Oleh: DIANING WIDYA
Novelis dan Pegiat Sosial
Menjelang 17 AgusÂtus, misalnya, orang – orang memasang benÂdera seminggu sebelumnya dan tidak pernah diturunkan. Padahal, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958, lamanya waktu pengibaran hanya 12 jam, pukul 06.00-18.00. Hal itu dipertegas lagi dalam Pasal 7 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, bahwa (1) pengibaran bendera dilakukan pada waktu matahari terbit hingga matahari terbenam.
Selain itu, di masyarakat kita, penghormatan terhadap Sang Saka Merah Putih sangat kurang. Contoh kecil, orang tua yang mengantar anak ke sekoÂlah pada Senin pagi tetap asyik bercengkerama meskipun lagu Indonesia Raya tengah dikumanÂdangkan, seiring dengan pengiÂbaran bendera Merah Putih. Kita sering menganggap “biasa saja†bendera itu. Padahal, benda itu dulu diperjuangkan dengan daÂrah dan air mata. Karena bendera itu begitu istimewa, seharusnya perlakuannya pun juga sangat istimewa. Ia tidak sekadar simbol negara, tapi juga merupakan simÂbol perjuangan, cita-cita, heroÂisme, hingga harkat dan martabat bangsa. Ia adalah wujud dari kesÂeluruhan kehidupan kita. Ia idenÂtitas bangsa dan alat komunikasi di kancah internasional.
Untuk itu, di Jawa, berkemÂbang persepsi yang begitu menÂdalam tentang arti bendera itu. Misalnya, ada yang mempersepÂsikan bahwa bendera diambil dari warna gula kelapa. Ini bisa merujuk pada Keraton SusuhuÂnan Paku Buwono yang mengÂgunakan simbol timur-selatan yang dilambangkan dengan gula kelapa. Ada juga cerita, yang mengatakan saat Pangeran DipoÂnegoro melakukan perlawanan terhadap Belanda, rakyat menÂgibarkan umbul-umbul merah putih sebagai wujud dukungan. Selain itu, masyarakat Jawa pada bulan tertentu membuat selaÂmatan dengan mengirim bubur abang-putih (berwarna merah-putih) ke para tetangga.
Namun, sayangnya, belakanÂgan pelan-pelan bendera menÂjadi sekadar aksesori belaka pada Hari Kemerdekaan. Perayaan Agustusan di banyak tempat dan kampung-kampung lebih menonÂjolkan “hura-hura†di luar makna kemerdekaan yang lebih substanÂsial: lomba-lomba, panjat pinang, balap karung, makan-makan, dan seterusnya. Arti kemerdekaan menjadi bergeser menjadi semaÂta pesta. Kita jarang melihat ada perayaan yang lebih khidmat di kampung-kampung kita: misalÂnya upacara bendera, menghenÂingkan cipta, hingga kunjungan ke makam pahlawan (tidak hanya pahlawan nasional, tapi juga pahlawan lokal yang begitu banÂyak jumlahnya). Lomba-lomba juga tak salah, karena itu bagian dari kegembiraan.
Tapi alangkah makin khidÂmatnya Hari Kemerdekaan jika ditambahkan dengan lomba baca atau cipta puisi tentang pahlawan, lomba menulis tentang AgustuÂsan, lomba cerdas-cermat tentang perjuangan, dan sejenisnya-yang lebih bermakna. Bahkan, kita bisa mengisi pesta kemerdekaan itu dengan menyantuni orang miskin dan papa, atau memberi beasiswa kepada anak-anak mereka. Itulah sesungguhnya makna substanÂsial dari sebuah bendera-sebagai simbol kita telah (benar-benar) merdeka. (*)