JAKARTA, TODAY — Nilai tukar dolar Amerika Serikat (USD) ditutup di kisaran Rp 14.000, Selasa (25/8/2015) sore. Menjelang penutupan, mata uang Paman Sam itu sempat ditekan hingga ke Rp 13.990.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BEI) Perry Warjiyo mengatakan, bank sentral sudah melakukan intervensi dengan menggelonÂtorkan USD dalam jumlah banyak ke pasar keuangan. “Kita interÂvensi di pasar valas, terus-terusan intervensi dalam jumlah yang cukup besar,†ujarnya di DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (25/8/2015).
“Kedua, pembelian SBN (Surat Berharga Negara) di pasar sekunder. Misalnya kemarin kita ada penjualan SBN dari asing sekitar Rp 4 triliun, kita beli sekitar Rp 3 triliun dari pasar sekunder,†tambahnya. Selain itu, BI juga melakukan manajeÂmen likuiditas terhadap rupiah sehingga tidak terlalu murah ketika orang membeli USD. BI pun menggeser tenor instrumen moneter BI, dalam hal ini Deposit Facility (Fasbi) yang seÂbelumnya bersifat overnight atau satu malam ke arah 1 minggu, 3 minggu, 1 bulan, hingga 3 bulan.
“Kita lakukan seperti itu dalam manajeÂmen likuiditas, kita geser yang dulu banyak numpuk di overnight jangka pendek kita perÂpanjang. Dulu overnight Rp 111 triliun sudah kita pindahkan ke jangka yang lebih panjang 1 minggu, 2 minggu, 1 bulan, 3 bulan sekarang mungkin kurang lebih turun sekitar Rp 60 trilÂiun,†ujarnya.
Ia mengatakan, bank sentral juga meninÂgkatkan operasi di pasar valas agar cadangan devisa tidak terlalu turun. Salah satunya denÂgan menyerap valas dari bank yang kelebihan. “Beberapa kelebihan valas bank kita juga serap untuk tambah suplai di pasar valas, juga untuk intervensi sehingga memang cadangan devisa tidak terlalu turun,†ucapnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator biÂdang Perekonomian Darmin Nasution menÂgatakan, kondisi ini akibat dari respons berÂlebihan dari masyarakat terutama investor dan pelaku pasar.
Sikap berlebihan yang dimaksud Darmin adalah langkah pelaku pasar yang buru-buru membeli USD dalam jumlah besar begitu mendengar berita penurunan nilai mata uang yuan yang disengaja oleh China tanpa mencari tahu terlebih dahulu kondisi sebenarnya.
Hal ini menyebabkan pelemahan rupiah lebih dalam dari seharusnya karena perminÂtaan USD menjadi tinggi. “Masalahnya, orang nggak tahu persis seperti apa dampaknya. KaÂlau nggak tahu, pasang dulu nanti baru tanya ke sana ke mari,†ujar Darmin, di kantornya, Selasa, (25/8/2015).
Padahal, menurut Darmin, pelemahan ruÂpiah harusnya tidak sedalam saat ini. Karena menurutnya, bukan Indonesia yang sehaÂrusnya menerima dampak pelemahan yuan melainkan negara lain yang menjadi saingan dagang China.
Tujuan China melemahkan mata uangnya sendiri, kata Darmin, adalah untuk membuat produk barang yang dihasilkannya memiliki harga yang lebih murah di pasar ekspor.
Bagi negara lain yang memiliki produk sejenis dengan kualitas sama dengan yang dibuat China, langkah ini bisa menjadi ancaÂman karena barangnya kemungkinan tidak laku di pasar ekspor karena kalah murah dengan barang China.
Namun, bagi Indonesia seharusnya kodisi itu harusnya tidak jadi masalah karena tak banyak barang sejenis yang diproduksi IndoÂnesia dengan China. Justru ancaman paling besar harusnya dialamai Jepang, Korea, dan Amerika yang sama-sama bersaing di pasar ekspor seperti contohnya barang elektronik.
“Sebetulnya China devaluasi (turunkan niÂlai mata uangnya), yang dirugikan adalah siapa yang paling bersaing dengan dia, itu dia yang paling terkena harusnya,†kata Darmin.
Untuk itu, ia meminta agar pelaku pasar tiÂdak berlebihan merespons kondisi global yang terjadi bukan hanya saat ini tetapi juga dikeÂmudian hari. Tujuannya agar dampak secara nasional tidak makin buruk.
Presiden Joko Widodo sendiri tetap optiÂmistis tekanan ekonomi akan segera berlalu. Karena itu, Jokowi tetap mengajak masyarakat menyebarkan kabar positif. Sebab, menurut Jokowi, dengan menyebarkan kabar negatif maka rupiah akan semakin terpuruk dan yang dirugikan adalah rakyat Indonesia juga.
“Kalau kita ikut terseret arus melambatÂnya, itu yang nggak benar. Oleh sebab itu, berita-berita yang dibuat harus menimbulkan optimisme, jangan memunculkan yang seÂbaliknya yang pesimis,†kata Presiden Jokowi kepada pers usai membuka Musyawarah NaÂsional ke 9 Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Gedung Negara Grahadi, Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Selasa (25/8/2015).
Jokowi menerangkan, melemahnya nilai tukar rupiah tidak disebabkan faktor internal, tetapi faktor eksternal seperti krisis di Yunani, rencana kenaikan suku bunga di Amerika SeriÂkat, dan depresiasi yuan yang disengaja oleh China.
Jokowi juga mendorong serapan anggaran pemerintah segera direalisasikan untuk mengÂgerakan ekonomi. BI juga sudah berusaha keras mengeluarkan instrumen-instrumen yang menÂjaga agar nilai rupiah kembali menguat.
Jokowi mengatakan, Menko PerekonoÂmian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro juga sudah berusaha mengeluarkan regulasi-regulasi yang menÂguatkan nilai tukar rupiah.
“Kita jangan sampai terkena arus psikologi mengikuti irama perlambatan. Jangan seperti itu, harus berani meloncat membuat teroboÂsan serapan anggaran,†tuturnya.
“Memang kondisi eksternal yang lebih dominan. Oleh sebab itu saya berpesan deÂregulasi besar-besaran. Apa yang bisa kita sederhanakan, kita sederhanakan. Apa yang menghambat bisa dipotong. Saya kira cara-cara seperti itu bisa memotivasi kita semua jangan malah kena arus perlambatan,†tandasÂnya.
(Alfian M|dtc)