Oleh: ALBERT HASIBUAN
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2012-2014
Saya pertama kali menÂgenal Bang Buyung keÂtika sebagai mahasiswa tahun 1959 memperoleh sebuah diktat ilmu negÂara. Diktat itu, berupa stensilan, merupakan terjemahan buku Web of Government karangan MacIver dari Adnan Buyung Nasution.
Saya merasa diktat Buyung ini, selain untuk kuliah hukum negara (staatsrecht), juga berguÂna waktu itu untuk mempelajari Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 â€kembali ke UUD 1945â€, yang masih dibicarakan orang. Kebijakan Presiden Soekarno itu mendapat pembenaran dari Guru Besar Fakultas Hukum UniÂversitas Indonesia Djokosoetono, yang menyatakan negara dalam keadaan darurat, yaitu, tepatnya, berdasarkan hukum negara daruÂrat (staatsnoodrecht).
Saya menilai diktat Buyung ini dapat membantu mendalami dan mengerti tentang kebijakan PresÂiden Soekarno, dilihat dari sudut hukum negara. Saat itu, saya terÂkesan terhadap kemampuan akaÂdemis Buyung.
Tahun 1966, saya aktif di LasÂkar Ampera Arief Rachman HaÂkim/KAMI sebagai Ketua A Yani. Saya mendengar Buyung, masih menjadi jaksa, aktif menentang Orde Lama, sebagai pimpinan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) bersama Haryono TjitroÂsubono. Saya juga mengetahui Buyung mempunyai cita-cita unÂtuk mendirikan suatu lembaga bantuan hukum guna membantu masyarakat kurang mampu yang memerlukan bantuan hukum.
Ketika Yon Yani juga membenÂtuk Lembaga Konsultasi Hukum (LKH), dalam kesempatan ke SinÂgapura tahun 1968, saya bertemu Buyung di Goodwood Park Hotel, Scotts Road. Dalam pertemuan itu, saya menceritakan pengalaÂman dalam mengelola LKH Yon Yani selama dua tahun. Buyung pun mengemukakan dasar banÂtuan hukum dan kami kemudian bertekad untuk bersama-sama membentuk sebuah lembaga banÂtuan hukum yang terorganisasi dengan rapi.
Pertemuan di Singapura adalah salah satu kejadian yang meÂnentukan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dua tahun kemudian. Mulai saat itu, saya terkesan, Buyung seorang idealis yang ingin membantu masyarakat kurang mampu di bidang hukum. Kemudian, dia meminta organÂisasi advokat Peradin menjadi sponsor pendirian LBH pada 28 Oktober 1970. LBH dilantik oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin di kantor Gubernuran DKI Jakarta.
Ali Sadikin melantik Buyung seÂlaku ketua dan saya sebagai sekreÂtaris. Pengurus LBH lainnya, seinÂgat saya, seperti Minang Warman, Victor Sibarani, Kusriani, Sukayat, Yap Thiam Hien, dan Nazar NaÂsution. Waktu dilantik, kami meÂmakai kemeja putih dengan dasi. Kantor LBH saat itu di Jalan KetaÂpang, dekat Jalan Gadjah Mada.
Saya bertugas penuh menÂjalankan kantor. Dana untuk operÂasional LBH, saya ingat, diperoleh dari Ali Sadikin yang mengalokasiÂkan Rp 300.000 setiap bulan dari anggaran belanja Pemerintah DKI Jakarta. Kegiatan LBH makin meÂningkat, terutama membela maÂsyarakat miskin, sehingga Mayor Jenderal Ali Moertopo yang, waktu itu, menjabat Asisten Pribadi PresÂiden Soeharto menyumbangkan beberapa skuter, yang diterima Buyung, dan dipakai untuk kegÂiatan operasional pembela umum.
Saat beberapa tahun kemudian terjadi peristiwa Malari pada 14 Januari 1974, saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Indonesia, terjadi kerusuhan dan perusakan massal. Buyung bersama aktivis lainnya ditahan Kopkamtib.
