JAKARTA, TODAY — Sampai akhir pekan ini, rupiah belum memperlihatkan tanda-tanda penguatan. Nilai tukar dolar AS (USD) masih bertahan di kisaran Rp 13.300. Bank IndoneÂsia (BI) mengatakan, pelemahan rupiah kareÂna gejala ekonomi dunia.
Gubernur BI, Agus Martowardojo menÂgatakan, pihaknya terus waspada sampai akhir tahun ini. Hal tersebut berkaitan dengan rencana bank sentral Amerika Serikat (AS), yaitu Federal Reserve (The Fed), untuk menaiÂkkan suku bunga acuannya.
Agus Marto mengatakan, sejumlah pihak memprediksi The Fed akan menaikkan bunga acuannya mulai September seÂcara berkala. “Itu bukan berita baik bagi IndoÂnesia dan negara di dunia. Karena akan ada ketidakpastian lagi sampai akhir tahun. Maka secara umum masih diwaspadai,†kata Agus Marto di kantornya, Jalan Thamrin, Jakarta, Jumat (19/6/2015).
Lalu, hal kedua yang diÂwaspadai, ujar Agus, adalah perkembangan ekonomi YuÂnani. Saat ini, Yunani belum juga mencapai kesepakatan dengan krediturnya. Yunani memerlukan suntikan uang baru, untuk membayar utang jatuh tempo dari IMF. Namun sampai saat ini, Yunani belum sepakat dengan kreditur. Uni Eropa akan melakukan perteÂmuan membahas mandeknya kesepakatan tersebut.
“Kami sudah antisipasi seÂjak 2010-2011 bagaimana damÂpak dari krisis di Yunani, kalau misalnya melihat dampaknya ke tekanan mata uang dunia. Kami antisipasi itu. Kami inÂgin sampaikan tetap perkemÂbangan AS dan Yunani adalah penyumbang ketidakpastian,†jelas Agus Marto.
Jadi, ujar Agus Marto, kondisi di AS dan Yunani banÂyak berperan dalam pelemaÂhan nilai tukar rupiah. Dari dalam negeri, secara jangka pendek, pemerintah haÂrus menjaga pencairan angÂgaran tetap terjaga. Kemudian, pemerintah diminta fokus pada reformasi struktural, seperti percepatan perizinan, kepastian hukum, dan memÂbangun infrastruktur.
“Itu semua inisiatif yang disambut investor. Kalau sekaÂrang pemerintah sedang siapÂkan paket kebijaka ekonomi kami sambut baik. Itu kecenÂderungan super dolar ada,†jelas Agus Marto.
Seperti diketahui, nilai tuÂkar rupiah masih mengalami tekanan terhadap berbagai mata uang dunia. Contohnya USD dan dolar Singapura. Dua mata tersebut sudah melonjak sampai ke titik saat krisis monÂeter (krismon) 1998.
USD masih bertahan di kisaran Rp 13.300, setara poÂsisinya saat Agustus 1998, tak lama setelah Indonesia terkeÂna krismon. Sedangkan dolar Singapura tembus Rp 10.005, sama seperti waktu krismon.
Direktur Eksekutif DeparteÂmen Komunikasi BI Tirta SegÂara mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah ini diakibatÂkan USD yang secara umum menguat terhadap mata uang dunia.
“Cuma besarannya beda-beda tergantung kondisi negaÂranya, bahkan ada negara-negara tertentu yang sengaja melemahkan mata uangnya seperti Brasil, Turki pelemahÂannya jauh lebih besar bisa samÂpai belasan persen,†ujarnya.
Rupiah sudah jatuh hingga 7,5% terhadap USD. Menurut Tirta, hal ini jauh berbeda dengan negara lain yang mata uangnya bisa melemah hingga belasan persen.
“Euro waktu itu melemah tajam, jadi rupiah kita semÂpat seperti menguat terhadap euro. Sekarang euro seperti ada perbaikan tetapi juga maÂsih tertahan oleh Yunani. Kalau itu mempengaruhi euro, euro bisa melemah lagi baik terÂhadap USD maupun rupiah,†ujarnya.
Jika memang rupiah jatuh gara-gara USD yang menguat, lalu kenapa rupiah juga loyo melawan dolar Singapura? “Itu kan semua pokoknya seÂcara umum USD itu menguat ke semuanya, dibandinginnya itu ke USD, kalau rupiah denÂgan mana itu coba lihat denÂgan yen, rupiah dengan yen itu stabil di sekitar Rp 118-120, dengan euro malah pernah menguat,†jelasnya.
Apakah pemerintah tidak takut rupiah bisa menyusul dolar Zimbabwe yang satu USD setara triliunan dolar ZimbaÂbwe? “Saya enggak mau koÂmentar soal itu,†ujarnya.
(Alfian Mujani|detik)