BOGOR, TODAY — Banyak hal yang menjadi pertimbangan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, KementeÂrian Riset, Teknologi dan PenÂdidikan Tinggi menonaktifkan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Selain karena perÂmasalahan administrasi, beberapa perguruan tinggi dinonaktifkan karena membuka kelas jauh dan rasio dosen yang tidak berimbang. Bogor menjadi salah satu daerah yang memiliki kampus bermasalah cukup banyak.
Hasil penelusuran Dirjen Dikti, dari 27 perguÂruan tinggi yang dinonaktifkan di Jawa Barat, ada satu perguruan tinggi yang rasio antara dosen dan mahasiswanya sangat jauh. Melalui situs resÂmi Dikti, tertulis Sekolah Tinggi Teknologi TelemaÂtika Cakrawala Bogor, hanya memiliki 10 dosen untuk mengajar 5.801 mahasiswa. Tertulis dalam laman tersebut, rasio dosen dan mahasiswa di STTT Cakrawala Bogor yaitu 1:580. Atau 1 orang dosen mengajar sedikitnya 580 mahasiswa.
Yang cukup mengherankan lagi, dalam data yang tercantum dalam website forlap.dikti.go.id, tercatat mahasiswa jurusan teknik komÂputer D3 berjumlah 3.681 dan teknik komuniÂkasi D3 dengan jumlah mahasiswa 167, namun jumlah dosennya nol.
Dari data yang didapat melalui situs resmi Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (KoperÂtis) Wilayah IV, didapatkan informasi jika STTT Cakrawala beralamat di Jl KH Soleh Iskandar Nomor 89 Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor.
Perguruan tinggi ini memiliki empat jurusan yaitu Teknik Elektro, Teknik Informatika, Teknik Komunikasi dan Teknik Komputer. Namun dalam situs tersebut juga disebutkan, jika empat juruÂsan tersebut semuanya belum terakreditasi.
Saat membuka website resmi perguruan tinggi tersebut dengan alamat Telematika.ac.id, ternyata tidak aktif. Sedangkan website dengan alamat stttelematikabogor.wordpress.com upÂdate terakhir pada 2013. Sebelumnya, KemenÂristek Dikti melalui Kopertis telah mengumumÂkan 243 kampus nonaktif karena bermasalah.
Dirjen Dikti membantah telah mencabut izin Perguruan tinggi (PT) yang dinonaktifkan. Mereka tidak mendapat pelayanan dari KemenÂterian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti). “Tidak betul PT dinonakÂtifkan itu dicabut izinnya. Itu tidak betul,†kata Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti Patdono Sumignjo di Gedung Dikti, Senayan, JaÂkarta Pusat, Selasa (6/10/2015).
PT yang memiliki status nonaktif di Pusat Data Perguruan Tinggi (PDPT) hanya tak mendapat pelayanan seperti pengurusan akreditasi ke BAN PT, pengajuan penambahan program studi baru, sertifikasi dosen, dan pemberian hibah.
Perguruan Tinggi dinonaktifkan jika empat periode tak melaporkan jumlah mahasiswa, dosen, staf, dan lulusan akan disematkan status nonaktif. Hal yang sama juga dilakukan kepada PT yang memiliki data tak sesuai antara lulusan dan mahasiswa yang terdaftar.
PT yang melanggar rasio pengajar dan maÂhasiswa juga akan bernasib sama. Dalam aturanÂnya, program studi eksak harus memenuhi rasio 1:30. Sedangkan, program studi sosial memenuhi rasio 1:45. “Ini yang sering dilanggar oleh PT negeri atau swasta,†kata dia.
PT yang melaksanakan perkuliahan atau membuka kelas di luar kampus induk tanpa izin diberikan sanksi yang sama. Buat PT swasta yang mengalami konflik di yayasan mereka dan meÂnimbulkan perpecahan rektorat hingga ada duÂalisme, tidak boleh menerima mahasiswa baru. “PT tidak boleh menerima mahasiswa baru dan wisuda. Kalau sudah dalam proses belajar menÂgajar boleh sampai konflik selesai,†ujarnya.
Status nonaktif akan dicabut setelah PT lakukan perbaikan. Label nonaktif diberikan agar PT memiliki waktu untuk memperbaiki keÂsalahan mereka.â€Penonaktifan itu bukan penuÂtupan, tapi sanksi sementara supaya PT memÂperbaiki kesalahan,†katanya.
Sementara itu, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) GICI Bogor juga menyatakan keberatanÂnya atas status nonaktif kampus yang diberikan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Mereka mengklaim, tidak melakukan pelanggaran sebagaimana terÂtuang dalam surat peringatan (SP) yang dikirimÂkan Kemristekdikti.
Keberatan STIE GICI sendiri disebabkan karena Dikti meminta kampus untuk mencabut ijazah 422 mahasiswa, tidak menerima mahaÂsiswa baru atau pindahan, tidak menyelenggaraÂkan wisuda, dan menutup perkuliahan di Bogor, Bekasi, dan Jakarta. Terkait hal tersebut, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (MenÂristekdikti), Mohammad Nasir berpendapat, STIE GICI telah menarik kesimpulan sendiri lantaran menganggap hal yang tertuang dalam surat perÂingatan sebagai suatu keputusan.
“Saat ini terkait pelanggaran STIE GICI beÂlum ada laporan dari tim yang melakukan invesÂtigasi. Surat yang diterima STIE GICI memang masih peringatan. Terkait tidak bisa wisuda, prosedur kampus nonaktif memang harus lapor dulu ke Dikti melalui kopertis,†ujar MenristekÂdikti, Selasa (6/10/2015).
(Yuska Apitya Aji)