JAKARTA, TODAY—Bank IndoÂnesia (BI) memandang bahwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) berdampak relatif terbaÂtas pada perekonomian domesÂtik, baik di pasar keuangan mauÂpun kegiatan perdagangan dan investasi.
Perekonomian Indonesia saat ini memiliki ketahanan ekonomi yang baik. Stabilitas makroekonomi tetap terjaga yang tercermin dari inflasi yang rendah, defisit transaksi berjalan yang terkendali, dan nilai tukar yang relatif stabil. Ketahanan ekonomi ini diyakini mampu menjaga perekonomian IndoÂnesia terhadap dampak hasil referendum di Inggris.
“Di pasar keuangan domesÂtik, di tengah terjadinya pelemahÂan di pasar uang Eropa dan Asia, nilai tukar Rupiah relatif stabil,†kata Direktur Eksekutif DeparteÂmen Komunikasi BI, Tirta Segara dalam keterangan tertulisnya, Minggu (26/6/2016).
Seperti dikutip Reuters, doÂlar Amerika Serikat (AS) seÂtara Rp 13.375. Pasar saham Indonesia juga mengalami koÂreksi relatif terbatas, terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara peers, seperti InÂdia, Thailand, dan Korea Selatan. IHSG pada penutupan perdaÂgangan Jumat kemarin terkoreksi hanya 0,82%.
dampak Brexit juga diyakini relatif terbaÂtas. Pangsa ekspor Indonesia ke Inggris hanya sekitar 1% dari total ekspor IndoneÂsia. Hal yang harus dicermati adalah damÂpak lanjutan dari terganggunya hubungan perdagangan UK-Eropa, mengingat pangsa ekspor Indonesia ke Eropa (di luar Inggris) mencapai 11,4% (tahun 2015).
Sebagian besar ekspor Indonesia ke Eropa adalah bahan baku dan mentah. SeÂmentara itu, dampak pada kinerja investaÂsi di Indonesia juga diprediksi terbatas. Dalam lima tahun terakhir, pangsa penaÂnaman modal asing langsung dari Inggris terhadap total penanaman modal asing di Indonesia tercatat di bawah 10%. “Ke deÂpan, Bank Indonesia akan terus mencerÂmati potensi risiko yang muncul dari hasil referendum di Inggris. Bank Indonesia akan terus berkoordinasi dengan PemerinÂtah untuk memonitor perkembangan perÂekonomian global, serta tetap mendukung langkah-langkah Pemerintah untuk meÂningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui penguatan stimulus pertumbuhan dan percepatan implemenÂtasi reformasi struktural,†tuturnya.
Sementara itu, Praktisi perbankan Jahja Setiatmadja mengatakan, dampak langsung Brexit terhadap ekonomi InÂdonesia relatif tidak ada. Namun dampak tidak langsungnya tetap perlu diwaspadai, terutama di sektor keuangan.
Jahja menjelaskan, keluarnya kubu pro Inggris keluar dari Uni Eropa sebagai pemenang dalam voting yang diselenggaÂrakan oleh Komisi Pemilihan Inggris telah membuat kurs mata uang Inggris PoundÂsterling jatuh terhadap sejumlah mata uang uang kuat dunia. Misalnya dolar AS.
Jika kejatuhan Pound membuat perÂmintaan terhadap dolar AS meningkat, efeknya akan juga dirasakan terhadap kurs rupiah terhadap dolar AS,
“Efek langsung (Brexit) tak ada, tapi kurs ini kalau (kurs) Pound jatuh kareÂna Brexit, pengaruh ke dolar juga. Kalau permintaan dolar jadi tinggi, dolarnya akan berpengaruh ke kita juga. Exchange rate (kurs valas) terpengaruh,†kata Jahja Setiatmadja, kemarin.
Dikhawatirkan, jika permintaan dolar AS tinggi, dolar AS juga ikut terus menguat terhadap rupiah. “Seharusnya ini hanya dampak short term (jangka pendek) ya, tapi masalahnya Perancis dan Belanda serÂta Austria kan ada wacana mau ikut-kutan keluar dari Uni Eropa,†jelas Jahja.
Jahja menjelaskan, perekonomian InÂdonesia saat ini sedang sulit. Banyak sekÂtor usaha yang turun, termasuk sektor pertambangan dan perkebunan. Daya beli jatuh. Anggaran Pemerintah dalam APBN juga bermasalah karena realisasi peneriÂmaan pajak yang jauh di bawah target.
Dibandingkan dengan tahun 2008, kondisi ekonomi Indonesia di mata Jahja lebih buruk “Tahun 2008 itu daya beli maÂsyarakat masih bagus. Sekarang kondisinÂya parah. Daya beli sekarang jatuh. Sektor pertambangan, perkebunan, manufaktur, packaging sekarang semua turun,†katÂanya.