BOGOR, TODAY – Program perbaikan jalan terus dilakÂsanakan setiap tahun oleh DiÂnas Bina Marga dan Pengairan (DBMP) Kabupaten Bogor. Namun, itu tidak secara sigÂnifikan mengurangi ruas jalan rusak di Bumi Tegar Beriman.
Pada 2015 lalu, dari sekitar 1.771 kilometer jalan, hanya 71,41 persen diantaranya yang dalam kondisi baik. Sementara sisanya rusak ringan, sedang dan berat. Kerusakan berat sendiri sepanjang 298,649 kilÂometer.
“Mantap-baiknya susah dibedakan. Memang belum ada yang seperti jalan tol. Masih ada keretakan dan celÂah-celah kecil. Yang diupayaÂkan agar layak pakai, kami angÂgarkan di pemeliharaan agar tidak hancur,†ujar Edi.
Menurutnya, dari seluÂruh anggaran infrastruktur, proporsi untuk pembangunan dan perbaikan jalan dalam APBD, lebih tinggi dari alokasi dana lainnya. Namun, target 100 persen kondisi jalan manÂtap sulit tercapai karena luasnÂya wilayah Kabupaten Bogor.
Dalam APBD 2015 diangÂgarkan sekitar Rp 400 miliar untuk rehabilitasi jalan, seÂmentara untuk pemeliharaan jalan, jembatan dan pengairan sekitar Rp 93 miliar. RehabiliÂtasi pengairan sendiri Rp 150 miliar.
Setelah dievaluasi, sejumÂlah ruas jalan tertentu lebih mudah rusak, karena pengÂgunaan aspal sebagai bahan baku. Oleh karena itu, DBMP mulai membeton ruas jalan sesuai klasifikasinya.
“Kita upayakan dalam dua tahun ini jalan untuk dibeton. Diutamakan daerah pertamÂbangan dan industri. Dengan ketebalan minimal 20 centimÂeter sampai 30 centimeter. Tambang misalnya di Rumpin, untuk industri di Citereup samÂpai Gunung Putri,†tuturnya.
Menurutnya, perbandinÂgan harga aspal dan beton itu 1:3 namun kekuatannya bisa lebih tahan lima kali tanpa pemeliharaan.
Saat disinggung mengenai program Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk membuat jalur khusus angkutan tamÂbang, Edi menilai program itu tidak dapat dilakukan dalam waktu dekat.
“Gubernur memang memÂbuat jalur tambang. Kita anaÂlisa dulu AMDAL-nya. KeingiÂnan gubernur kan jalan khusus kendaraan tambang. Kalau begitu, jalan yang dilalui hanya akan berbentuk batu-batu yang keras, bukan aspal model tol. Angkutan tambang pun bisa leÂwat jalan begitu,†kata dia.
Tahap yang paling meÂmungkinkan ditempuh untuk jalur khusus tambang tahun ini barulah perencanaan. “Soalnya, walaupun kita memÂbuat beton setinggi 30 centimÂeter, bisa patah dengan kendÂaraan tambang,†katanya.
Selain di kawasan tertentu, pihaknya juga memprioritasÂkan wilayah yang berbatasan dengan daerah lain seperti Tangerang, Sukabumi, Jakarta Selatan, dan Kota Bogor.
“Karena di daerah tetangÂganya sudah beton,†ujar dia. Untuk wilayah Cibinong raya, ia menilai kondisinya masih layak, dan mayoritas meruÂpakan jalan provinsi dan naÂsional.
Pengamat tata ruang kota, Yayat Supriatna menilai, di wilayah tambang sendiri, ia memandang sudah saatnya dibangun jalan baru yang memisahkan aktivitas warga dan pertambangan. TujuanÂnya, meningkatkan kapasitas ekonomi warga setempat.
Menurut Yayat, pembanÂgunan jalan harus melihat asÂpek pertimbangan teknis sepÂerti tipologi kota/kabupaten, apakah merupakan perkoÂtaan atau pedesaan. KemuÂdian, harus didukung dengan pedoman perencanaan tata ruang wilayah yang memadai.
Pemerintah juga harus memerhatikan ketersediaan lahan dengan rasio luas lahan 5 persen dari luas wilayah kesÂeluruhan. Idealnya, panjang jalan yang dibangun menimÂbang pada jumlah penduduk di wilayah itu, yakni 0,6 kilomÂeter/1000 jiwa.
“Namun, kapasitas fungsi jalan sudah banyak yang terÂlampaui. Perubahan tata ruang dan peningkatan intensitas kegiatan sosial ekonomi memÂbuat beberapa jalan sudah melebihi perbandingan itu. Akibatnya, lebih dari 551 kiloÂmeter jalan di Kabupaten BoÂgor, mengalami kerusakan,†katanya.
Dia menilai, kapasitas pemÂbangunan jalan lebih dibutuhÂkan di wilayah nontambang. Sementara untuk kawasan tambang, pengawasan terÂhadap kelebihan berat tonase kendaraan sangat lemah.
(Rishad Noviansyah)