Untitled-3SEKOLAH di Indonesia pada umumnya identik dengan kegiatan belajar berbagai mata pelajaran, mengerjakanpekerjaan rumah (PR) dan diakhiri dengan ulangan atau ujian di setiap tengah dan akhir semester. Ada kalanya besar biaya yang tidak sedikit har­us dipersiapkan. Semakin bagus dan favorit suatu sekolah, biasanya mempunyai program yang tertata baik, kompetisi yang ketat dengan berbagai tugas sekolah yang banyak, dan biayanya semakin mahal.

Oleh : Oleh: Irma R. Priyadi dan Hari Priyadi
E-mail: [email protected] ; [email protected]

Sama halnya dengan Indonesia, Swedia mempunyai 2 jenis Sekolah Dasar. Sekolah Dasar Negeri yang disebut juga dengan Kommun Skolan, dimana pen­gelolaan dan operasional langsung dibawah Pemerintah Daerah (Kommun). Sementara Sekolah Dasar Swasta (Privat Skolan) dike­lola oleh yayasan atau lembaga tertentu dibawah pengawasan Departemen Pendi­dikan. Lalu apa beda Kommun Skolan dan Privat Skolan? Keduanya hampir tidak mem­punyai perbedaan kurikulum dan sistem pengelolaan. Yang membedakan hanyalah sistem pengajaran dan penyampaian materi. Biasanya Privat Skolan mempunyai sistem yang lebih kreatif dalam penyampaian materi yang sama.

Swedia merupakan salah satu negara di Eropa Utara yang berbatasan dengan negara Denmark, Norwegia dan Finlandia, atau sering disebut den­gan Scandinavia. Negara yang beribukotakan Stockholm tersebut terkenal sebagai negara pemberi penghargaan hadiah Nobel di dunia. Be­berapa produk dari Swedia diantaranya adalah Volvo, Ericsson, Sony Ericsson, Electrolux, Scania, Hennes & Mauritz atau H&M, IKEA, Nordea, Securitas, SKF dan masih banyak lagi. Grup music dari Swedia diantaranya adalah ABBA, Roxette, The Cardigans, Swedish House Mafia, Ace of Base, The Hives, Europe dan lain-lain.

Sekolah Tak Butuh Biaya

Setiap orang yang bekerja di Swedia akan dikenakan pajak penghasilan sebesar 30-50% (progressive terhadap penghasilan). Uang pa­jak itu akan digunakan untuk operasional semua biaya pendidikan anak-anak hingga Universitas, biaya kesehatan, pengelolaan fasilitas publik, pemberian tunjangan, dll. Bagaimana dengan masyarakat yang bukan wajib pajak atau pen­gangguran? Jangan kawatir, karena setiap anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, kesehatan dan tunjangan untuk ke­hidupan yang layak.

Untuk pergi ke sekolah, hanya diperlukan kemauan dan semangat belajar. Semua alat tu­lis seperti buku tulis, pensil, juga buku paket pendamping akan disediakan oleh pemerintah. Bahkan setiap jam 11 siang disediakan makan siang untuk mereka, menu yang sama untuk semua Sekolah Dasar di satu Kommun. Anak-anak diharuskan membawa bekal berupa buah-buahan dan air mineral yang akan disantap jam 9.30 saat jam istirahat.

Bagaimana dengan Privat Skolan? Tidak ada bedanya dengan Kommun Skolan, anak-anak juga tidak dikenakan biaya apapun. Pemerintah akan menanggung semua biaya sekolah, den­gan membayar semua kebutuhan anak ke pihak Privat Skolan. Kegiatan study tour, kunjungan belajar, transportasi termasuk biaya yang dicover oleh pemerintah.

Kurikulum Kreatif dan Tidak Membebani

Saya sebagai orang tua terkadang sedikit ketar-ketir dengan kondisi psikologis anak-anak dengan kurikulum dan materi pelajaran yang makin tahun makin sulit. Tas sekolahpun penuh perbekalan yang membebani punggung anak-anak. Masih segar dalam ingatan 30 tahun yang lalu ketika saya mulai masuk Sekolah Dasar. Pe­lajaran Bahasa Indonesia dengan materi mulai belajar membaca “ Ini Budi”. Pelajaran Matema­tika dengan hitungan penjumlahan dasar 1+1 dalam interval 1-20. Demikian pula pelajaran lain dengan materi yang mudah dicerna dan terjadi di sekitar kita. Pertanyaannya adalah masihkah kurikulum itu sesuai dengan zaman globalisasi sekarang ini?

Banyak orang berpikiran bahwa sekolah-sekolah di Luar Negeri menggunakan materi yang lebih berat dan lebih sulit daripada Indonesia. Ta­hukah Anda, bahwa di Swedia dan hampir semua negara-negara di Eropa masih menggunakan kurikulum yang kita anggap kadaluarsa itu, sep­erti kurikulum Indonesia 30 tahun lalu. Masuk Sekolah Dasar mereka baru belajar menulis kata per kata, itupun terkadang menulis huruf dan angka dengan posisi terbalik. Matematika juga mempelajari hitungan dasar, bahkan beberapa anak masih belajar menulis angka. Demikian juga negara Jepang, juga menggunakan kurikulum yang sama dengan Eropa.

