Oleh: Prof DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum UGM

Hidup mandiri di ran­tau orang ditangkap, dikembalikan ke daerah asal, membe­bani sanak-saudara. Mana tahan, apa harus begini!”. “Bagaimana persoalan ideologi mereka, Mad?” pertanyaan in­telek saya lontarkan. “Ah, enggak tahu. Saya wong cilik kok ditanya soal ideologi. Apa itu ideologi? Bisa lepas dari himpitan utang dan beban sosial sudah cukup. Kalau mereka benar-benar kem­bali, nanti akan saya ajak ngurusi masjid dan bekerja apa adanya. Tidak usah ngoyo,” jawabnya. “Oke, jangan sewot Mad, santai saja,” saya menenangkannya.

Urusan berbicara di depan publik, saya sudah banyak makan asam-garam. Tetapi, bicara den­gan “wong cilik”, nuansanya amat berbeda. Seakan berhada­pan dengan wajah-wajah manu­sia polos dan lugu yang terjebak kemacetan dan keributan jalan raya. Mau menyeberang takut, tetapi kalau diam saja, kapan sampai tujuan. Sementara tem­pat tujuan berada di seberang jalan. Di kota jutaan manusia memandang curiga ke orang lain, pelit sekali dengan senyuman, pelit pula memberi pertolongan. Bicara kepada mereka semua, si­kap sabar dan wawasan jauh ke depan amat diperlukan.

Gafatar tidak dapat dilihat sebagai hitam atau putih. Uru­sannya sedemikian kompleks, bagai benang kusut, tidak mudah diurai. Gafatar merupakan potret kehidupan sosial-kenegaraan, baik yang tampak dalam wujud gerakan atau aliran maupun din­amika kehidupan secara meny­eluruh. Dari sisi negatif, Gafatar muncul karena faktor kemiski­nan, kesenjangan sosial, kesen­jangan ideologi, kesenjangan kei­manan, ketidakadilan ekonomi, politik, dan hukum, serta keru­sakan tatanan kehidupan lainnya.

Konflik-konflik, aliran-aliran keagamaan, dan kriminalitas merupakan bagian dari dinamika sosial-kenegaraan itu. Ketika pen­gelolaan negara bertumpu pada individualisme, liberalisme, dan kapitalisme, selanjutnya berki­blat pada keuntungan finansial-materialistik, nasib rakyat men­jadi barang sekunder dan seakan sah dikorbankan demi terimple­mentasikannya kebijakan-kebi­jakan pemerintah.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Seorang spiritualis kondang Gede Prama menggambarkan kehidupan sekarang sebagai pen­galaman yang diisi dengan rasa takut, curiga, dan waswas. Meli­hat televisi, isinya pembunuhan, perampokan, dan kejahatan lain sejenisnya. “Wong gede maupun wong cilik” tak jauh berbeda perilakunya, saling mengobjek­kan orang lain demi kepentingan dirinya. Artinya, perubahan pan­dangan hidup sudah merambah ke seluruh strata kehidupan. Tes­is Thomas Hobbes, homo homini lupus, benar-benar menyembul sebagai perilaku masif.

Pada zaman modern, khusus­nya pascareformasi, kehidupan sosial-kenegaraan serupa dengan pabrik yang sedang memproduksi manusia-manusia egois, materi­alistis, dan sekuler. Lihatlah, di pasar harus awas terhadap pen­copet. Di rumah jangan mudah menerima tamu sebelum jelas identitasnya. Pintu, jendela, dan gerbang jangan lupa dikunci agar pengemis dan pengamen tidak masuk. Pagar keamanan, dulunya berupa tetangga yang akrab, kini telah tergantikan tembok tinggi.

Ketakutan dan kecurigaan di­produksi massal, padahal hidup dalam ketakutan sama maknanya dengan bunuh diri perlahan­lahan. Jangankan orang-orang miskin, golongan marjinal, siapa pun terbilang sudah mapan, aman, dan berkecukupan sering masih tebersit kecurigaan dan ketakutan akan masa depannya. Saudara kita yang terbujuk rayu Gafatar boleh jadi mengklaim se­dang hijrah dari kehidupan hedo­nistik, tak beradab seperti itu.

Sebelumnya saya berpikir, hanya sedikit orang Indonesia yang protes terhadap situasi chaos, anomali, dan anarkistis itu. Namun, belakangan setelah sempat mengembara dan ber­temu orang kaya maupun miskin, pejabat maupun rakyat, ulama maupun santri abangan, rupanya orang-orang tercampakkan berte­baran di mana-mana. Mereka ge­lisah dan takut mati perlahan aki­bat keganasan kehidupan.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Dalam penyimpangan kei­manan dan ideologi, Gafatar perlu dikutuk. Tetapi, terhadap saudara-saudara kita yang dalam niat berani bersikap konkret, arif, dan bijak menata kehidupan lebih beradab, harmonis, dan sejahtera, apakah mereka salah? Kreativitas, inovasi, kecintaan pada bangsa, kesegaran berpikir, kepekaan kemanusiaan adalah sikap-sikap positif yang sedang dibangun ber­sama, apakah mereka salah?

David Mc Clelland dalam teor­inya “Achieving Society” dan Max Weber dengan idenya tentang “TheProtestant Ethics and The Spirit of Capitalism”, keduanya sa­ma-sama mengagungkan persain­gan dan ketakutan sebagai motor kemajuan. Kita, sebagai bangsa ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, lebih meyakini bahwa kepekaan jiwa bisa diasah dalam lingkungan kehidupan sosial komunalistik-re­ligius. Bila keyakinan ini disemai massal, tak perlu ada kekeringan di tengah basahnya kekayaan, tak perlu ada Gafatar di tengah Pan­casila, tak ada dosa di antara kita. Introspeksi dan berbenah diri bagi keluarga, masyarakat, dan pemer­intah menjadi kunci solusi persoa­lan Gafatar, menuju kehidupan yang adil dan beradab.

Pada saat publik disibukkan urusan Gafatar, ternyata wong cilik justru memiliki kepedulian sosial-kenegaraan tinggi. Ada lang­kah konkret yang akan dilakukan, merangkulnya ke dalam kehidu­pan komunalistik religius. Sikap demikian akan menjadi obat mu­jarab pencegahan dan peninda­kan pengikut Gafatar bila dipadu­kan dengan kontribusi pemikiran lain menjadi kebijakan nasional.

Damailah Saudaraku, kita arun­gi samudera kehidupan dengan perahu baru. Di mana pun, dalam keadaan apa pun, serta dengan sia­pa pun, kehidupan sejahtera dapat ditemukan. Sekali kita mampu melepaskan diri dari jeratan tali ke­hidupan hedonistik-sekuler, pasti­lah kesejahteraan rajin berkunjung. Amin. Wallahualam.

sumber: sindonews.com

============================================================
============================================================
============================================================