Agus-MartowardojoBANK Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2016 di kisaran 5,1 persen. Angka itu di atas pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy) sebesar 4,71 persen, maupun pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV tahun 2015 sebesar 5,04 persen.

Oleh : Yuska Apitya
[email protected]

Kami lihat, secara umum, pertumbuhan ekonomi di kuartal I (2016) ini akan leb­ih baik, di atas 5,1 persen lah, kira-kira sedikit di atas 5,1 persen,” kata Direk­tur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung, di Jakarta, kema­rin.

Juda mengungkapkan pertumbuhan ekonomi kuartal I terutama ditopang oleh konsumsi dan investasi pemerin­tah yang lebih tinggi dibandingkan peri­ode yang sama tahun lalu.

Juda mencatat belanja modal pemerintah sampai akhir Februari melesat 300 persen (yoy). Sementara, be­lanja barang pemerintah naik 60 persen (yoy). “Jadi cepat sekali pemerintah dan ini menjadi salah satu penopang atau menjadi driver, menjadi sumber pertumbuhan di kuar­tal I,” ujar Juda.

Selain itu, lanjut Juda, apabila dilihat dari sisi konsum­si masyarakat, indikatornya memberikan sinyal positif. Misalnya, kenaikan indeks keyakinan konsumen maupun penjualan ritel. “Memang ada beberapa indikator konsumen yang masih agak mix seperti penjualan mobil masih relatif flat,” ujarnya.

Tak hanya itu, BI memperki­rakan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal I akan lebih baik dibanding­kan perkiraan di awal tahun. Hal itu ditopang oleh neraca perdagangan yang mencatatkan surplus US$1,15 miliar atau lebih baik dibanding­kan dengan prediksi sebelumnya. “Memang surplus neraca perdagan­gan kemarin lebih baik surplusnya dari perkiraan kami di awal tahun sehingga untuk kuartal I ini kami perkirakan defisit neraca transaksi berjalan akan sedikit lebih baik yai­tu di sekitar 2,6 persen sampai 2,7 persen (dari PDB),” ujarnya.

BACA JUGA :  Dessert Puding Susu Aneka Buah yang Enak Cocok untuk Menu Berbuka Puasa

Secara keseluruhan, BI mem­perkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan berada di kisaran 5,2- 5,6 persen (yoy) atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi tahun lalu, 4,79 persen.

Opsi Tambal Defisit APBN

Di sisi lain, pemerintah diminta mencari solusi untuk menambal defisit pengeluaran anggaran tahun ini.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, mengungkap­kan, hingga kini, belum ada opsi untuk menambal selisih kurang penerimaan atau defisit tahun ini mengingat uang masuk ke kas negara belum sesuai ekspektasi.

Menurut Agus, kebijakan untuk menjaga ruang fiskal menjadi hal krusial yang perlu dijelaskan ke pub­lik guna meningkatkan kepercayaan pelaku pasar dan investor. “Apakah akan ada pemotongan belanja atau perlu dibiayai oleh surat utang? Ini perlu dijelaskan sehingga ranking Indonesia bisa lebih baik dan segera dinaikkan,” ujarnya di Jakarta, Jumat (18/3).

Agus menilai hingga pertenga­han Maret 2016 kondisi ekonomi nasional terus membaik, ditandai dengan laju inflasi yang terjaga, daya beli masyarakat yang mem­baik dan derasnya realisasi investa­si pemerintah melalui APBN. Indi­kator membaiknya ekonomi pun terlihat dari turunnya nilai kontrak proteksi risiko kredit (Credit De­fault Swap). Selain itu, lanjutnya, tekanan ekonomi eksternal juga mereda, meskipun potensi gejolak tidak hilang sepenuhnya dalam sisa tahun. Namun, kata Agus, masih ada beberapa hambatan yang dili­hat investor dan lembaga pemer­ingkat.

BACA JUGA :  Menu Buka Puasa dengan Udang Manis Asam Pedas yang Lezat dan Nikmat Bikin Nagih

Hingga saat ini, lanjutnya, baru lembaga pemeringkat Fitch dan Moody’s yang menjaga rangking In­donesia sebagai negara layak investa­si (investment grade).

Lembaga pemeringkat lain, Standard and Poor’s (S&P) masih menempatkan rangking Indonesia di bawah level layak investasi den­gan peringkat BB+. Pada Mei 2015, S & P sebenarnya telah mendong­krak prospek peringkat Indonesia dari “Stabil” menjadi “Positif” se­hingga perlu selangkah lagi untuk mendapat peringkat layak investa­si.

Menurut Agus, masalah prospek penerimaan negara itu yang juga menjadi salah satu perhatian S&P. Lembaga pemeringkat tersebut ingin menilai dari rencana kebi­jakan fiskal pemerintah sejauh ini, setelah penerimaan negara hingga awal Maret 2016 tidak sesuai hara­pan.

Sebagai informasi, pemerintah berencana menerapkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) guna meningkatkan penerimaan negara. Namun, rencana kebijakan tersebut belum bisa dieksekusi mengingat pembahasan Rancan­gan Undang-Undang Pengampunan Pajak di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum menunjukkan kema­juan yang berarti. Padahal pemer­intah sudah merencanakan pen­gampunan pajak sejak 2015.

Masalah lainnya adalah peri­hal institusional seperti kepastian hukum. Agus menyambut baik su­dah disetujuinya Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Selain itu, menurut Agus, pemer­intah juga perlu memberi penjela­san mengenai kepastian jangka waktu penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak dan transparansi perhitungan harganya. “Kita ha­rus memastikan dua isu yakni aspek institusisonal dan kedua as­pek fiskal,” tandasnya. (*)

============================================================
============================================================
============================================================