Oleh: SMITH ALHADAR
Penasihat ISMES; Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Dikibarkannya bendera Palestina itu merupakan konsekuensi dari diterimanya Palestina sebagai penÂgamat nonanggota PBB sejak 2012. Semuanya merupakan usaha diploÂmasi Otoritas Palestina pimpinan Presiden Mahmoud Abbas.
Sehari sebelum itu Abbas berÂpidato di Sidang Umum PBB, yang bersikap keras terhadap Israel. AbÂbas menyatakan Otoritas Palestina tidak akan lagi meneruskan peÂrundingan dengan Israel kecuali IsÂrael mengimplementasikan hal-hal yang tercantum dalam KesepakaÂtan Oslo. Kesepakatan Oslo yang dicapai antara PLO dan pemerinÂtahan Israel pimpinan PM Yitzhak Rabin 1993 menetapkan Palestina akan memperoleh kemerdekaan setelah lima tahun melalui jalan perundingan. Namun, hingga kini kemerdekaan dengan wilayah di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan JeruÂsalem Timur tidak juga terwujud. Sementara itu, Israel terus memÂbangun permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem.
Apartheid Baru
Pada 1947, Liga Bangsa-Bangsa membagi tanah Palestina menjadi dua: 53% untuk Israel dan 47% untuk Palestina. Kini wilayah PalÂestina tinggal 20%. Berbagai kebiÂjakan Israel setelah merdeka 1948 terus diperlihatkan, mulai teror, pengusiran, perampasan tanah, hingga membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat. Kondisi terseÂbut membuat tanah untuk PalesÂtina semakin kecil. Kenyataan lain yang membuat Palestina frustrasi ialah, pertama, Jerusalem Timur telah dibangun Israel sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi kawasan tempat bercokol Masjidil Aqsa itu dinegosiasikan.
Pada 1999, Teddy Kolek, mantan Wali Kota Jerusalem, mengungkapkan pemerintahnya punya target rahasia untuk memÂbatasi populasi Palestina. Itulah inti kebijakan pemerintah kota dan pusat. Alasan mengapa tarÂget penting ialah agar tidak ada yang dapat menggugat kepemiÂlikan Israel atas Jerusalem di masa datang. Kedua, Tepi Barat saat ini berubah menjadi serangkaian `kantong-kantong wilayah’ yang membingungkan tanpa memiliki daerah teritorium yang menyatu. Kekhawatiran awal Palestina telah jadi kenyataan. Kebijakan memÂecah belah daerah itu membuat pembangunan sebuah negara PalÂestina menjadi hal yang mustahil. Hampir semua pengamat melihatÂnya sebagai sebuah bentuk baru apartheid.
Bagaimanapun, pidato Abbas yang disebutnya sebagai `momenÂtum pengharapan’ tak lepas dari fakta bahwa telah terjadi perpecaÂhan di Palestina antara Hamas di Jalur Gaza dan Fatah di Tepi Barat. Hal lain, popularitas Abbas anjlok akibat korupsi luar biasa di tubuh Otoritas Palestina. Dalam jajak pendapat baru-baru ini lebih dari 50% rakyat Palestina menginginkÂan Abbas mengundurkan diri.
Jajak pendapat itu juga menÂgungkapkan 51% rakyat Palestina tidak lagi percaya pada solusi dua negara melalui perundingan sebÂagaimana yang diyakini dan dilakuÂkan Abbas selama ini. Sementara itu, 65% menyatakan pengertian dua negara yang hidup berdampÂingan tidak praktis karena pemÂbangunan per mukiman Yahudi di tanah Palestina tetap marak.
Kendati demikian, Perdana Menteri Israel Benjamin NetanyaÂhu bereaksi keras terhadap pidato Abbas di depan Sidang Umum PBB.Hal itu akan sangat berpengaÂruh pada ekonomi Palestina. Toh, Palestina sangat bergantung pada hasil pajak yang dipungut Israel dari barang impor Palestina. KesuÂlitan itu makin hebat apabila PresÂiden AS Barack Obama ikut mengÂhentikan bantuan US$400 juta per tahun pada Otoritas Palestina. Namun, bisa jadi keberanian AbÂbas untuk tidak lagi menghormati Kesepakatan Oslo disebabkan adÂanya jaminan bantuan keuangan dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) asalkan Abbas menyÂetujui pelucutan senjata Hamas dan Jihad Islami serta mengisolasÂinya. UEA dan Saudi serta Mesir memang menginginkan terputusÂnya hubungan Iran dengan dua orÂganisasi militan itu melalui bantuÂan senjata dan keuangan. AS pun diduga tidak akan menghentikan bantuan kepada Otoritas PalesÂtina mengingat Washington sangat bergantung kepada Arab dalam perangnya melawan Negara Islam di Irak dan Suriah (IS).
Naikkan Isu
Pidato Abbas itu bisa jadi dapat mendongkrak popularitasnya lagi. Namun, bisa dipastikan kekisruÂhan yang sedang marak antara Israel dan Palestina di Tepi Barat akan semakin bergelora. Mungkin itu juga diinginkan Abbas mengÂingat isu Palestina tenggelam di bawah baying-bayang perang koÂalisi Arab di Yaman dan perang koalisi Liga Arab-NATO melawan IS. Perundingan serius antara IsraÂel dan Palestina hanya bisa terjadi kalau Obama mampu menekan Israel untuk maju ke meja peÂrundingan dengan tenggat. NaÂmun, dalam pidato di Majelis Umum PBB pada 29 September, Obama sama sekali tidak menyÂinggung Palestina. Itu menunÂjukkan Obama tidak lagi tertarik pada isu Palestina. Jadi, bendera Palestina boleh saja berkibar, tapi kemerdekaan? Nanti dulu. (*)