22412516DIREKTUR Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Tirta Segara mengumumkan rapat dewan gubernur (RDG) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) di level 6,75 persen, dengan suku bunga Deposit Facility sebesar 4,75 persen dan Lending Facility sebesar 7,25 persen.

Oleh : Yuska Apitya
[email protected]

Keputusan tersebut sejalan dengan upaya untuk mencapai sa­saran inflasi 2016 sebesar 4 plus minus 1 persen dan tetap konsisten dengan upaya mendorong momentum pemu­lihan ekonomi domestik, di tengah masih lemahnya pertumbuhan ekonomi global,” ujar Tirta di Jakarta, Kamis (21/4/2016).

BI menurutnya akan melanjutkan upaya memperkuat kerangka operasi moneter melalui penerapan struktur suku bunga operasi moneter secara konsisten.

 Kebijakan tersebut dibarengi dengan penguatan koordinasi kebi­jakan bersama Pemerintah untuk memastikan pengendalian inflasi, penguatan stimulus pertumbuhan, dan pelaksanaan reformasi struk­tural berjalan dengan baik, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Tirta menyebut banyak negara maju yang melonggarkan kebijakan moneternya akibat perlambatan ekonomi global yang masih berlan­jut. Sejumlah lembaga internasional bahkan memperkirakan pertum­buhan ekonomi global bakal lebih rendah dari proyeksi semula, dido­rong oleh belum kuatnya pemulihan ekonomi di sejumlah negara maju dan perlambatan ekonomi negara berkembang. “Pemulihan ekonomi Eropa yang masih lemah dan men­galami deflasi, seiring dengan me­ningkatnya pesimisme konsumen dan investor, mendorong berlanjut­nya pelonggaran kebijakan moneter, termasuk melalui penerapan suku bunga negatif,” jelasnya.

Kebijakan suku bunga negatif juga terus dilakukan oleh Jepang dan beberapa negara maju lainnya dalam merespons pertumbuhan ekonomi yang terus melambat. Kebi­jakan pelonggaran moneter di nega­ra maju tersebut berpotensi menin­gkatkan likuiditas global dan aliran modal masuk ke negara berkem­bang.

Sementara, pemulihan ekonomi negara Barrack Obama diyakini De­wan Gubernur BI masih belum solid tercermin dari kegiatan manufaktur dan net ekspor yang masih lemah. “Sejalan dengan itu, suku bunga Fed Fund Rate (FFR) diperkirakan baru akan meningkat di semester II 2016 dengan besaran kenaikan yang lebih rendah. Sementara ekonomi Tiong­kok mengarah ke kondisi yang lebih stabil dengan risiko pelemahan yang masih tinggi,” ujarnya.

BI juga mencatat adanya penu­runan suku bunga simpanan dan pinjaman secara signifikan sepan­jang kuartal I 2016.

Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengklaim hal tersebut didorong oleh sejumlah kebijakan moneter yang sudah mulai longgar. Tercatat sejak awal tahun BI telah tiga kali menurunkan suku bunga acuannya dan juga menurunkan batasan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 150 basis poin (bps).

BACA JUGA :  Minuman Segar dengan Es Jeruk Buah Potong untuk Takjil Dingin Kesukaan Keluarga

Akibatnya hingga Maret rata-rata suku bunga deposito perbankan su­dah turun sebanyak 37 bps dan 13 bps untuk suku bunga kredit. “Den­gan adanya penguatan transmisi ini tentunya akan mempunyai dam­pak ke kecepatan turunnya lending rate dan deposito rate. Sekarang ini transmisi kebijakan pelonggaran operasi moneter ini sudah mulai berjalan walaupun belum terlalu op­timal,” kata Juda di Jakarta, Kamis (21/4/2016).

Secara akumulasi, BI mencatat adanya penurunan suku bunga ter­besar di bulan Maret. Hal tersebut di­pengaruhi oleh adanya lag dari dam­pak penurunan BI rate yang kedua kalinya serta penurunan GWM yang cukup besar yaitu 100 bps.

Dalam catatan analisis uang bere­dar BI bulan Februari 2016, suku bunga kredit memang mengalami penurunan, sementara pergerakan suku bunga simpanan bervariasi. Pada Februari 2016, suku bunga kredit tercatat sebesar 12,79 persen turun dibandingkan bulan sebelum­nya yang sebesar 12,83 persen.

Sementara itu suku bunga simpa­nan berjangka 1, 6 dan 12 bulan ter­catat masing-masing sebesar 7,32 persen, 8,43 persen dan 8,4 persen, turun dibandingkan bulan sebelum­nya yang sebesar 7,51 persen, 8,5 persen, dan 8,43 persen.

