Oleh : Heru B Setyawan (Pemerhati Pendidikan)

Kalo kita mau jujur, berapa kali sehari, seminggu atau sebulan kita dapat nasihat? Nasihat itu bisa berasal dari diri sendiri lewat membaca buku agama atau Kitab Suci Al Qur’an bagi seorang muslim, atau introspeksi. Nasihat juga bisa dari teman, keluarga (suami, istri dan anak), Ulama, Ustadz, Kyai dan Habib. Bahkan nasihat juga bisa berasal dari kebesaran ciptaan Allah SWT. Mengapa hal ini penting ditanyakan, karena jika selama 3 hari kita tidak memdapat nasihat maka hati kita akan mati. Akibat dari hati mati adalah timbulnya sifat sombong, sombong adalah salah satu penyakit hati yang sangat berbahaya, melebihi Covid 19…. he…he….Kita takut sama Covid 19, tapi tidak takut sama penyakit sombong ini. Sombong itu merasa diri paling benar dan menganggap orang lain salah. Ada contoh teman saya bilang begini,”Yang namanya pemerintah itu pasti benar, maka kita patuh saja pada semua peraturan atau Undang-undang dari pemerintah,”katanya. Padahal menurut penulis pemerintah itu bisa benar dan juga bisa salah, karena pemerintah itu terdiri dari manusia yang banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Sebenarnya mudah untuk mengatasi masalah ini, jika misal pemerintah membuat kesalahan dalam menjalankan roda pemerintahannya. Yaitu pemerintah lewat jubir (juru bicara) jika pemimpinnya malu dan takut bicara ke publik, cukup bilang maaf atas kesalahan dari pemerintah dan mengucapkan terima kasih atas masukan dari rakyatnya, mudah kan. Tapi hal ini sulit dilakukan karena orang sombong itu merasa diri paling benar dan menganggap orang lain salah. Orang sombong juga pelit mengatakan kata maaf dan terima kasih. Ciri lain orang sombong itu sulit menerima nasihat, apalagi jika nasihat itu berhubungan dengan hal agama. Makanya tidak mengherankan orang sombong itu kehidupan sehari-harinya jauh dari agama. Dari bangun tidur sampai tidur lagi yang dipikir adalah dunia melulu, kerja, kerja dan kerja kapan ibadahnya? Meski memang kita kerja bisa kita niatkan untuk bernilai ibadah. Tapi rasanya sulit, kita kerja tapi kita niatkan ibadah, jika orang tersebut bicaranya selalu kerja, kerja dan kerja….apa tidak lebih baik kita ganti dengan kata-kata….ibadah, ibadah dan ibadah. Seperti di sekolah tempat saya mengajar jika kita mau mengajar para Guru berkumpul untuk briefing dan Kasek memimpin briefing tersebut serta mengucapkan kepada Guru,”Mau apa bapak dan ibu Guru hari ini?” dan bapak ibu Guru serempak menjawab,”Beribadah,” Padahal bapak dan ibu Guru mau mengajar, tapi kita niatkan beribadah, bukankah ibadah itu ada 2, ibadah ritual (seperti shalat, puasa, zakat dan umrah/naik haji) dan ibadah sosial (seperti bekerja, berdagang, dan semua amal soleh). Allah SWT berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzariyat, ayat 56). Ayat di atas jelas menyebutkan tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah, hanya menyembah Allah semata.
BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN
============================================================
============================================================
============================================================