Saat di tahanan, ia mendenÂgar, saya, sebagai sekretaris, ingin mengambil alih LBH. Pengurus LBH dipimpin Minang Warman mengadakan rapat di Slipi. Saya hadir ditemani Erman RadjagukÂguk. Saya katakan, berita itu tidak benar. Setelah keluar dari tahanÂan, Buyung berkata, â€Abang salah sangka terhadap Albert.â€
Dilarang Bicara
Buyung juga aktif di PerhimÂpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), yang waktu itu diketuai Mayor Jenderal EJ Kanter. Saya ingat, bersama Buyung, Haryono Tjitrosubono, dan Harry Tjan SiÂlalahi menghadiri konferensi Law Asia di Manila tahun 1971. Di konÂferensi itu, dalam satu komisi, dia berbicara tentang bantuan hukum di negara berkembang, termaÂsuk Indonesia, dengan semangat menggebu-gebu.
Ketika konferensi Law Asia di Jakarta, Buyung dilarang berbiÂcara oleh Kopkamtib. Larangan itu datang dari Jenderal Soemitro. Saya berpikir, Buyung mulai kriÂtis terhadap penguasa. Saya ingat diminta Buyung untuk membela mahasiswa ITB di PN Bandung. Mahasiswa itu, angkatan 1978, dituduh melakukan penghinaan terhadap kepala negara, Presiden Soeharto. Saya membela Sukmadji Indro Tjahyono yang mendapat hukuman 11 bulan penjara. Indro sudah ditahan selama 10 bulan. Pada waktu vonis itu, dia praktis bebas. Kesan saya, Buyung senang membela kasus ketidakadilan.
Salah satu tujuan hidupnya secara akademis terpenuhi saat Buyung dengan sukses memÂpertahankan disertasi berjudul â€Aspirasi Pemerintahan KonstituÂsional di Indonesia†di UniversiÂtas Utrecht tahun 1992. Promosi itu mendapat perhatian banyak orang. Karya Buyung ini sangat baik. Disertasi Buyung ini memÂberi sumbangan besar untuk maÂsyarakat Indonesia dalam menÂjalankan UUD 1945 dengan baik, terutama mematuhi prinsip hak asasi manusia (HAM) yang tertera di Konstitusi.
Namun, dia tak setuju dengan pendirian Komnas HAM tahun 1993. Ia menyangsikan Komnas HAM, karena inisiatif pemerinÂtah, akan bisa memperjuangkan dan membela rakyat Indonesia di bidang HAM. Ternyata, Komnas HAM menjadi lembaga yang efekÂtif dalam memperjuangkan HAM di Indonesia.
Ketika memimpin Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Timor Timur tahun 1999, saya ditemui Buyung, yang juga dihadÂiri pejabat dari Hankam, di Hotel Grand Mahakam, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Buyung bertanya, apakah saya dalam kasus Timtim bisa memutuskan menggunakan pertanggungjawaban moral dan tidak menggunakan tanggung jawab komando atau command responsibility. Saya menolak perÂmintaan itu sebab setiap anggota KPP HAM Timtim telah menentuÂkan berdasarkan hati nurani. Pada 31 Januari 2000 saya sampaikan laporan KPP HAM Timtim terseÂbut kepada Jaksa Agung Marzuki Darusman. Waktu itu saya kecewa.
Saat Buyung menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden tahun 2007-2009, saya diundang untuk berbicara dalam seminar tentang amandemen konstitusi UUD 1945. Seminar itu adalah perÂsiapan untuk mengajukan nasihat dan pertimbangan kepada PresÂiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang amandemen kembali konÂstitusi yang diprakarsai Buyung. Saya sependapat tentang amandeÂmen kembali konstitusi ini. SebÂagai akhir, dari pergaulan selama bertahun-tahun, Buyung adalah tokoh hukum idealis yang bersifat conscience intellectual (intelekÂtual berhati nurani). Kita kenang kepergiannya. (*)