ASEAN (MEA).

Secara tegas dia menegaskan bahwa kompetensi bahasa Ing­gris menjadi krusial untuk meng­hadapi persaingan global yang mencakup persaingan di berb­agai sektor. Dikesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Inter­nasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana men­gungkapkan, selama ini orang Indonesia belajar bahasa Inggris fokus pada tata bahasa (gram­mar) dan menerjemahkan, tapi kurang praktik.

Berbicara masalah MEA dan kurikulum, pemerintah secara khusus dan implementatif telah mengeluarkan perundang-un­dangan tentang Kerangka Kuali­fikasi Nasional Indonesia (KKNI) atau dalam istilah bahasa Inggris, Indonesian Qualifications Frame­work (IQF). KKNI diamanatkan dalam Perpres No.8 Tahun 2012 tentang KKNI.

Pada Perpres tersebut KKNI disebutkan bahwa KKNI kerang­ka penjenjangan kualifikasi kerja yang menyandingkan, menyeta­rakan, mengintegrasikan, sektor pendidikan dan pelatihan serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompe­tensi kerja sesuai dengan jabatan kerja di berbagai sektor.

Salah satu landasan atau ra­sional dari KKNI tersebut adalah diberlakukannya MEA pada ta­hun 2016. Sehinga kurikulum KKNI yang ada benar-benar dapat mengadaptasi dan mengadopsi konteks kekinian akan kebutu­han angkatan kerja yang mampu dalam konteks ASEAN.

KKNI dibuat sebagai acuan agar SDM Indonesia memiliki kualifikasi, kompetensi dan kapa­sitas yang setara dengan angka­tan kerja baik dalam skala ASEAN, terlebih dalam skala global yang merupakan tuntutan pasar dunia yang terus berkembang. (*)

============================================================
============================================================
============================================================