DIREKTUR Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Juda Agung mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dihantui pelemahan ekonomi global.
Yuska Apitya
[email protected]
Pertama pelemahan ekonomi gobal. IMF (International Monetary Fund) memÂprediksi 3,4% menjadi 3,2%. Ini terutama karena pelemahan atau revisi di berbagai negara emerging market juga Jepang,†terang Direktur Eksekutif KebiÂjakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung saat jumpa pers di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (26/4/2016).
Tidak hanya itu, tingginya dinamika pasar keuangan China yang dapat berubah sewaktu-waktu juga memberikan kekhawatiran bagi para pelaku pasar. Serta terjadinya penuÂrunan beberapa harga komoditas hingga 9% juga menjadi tantangan tersendiri bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Kedua adalah ketidakpastian China. Pertumbuhanekonomi dan pasar keuangan yang seringkali memberikan surprise kepada pasar keuangan. Ketiga penurunan harga komoditas. Tahun ini masih terjadi, sebelumnya penurunan sekitar 10% sampai 11% perkiraan terakhir 9%,†ujar Juda
Guna mengantisipasi derasnya pengaruh perlambatan ekonomi global, BI terus melakukan berbagai kebijakan makro yang juga disertai dengan kebijakan moneter dan makÂro prudensial. “Di sisi Bank Indonesia kami akan terus memperkuat kebiÂjakan stabilitas makro ekonomi serta memanfaatkan ruang kebijakan monÂeter dan makro prudensial,†imbuh Juda.
Berbagai kebijakan diharapkan dapat memperbaiki stabilitas perekoÂnomian dan menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Bauran kebiÂjakan di mana dimulai memanfaatkan uang kelonggaran ini dan juga pemerÂintah mendorong fiskal dari segi riil juga diharapkan dilakukan ke depan. Diharapkan ekonomi membaik dari stabilitas makro maupun menjaga pertumbuhan yang sudah terjadi,†tutur Juda.
Ke depannya, BI sebagai pemangÂku kebijakan juga mengawal tren pasÂar digital yang tengah ramai di dunia. “Digital ekonomi menjadi tren yang akan kita antisipasi,†pungkas Juda
Sementara, BI juga mencatat koÂmoditas pangan masih menjadi pemiÂcu utama inflasi. Salah satunya adalah bawang merah.
Gubernur BI Agus Martowardojo mencontohkan, kontribusi bawang merah pada laju inflasi Maret tahun ini cukup besar dibandingkan komoÂditas pangan lainnya. “Inflasi volatile food pada periode Maret 2016 terÂcatat 0,75% atau 9,59% year on year. Inflasi ini bersumber dari komoditas bawang merah, seiring meningkatÂnya intensitas hujan dan berakhirnya musim panen,†ujar Agus.
Selain itu, secara bulanan, bobot inflasi bawang merah juga tergolong tinggi dan mendominasi laju inflasi Maret tahun ini yang sebesar 0,19%. “Bobot komoditas bawang merah termasuk tinggi yaitu 0,66% month to month. Maret, andil inflasi bawang merah sebesar 0,16% dari 0,19% inÂflasi atau 80% dari inflasi nasional,†kata Agus.
Dia menambahkan, selain di MaÂret tahun ini, sebelumnya pernah terjadi inflasi bawang merah yang cuÂkup tinggi yaitu pada 2013 dan 2015. “Inflasi bawang merah pada Maret 2016 mencapai 30,86%. Inflasi bawaÂng merah mencapai 79% month to month pada Maret 2013, 60% month to month pada Juli 2013, dan 35,7% pada Desember 2015,†tutur Agus.
Sebelumnya, Badan Pusat StatisÂtik (BPS) mencatat Lonjakan harga-harga pangan menyumbang inflasi bulan Maret. Lonjakan tertinggi terÂjadi di harga bawang merah.
Agus Martowardojo mengatakan, sebenarnya Indonesia tak perlu mengimpor bawang putih. Sebagai contoh, Agus merujuk pada proyek kerja sama antara BI dan PemerinÂtah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah memproduksi benih bawang putih yang mampu menghasilkan 22 ton per hektar bawang putih. Proyek benih bawang putih ini berlangsung di Tegal, Jawa Tengah, bekerja sama dengan pemerintah daerah dan akaÂdemisi. “Pak Ganjar (Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah) terima kasih selalu memberi inspirasi dan motivasi sehingga riset dilakukan dan kita diÂbuka matanya bahwa bawang putih bisa dihasilkan di Indonesia, tidak selalu impor. Selama ini 90% impor,†kata Agus.
Menurutnya, proyek kerja sama itu merupakan contoh konkret bahÂwa bawang putih bisa diproduksi di dalam negeri. Selain itu, jika produksi bawang putih bisa ditingkatkan maka akan menekan ketergantungan terhaÂdap impor.
Tercatat pada Maret 2016, impor bawang putih mencapai 21.858 ton atau senilai US$ 18,6 juta. Untuk akuÂmulasi Januari-Maret 2016, impornya sebesar 98.414 ton dengan nilai US$ 74,8 juta. Sedangkan negara asal peÂmasok bawang putih ke dalam negeri adalah China.
Selain itu, Agus menambahkan, BI juga bekerja sama dengan Pemda Brebes membangun pusat pelatihan penanaman dan pengembangan bawang merah. “BI bersama Pemda Brebes membangun training center bawang merah yang membuka kesÂempatan bagi pemangku kepentinÂgan mempelajari produksi dengan teknologi terkini. Industri mulai panÂen dan pasca panen,†tandas Agus.(*)