Sementara di Indonesia Taman Kanak-kanak tingkat A (TK Kecil) sudah belajar penjumlahan, menulis halus, menulis suku kata dan membaca dua kata, bahkan PR sudah mulai diberikan. Menginjak Taman Kanak-kanak tingkat B (TK Besar), materi pelajaran matematika berupa penjumlahan puluhan, membaca kalimat dan cerita. Frekuensi PR lebih banyak, terkadang dia­dakan kompetisi berupa perlombaan baca, tulis, hitung dan menggambar. Tak jarang orang tua yang sudah mulai memberi pelajaran ekstra di luar sekolah di lembaga bimbingan belajar, kur­sus ataupun memanggil guru les di rumah. Hal ini dilakukan karena tuntutan syarat lolos masuk SD yang diharuskan lancar membaca, menulis dan berhitung. Karena sebelum masuk ke SD dia­dakan ujian tertulis ataupun wawancara secara langsung.

Tentu saja beban itu semakin meningkat ke­tika anak-anak masuk Sekolah Dasar. Tak jarang banyak yang tidak mau masuk sekolah dengan berbagai alasan. Mengerjakan PR pun dengan setengah hati. Belum lagi ditambah berbagai macam les privat yang akhirnya menjadi sebuah tuntutan dan kewajiban yang menimbulkan ke­jenuhan.

Sekolah itu sangat Menyenangkan

Kondisi ini sangat kontras dengan sistem pendidikan di Eropa pada umumnya. Disana anak-anak diberi kebebasan berekspresi, dan mengeluarkan pendapat. Seminggu sekali belajar di luar kelas, baik di taman bermain, kebun bina­tang, pantai, lihat pementasan teater dll. Suatu hari mereka diajarkan bagaimana cara membuat kue muffin. Anak-anak dibagi menjadi beberapa kelompok. Guru menyiapkan bahan-bahan kue, seperti terigu, telur, mentega, gula, coklat dan susu. Anak-anak membuat sendiri kue tersebut dengan arahan sang guru disertai resepnya yang dibagikan ke setiap anak. Setelah jadi, kue terse­but dimakan bersama dan sisanya dibawa pulang untuk diperlihatkan kepada orang tua.

Menurut Annete, sang guru “Anak-anak dikenalkan dengan alam sekitar, belajar menga­mati langsung dari alam, seperti melihat burung gagak, burung camar, bermacam-macam bunga dan pepohonan. Selain itu, mereka juga bela­jar sosialisasi dengan rekan-rekannya dengan mendiskusikan apa yang dilihatnya langsung. Mereka dilatih untuk berani berargumentasi”, imbuh Annette.

Saya juga sangat terkejut dengan kemampuan bahasa Swedia anak-anak saya. Belum tiga bulan sekolah, dia sudah bisa berkomunikasi dengan teman-temannya dengan menggunakan bahasa Swedia. Kurikulum sekolah menginginkan anak-anak agar logika berpikirnya dilatih melalui teori di kelas disertai pengamatan langsung alam sekitar dan budaya yang ada. Meningkatkan ke­percayaan diri dengan tampil di depan kelas, mengembangkan kreatifitas melalui bermain dan membuat prakarya. Juga melatih emosi diri dan belajar toleransi den­gan bergaul dengan teman-teman yang mempunyai latar belakang, warna kulit, ras dan agama yang berbeda. Nilai-nilai itu dita­namkan betul oleh sekolah. Tidak lupa kemandirian pada anak-anak.

Avslutnings­kolan, Ajang Ber­ekspresi dan Ber­kreasi

Yaitu hari terakhir sekolah sebelum libur panjang musim panas. Bi­asanya perpisahan dirayakan dengan sederhana tapi sangat meri­ah. Dekorasi pentas semua dibuat dari hasil karya baik lukisan ataupun hiasan dari semua siswa sekolah. Setiap kelas harus menun­jukkan kreativitasnya, dengan membuat prakarya, bernyanyi, menari atau ko­laborasi keduanya.

Biasanya tema setiap tahun ditentukan, misalnya tema lingkungan. Tiap kelas harus membuat prakarya tentang lingkungan untuk dipamer­kan. Biasanya TK, SD kelas 1 dan 2 membuat sebuah karya seni yang bermakna sesuai tema. Sementara kelas 3 keatas membuat karya ilmi­ah. Setiap hasil karya mempu­nyai pesan moral.

Standar Keteladanan Siswa

Seperti apa standar siswa te­ladan di Swedia? Sederhana yaitu memilih salah satu anak yang menjadi role model teman-temannya, tentu saja baik secara akademik dan menginspirasi yang lain. Prestasi akademik bukanlah satu-satunya tolak ukur utama keteladanan siswa. Guru se­lalu menganggap semua anak pintar. Tidak ada jawaban yang disalahkan karena pemikiran dan pendapat anak adalah relative. Tujuan sebuah pertanyaan adalah mengajak anak-anak untuk berani mengemukakan pendapat, apapun itu semua mendapat apr­esiasi. Maka dari itu keberhasilan siswa tidak dinilai dengan rumu­san angka. Poin penting adalah bagaimana siswa bisa menerima materi pelajaran dengan senang hati, bisa bergaul dengan semua ka­langan, bisa memecahkan masalah dan menemukan solusi, bisa men­gambil keputusan, respect terhadap sesama, rasa empati dan tentu saja disu­kai banyak teman. Setiap acara perpisahan, Rektor sebutan Kepala Sekolah akan memilih salah satu siswa teladan untuk anak kelas 3, 4, 5 dan 6. Kriteria ke­berhasilanpun antara lain: siswa kreatif, siswa favorit teman, siswa yang toleran­sinya tinggi. (Ked­uanya bekerja dan pemerhati di bidang lingkungan tinggal di Taman Yasmin Bogor, pernah tinggal sela­ma 4 tahun di Swedia melanjutkan Program Doktor bersama den­gan kedua putranya Daffanendra Dejuno (11 th) dan Ghazynath­rya Demarcho (8 th)).

============================================================
============================================================
============================================================