Beras-analog-UBI-KAKIInstitut Pertanian Bogor (IPB) tak henti-hentinya melakukan gebra­kan untuk mengatasi krisis pangan di Indonesia. Kali ini mereka mem­produksi beras dari bahan jagung, singkong hingga sagu.

(Yuska Apitya Aji)

ADALAH Slamet Budijanto, Dosen Pangan IPB ini terdorong untuk berinova­si dengan mengembangkan produk be­ras analog atau beras tiruan yang terbuat dari jagung, singkong, hingga sagu.

Beras tiruan yang satu ini dijamin aman bah­kan kandungan gizinya bisa dibuat lebih tinggi. Slamet ingin, melalui produk hasil risetnya, masyarakat bisa men­gonsumsi karbohidrat tidak hanya nasi. “Beras analog bisa dibuat dari jag­ung, sorgum, singkong , ubi jalar, hingga sagu. Intinya untuk menya­jikan karbohidrat dengan cara lebih simpel. Lebih mudah diolah dan dikonsumsi,” kata Slamet, ditemui dalam acara IPB Investment Summit di Hotel Sultan, Senayan Jakarta Selatan, akhir pekan lalu.

Ia mengawali risetnya pada 2011. Hingga saat ini masih terus memperbaharui has­il risetnya dan terus produksi beras analog meski jumlahnya masih terbatas.

“Kami riset terus-menerus untuk pengembangan. Saat ini memang produk­sinya masih terbatas dan dilakukan di kam­pus. Hari ini mestinya saya instal uji coba alat produksi beras dengan kapasitas 250 kg/jam. Kalau alat itu berhasil, kami bisa produksi 2 ton per hari,” jelas Slamet.

Slamet menambahkan, Indonesia mer­upakan negara dengan penduduk pemakan beras terbesar dunia. Konsumsinya men­capai 124 kg/kapita. Substitusi karbohidrat terbesar berasal dari tepung terigu yang 100% masih impor.

Selama ini, menurut Slamet, sebetulnya masyarakat bisa melepas ketergantungan dari beras. Hanya saja, sudah melekat bah­wa belum makan kalau belum makan nasi.

BACA JUGA :  Pasangan Jaro Ade - Anang Hermansyah Berpeluang Maju di Pilbup Bogor 2024

“Bahkan kalau di suatu daerah nggak bisa makan nasi, langsung diasosiasikan dengan kemiskinan. Saya ingin terjadi per­geseran. Introduction rame-rame ke sum­ber karbohidrat lain,’’ kata Slamet.

Sebab, lanjutnya, negara ini dianuger­ahi nikmat kekayaan sumber karbohidrat. ‘’Ini challenge dari pangan pokok kita. Mbok ya jangan dipermasalahkan kalau orang ma­kanan pokoknya singkong. Lihat dulu laukn­ya, bisa sama enaknya dengan yang makan nasi,” terangnya.

Beras analog ini, meski terbuat dari um­bi-umbian namun secara fisik sangat mirip beras. Wujudnya bulir-bulir seukuran beras hanya beda warna agak kekuningan me­nyesuaikan warna bahan pokok yang dipakai.

Bedanya, cara memasak beras analog tidak perlu rice cooker atau dikukus. “Cara masaknya mudah sekali. Tidak seperti me­masak beras. Tetapi seperti masak mie in­stan. Hanya diberi air panas saja direbus sebentar. Praktis kan,” terangnya.

Tidak hanya kenyang, makan nasi dari beras analog kaya nilai fungsionalnya. “Ban­yak nilai fungsionalnya seperti tinggi serat, kaya antioksidan, dan vehicle fortifikasi,” imbuh Slamet.

Slamet pernah melakukan survey ke 3.600 mahasiswa IPB untuk mencoba makan nasi dari beras analog buatan­nya. Kemudian diminta mengisi kuisioner. “Hasilnya kurang dari 1% yang menyatakan tidak suka. Paling banyak menjawab suka dan sangat suka. Itu artinya produk ini bisa diterima dengan baik,” katanya.

Slamet pun tidak hanya ingin membuat sebatas beras buatan atau beras analog saja. “Saya tidak hanya ingin buat beras analog saja. Ke depan, goalnya ingin mem­buat beras analog fortifikasi (diberi bebera­pa kandungan zat gizi tambahan) hingga bubur beras analog instan siap seduh,” je­lasnya.

BACA JUGA :  Tuban Jatim Diguncang Gempa M6,0, Terasa hingga Semarang

Keunggulannya, beras analog ini punya indeks glikemik lebih rendah dari beras bia­sa sehingga aman bagi penderita diabetes. “Beras analog juga kandungan seratnya leb­ih tinggi dan lebih praktis karena tidak perlu dicuci terlebih dahulu,” tambahnya.

Soal harga, Slamet mengaku memang ingin dibuat mahal. “Harganya memang didesain agar mahal. Jadi orang berfikir, kenapa mesti mahal? Karena itu justru su­paya orang beli. Sebab mereka beli man­faat. Harganya setara beras merah Rp 20.000/kg,” jelasnya.

Beras analog kini mulai populer. Tidak hanya Slamet yang membuat tetapi juga para peneliti IPB lainnya termasuk dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). “Beras analog mulai populer kan sekarang. Inginnya supaya bisa diterima masyarakat luas. Kemudian bisa diproduksi secara massal,” imbuhnya.

Slamet bahkan menyebut, inovasi be­ras analog, Indonesia menjadi pioneernya. “Negara tetangga itu yang ada beras menir atau beras pecah diubah jadi beras utuh. Kalo boleh klaim, beras analog sumber karbohidrat non beras, Indonesia yang per­tama. Produk beras analognya saat ini Ia berikan hak untuk menjual ke entitas bisnis bentukan IPB yaitu PT Bogor Live Science Technology. “Penjualannya lewat Serambi Botani. Jadi urusan penjualan sudah saya serahkan ke PT BLST. Saya hanya pembuat dan pengembang teknologi saja,” tuturnya.

============================================================
============================================================
============================================================