Dulu, orang MalayÂsia belajar pertaÂnian di Indonesia. Negeri Jiran ini mengirim para pelajarnya untuk belajar pertanian di IPB Bogor, Universitas GaÂjah Mada. Kini, Indonesia belajar pertanian dari merÂeka, terutama dalam urusan sawit. Ironis, menang.
Seperti diketahui berÂsama, hampir setiap tahun, Indonesia selalu bermasalah menghadapi kebakaran perkebunan kelapa sawit di atas lahan gambut. Lahan gambut mudah terbakar dan pemadaman berlangÂsung lama. Kondisi akan terus berulang setiap tahun, bila lahan gambut untuk perkebunan tidak dikelola dengan tepat.
Malaysia, produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Indonesia, telah menerapÂkan teknik mencegah kebakaran perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Teknik ini juga mampu menaikkan produktivitas tanaÂman sawit di lahan gambut.
Caranya, tanah di lahan gamÂbut dilakukan pemadatan mengÂgunakan alat berat sebelum prosÂes penanaman. Saat penanaman, proses pemadatan dilakukan memakai ekskavator. Pemadatan berikutnya dilakukan lagi, 1-2 taÂhun setelah penanaman.
 Selain itu, perkebunan Malaysia menerapkan water management seperti pembangunan kanal untuk mengatur kelembaban atau kadar air di lahan sawit saat musim penghujan dan kemarau.
Dengan teknik ini, Malaysia tidak memiliki masalah besar terhadap kebakaran area perkebunan sawit di lahan gambut. Oleh karena itu, Indonesia diminta belajar tentang pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit ke MalayÂsia.
Hal ini disampaikan oleh Ahli Gambut asal Malaysia, yang juga Director of Tropical Peat Research Laboratoty Unit (TRRL) Malaysia, Dr Lulie Melling, saat berdiskusi dengan awak media asal Indonesia dan romÂbongan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), di area perkebunan sawit di daerah Miri, Sarawak, Malaysia, Rabu (24/2/2016). “Kalau kata pepatah tuntutlah ilmu sampai Negeri China, tapi sekarang (Indonesia) belajarlah dari Malaysia dulu,†ujar Lulie.
Dengan nada ledekan, ia kerap menjadi korban kiriman asap dari Indonesia yakni datang daerah KaÂlimantan. Lulie mengaku riset dan pemahaman soal lahan gambut di Indonesia khususnya masih minim, bahkan cenderung dipandang tidak utuh. Akibatnya, ada pemahaman salah tentang pemanfaatan dan penÂgelolaan lahan gambut untuk perkeÂbunan.
“Kita workshop, kita turun ke lapangan. Perusahaan, peladang, periset harus turun ke lapangan, percuma kalau LSM dan dosen dia nggak turun. Ini ibarat 6 orang buta melihat gajah. Dia melihatnya dari apa yang dipegang (diketahui saja),†tambahnya.
Pemahaman tentang pengelolaan lahan gambut sangat penting. ApaÂlagi, lahan gambut tropis di dunia mencapai 33-49 juta hektar. Dari jumlah itu, mayoritas berada di MaÂlaysia dan Indonesia.
Pemahaman ini harus didalami oleh orang Indonesia sendiri agar solusinya bisa lebih tepat, bukan dengan mengadopsi ilmu atau rekoÂmendasi barat yang tidak memiliki area lahan gambut tropis di negaÂranya.
“Dulu gambut digarap dan ngÂgak diminati sehingga jarang diteliti. Termasuk kurang dipahami. Banyak cerita yang tidak benar tentang gamÂbut, padahal gambut tropis adalah kekayaan kita,†ujarnya.
Di tempat yang sama, Ahli Gambut asal Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Basuki Sumawinata, menjelaskan perkebunan kelapa sawit di IndoÂnesia yang berada di lahan gambut hampir mencapai 1 juta hektar. PenÂanganan sawit di lahan gambut menÂjadi sangat penting, saat bencana kebakaran terjadi berulang kali pada musim kemarau.
“Kita lahan gambut dimanfaatÂkan jadi kebun sawit kurang 1 juta hektar. Total lahan gambut ada 18 juta hektar. Pemerintah mengaku 14,5 juta hektar. Ada kecenderunÂgan ingin membentuk opini lahan gambut jangan dimanfaatkan dan gambut jelek. Memang masalah pasti ada tapi saat ada teknologi itu bisa diselesaikan. Nggak mungkin ada masalah, tanpa obatnya,†paÂparnya.
Pekerjanya Orang Indonesia
Serawak merupakan salah satu sentra perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Tercatat, mayoritas pekerja kebun merupakan Warga Negara InÂdonesia (WNI), seperti di perusahaan Woodman Group.
Perusahaan kelapa sawit yang memiliki lahan seluas 40.000 hekÂtar di Miri, Sarawak, Malaysia ini mempekerjakan sampai 8.000 orang. Dari angka tersebut, sebanÂyak 80% merupakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
“Kita ada 7.000-8.000 pekerja. Mayoritas dari Indonesia yakni 80%, sisanya 20% dari Malaysia,†kata Managing Director WoodÂman Group, Dato Sri Law Kiu KiÂong, di area perkebunan WoodÂman Group, Miri, Sarawak, Rabu (24/2/2016).
Para pekerja ini mayoritas berada di lapangan. Woodman juga memÂberikan pelatihan kepada para peÂkerja asal Indonesia, karena WoodÂman Group juga memiliki pusat pendidikan.
Dato mengaku, pihaknya lebih memilih mempekerjakan WNI dariÂpada pekerja asing lainnya karena pertimbangan khusus. “Budaya dan agama kita mayoritas sama jadi gamÂpang penyesuaiannya. Kemudian orang Indonesia yang kerja di sini bisa bawa keluarga ke sini untuk kerÂja,†sebutnya. (dtc)