Di sisi lain suku bunga simpanan berjangka 3 dan 24 bulan masing-masing tercatat sebesar 7,97 dan 9,1 persen atau lebih tinggi dibanding­kan dengan bulan sebelumnya yang tercatat 7,9 persen dan 9,06 persen.

Namun penurunan suku bun­ga kredit tersebut tidak dibarengi dengan permintaan kredit selama Januari-Februari. Posisi kredit yang disalurkan perbankan pada akhir Februari 2016 tercatat sebe­sar Rp3.996,6 triliun atau tumbuh 8 persen. Pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan dengan per­tumbuhan bulan sebelumnya yang mencapai 9,3 persen. “Ini yang saya bilang bahwa suku bunga is not ev­erything, ada demand, ada kemauan bank untuk menyalurkan. Mestinya kalau bunga kredit turun, harusnya permintaan kredit meningkat,” kata Juda.

Kendati demikian, kedepannya Juda memperkirakan permintaan kredit akan meningkat seiring pen­guatan daya beli masyarakat dan peningkatan modal kerja, dengan demikian posisi kredit bermasalah akan stabil di level 2,8 persen.

Mandiri dan BCA Turunkan Bunga

Sementara itu, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Bank Central Asia Tbk membuka ruang penu­runan suku bunga pinjaman pada se­mester I 2016. Likuiditas kedua bank berkapitalisasi besar itu tampaknya masih cukup baik jika melihat renda­hnya pertumbuhan kredit pada tiga bulan pertam atahun ini.

BACA JUGA :  Cemilan saat Pulang Teraweh dengan Sempol Ayam Pedas Saus Keju yang Enak Anti Gagal

Head of Treasury BCA, Branko Windoe mengatakan pelonggaran kebijakan moneter yang ditempuh oleh Bank Indonesia (BI) telah mem­bantu perbankan dalam mengatasi penyakit utama lembaga jasa keuan­gan. Sejak suku bunga acuan (BI Rate) turun pada awal tahun, ia me­nilai perbankan bisa langsung men­gambil keputusan untuk menurunk­an suku bunga pinjaman maupun kredit yang dikucurkan ke nasabah. “Kalau kita lihat, kita sedang dalam fase easy money policy dari sentral bank, bukan uang ketat, dengan eas­ing seperti itu saja seharusnya bunga bisa turun,” ujar Branko di Jakarta, Kamis (21/4).

Saat ini, jelasnya, BCA mematok suku bunga dasar kredit sebesar 10 persen untuk kredit korporasi, 11 persen untuk kredit retail, dan 10,25 persen untuk KPR, serta 8,63 persen untuk kredit non KPR. Branko meli­hat BCA masih memiliki peluang un­tuk mengikuti keinginan pemerintah menekan suku bunga kredit menjadi digit tunggal (single digit). “Kita seka­rang dalam siklus permintaan akan uang secara historis itu selalu rendah pada kuartal I, jadi timingnya me­mang pas untuk menurunkan suku bunga,” jelasnya.

Terlebih saat ini, lanjutnya, BI akan menggunakan 7 Days Reverse Repo Rate sebagai instrumen mon­eter baru untuk membantu pelong­garan likuiditas. Rencannya, suku bunga acuan repo tersebut baru akan diberlakukan BI pada 19 Agus­tus 2016.

Dalam kondisi likuiditas ketat, kata Branko, bank sebenarnya dapat memanfaatkan fasilitas kredit (Lend­ing Facility) BI. Sedangkan saat li­kuiditas mengetat, bank akan mulai memanfaatkan deposito atau dana mahal. Apabila hanya mengandalkan dana mahal, kata dia, maka referen­sinya jadi tidak sesuai.

Pada kesempatan yang sama Di­rektur Treasury dan Market Bank Mandiri, Pahala Nugraha Mansury mengatakan perseroan telah menu­runkan suku bunga kreditnya hingga 75 basis poin (bps). Segmen kredit yang dipangkas bunganya sejauh ini hanya untuk beberapa sektor strat­egis, terutama pembiayaan infra­struktur oleh korporasi.

Menurut Pahala, Bank Mandiri masih membuka ruang pemang­kasan bunga kredit untuk segmen lainnya. Bank pelat merah tersebut akan menurunkan suku bunga pin­jaman terutama bagi nasabah yang dianggap memiliki risiko rendah dan berperan dalam pembangunan infra­struktur seperti sektor perumahan. “Tentunya dengan beberapa per­syaratan, kondisi perusahaan baik, transaksi cukup banyak, asal ruang penurunannya ada,” tandasnya.(*)

============================================================
============================================================
============================================================