JAKARTA, TODAY — Pasar keuangan dunia termasuk Indonesia tengah harap-haÂrap cemas menanti arah keÂbijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) terhadap suku bunga acuannya.
Kurang lebih 10 tahun, negeri Paman Sam tersebut belum lagi menaikkan Fed fund rate. Dengan kondisi perekonomian AS yang tenÂgah melambat, kemungkinan Fed fund rate akan dinaikkan pada buan DesemÂber tahun ini.
Demikian dikatakan Direktur dan Kepala Riset Ekuitas Citi InvestÂment Ferry Wong dalam Seminar “Economic and Capital Market OutÂlook 2016†di Assembly Hall, Plaza Bapindo, Jakarta, Senin (7/12/2015).
“Kami perkirakan Fed fund rate expect akan menaikkan tingkat suku bunga 0,25% ini di Desember, ini sejak awal 2006 Fed belum menaikkan suku bunga jadi hampir 10 tahun tidak menaikÂkan suku bunga, jadi Desember ini akan naik,†kata Ferry.
Dia menyebutkan, kenaikan suku bunga The Fed akan dilakuÂkan secara bertahap. Di DesemÂber 2015 diperkirakan akan naik sebesar 0,25%. Selanjutnya Fed fund rate akan naik lagi sebesar 0,25% masing-masing di kuartal II dan IV-2015 sehingga totalnya menjadi 1%. Sementara di 2017 diperkirakan akan dinaikkan kemÂbali 0,25% sehingga posisi Fed fund rate di tahun 2014 mencapai 1,25%. “Itu gambarannya. Hampir 2 tahun orang menunggu kapan Fed naikkan suku bunga,†katanya.
Terkait hal itu, Ferry memÂperkirakan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate akan dituÂrunkan di tahun depan masing-masing 25 bps di kuartal II dan VI-2016. “Jadi kita expect di second quarter 2016 dan fourth quarter 2016, untuk BI akan menurunkan masing-masing 25 bps. Itu gambaÂran makro,†kata Ferry.
Kondisi perekonomian domesÂtik memang dinilai sudah cukup mendukung untuk mendorong BI melonggarkan kebijakan monÂeternya melalui penurunan suku bunga acuan. Angka inflasi sebÂagai salah satu indikator BI dalam menurunkan BI rate dinilai sudah dalam posisi rendah. Namun, BI masih dilema untuk menetapkan suku bunga acuannya ke depan.
“Kita menyadari dilema. Di satu sisi terjadi perlambatan ekoÂnomi tapi satu sisi risiko eksternal cukup besar. Tapi dilihat lainnya, inflasi sudah sangat menurun,†ujar Direktur Grup Departemen Kebijakan Riset Ekonomi BI Yoga Affandi, Senin (7/12/2015).
Memang, kata dia, posisi BI rate saat ini di level 7,5% sudah cukup tinggi dan dengan melihat berbagai indikator makro ekonomi saat ini, ada ruang BI untuk melÂonggarkan kebijakan moneternya.
Namun, inflasi bukan satu-saÂtunya indikator yang menjadi ukuÂran bank sentral dalam mengambil kebijakan moneternya. Ada nilai tukar rupiah yang saat ini sedang dalam kondisi volatile. Ini harus diÂjaga tetap stabil, terlebih akan ada kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed). Antara pertumÂbuhan dan stabilitas menjadi dua hal yang cukup dilematis bagi BI. “Dengan 7,5% BI rate, suku bunga riil sudah sangat besar, harusnya sudah cukup untuk melonggarkan kebijakan moneter. Tapi BI harus jaga stabilitas karena sumbangan stabilitas tertinggi itu ada di nilai tukar,†jelas dia.
Menurutnya, kebijakan monÂeteer BI ini harus dilihat dalam jangka panjang, bukan hanya saat ini. Penurunan suku bunga acuan BI akan banyak berdampak pada naiknya yield obligasi. Sementara untuk pasar saham dan kredit perÂbankan semua akan tergantung pada sisi permintaan. “Mengenai saham, penurunan suku bunga mungkin mendorong saham, tapi survei kita itu justru berpengaruh ke yield. Jadi sisi ini harus dilihat longterm, jadi kita konsistensi keÂbijakan. Jadi kalau harusnya turun ya turun jangan sampai sudah tuÂrun ada gejolak politik malah naik lagi, jadi jangan sampai kelongÂgaran tersebut menimbulkan gejoÂlak,†pungkasnya.
Suku bunga acuan atau yang sering disebut BI Rate menjadi perhatian penting dalam kondisi sekarang. Pemerintah berulang kali meminta agar Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga, seÂmentar BI selaku pemegang otoriÂtas berkata tunggu dulu.
Menko Perekonomian Darmin Nasution mengakui menariknya persoalan ini dibahas di depan publik. Apalagi sebelumnya jaÂbatan Darmin adalah Gubernur BI sebelum pensiun dan digantikan oleh Agus Martowardojo. “Ada yang katakan bunga diturunkan. Ada yang katakan nanti dulu, capiÂtal outflow-nya besar. Bagaimana cari titik optimumnya. Saya masih coba menahan diri untuk tidak provokasi terlalu jauh. Nanti kita cari jalannya pelan-pelan,†ungÂkap Darmin dalam acara Investor Gathering di Gedung Dhanapala, Jakarta, Senin (7/12/2015)
Darmin akan membicarakan hal ini secara langsung dan lebih rinci kepada Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dan GuÂbernur BI Agus Martowardojo. Menurutnya, bila disampaikan di depan publik justru akan menamÂbahkan kegaduhan yang akhirnya justrus melahirkan sentimen negaÂtif. “Tidak baik juga gaduh. Saya bicara dengan Menkeu dan GuberÂnur BI nanti. Mencari solusi bukan melahirkan kegaduhan,†ujar DarÂmin sambil tertawa.
Secara umum, Darmin melihat kebijakan makro ekonomi, baik dari sisi fiskal dan moneter ditunÂtut untuk penuh kehati-hatian. Namun bukan berarti harus terus menerus bertahan di posisi aman. “Kebijakan fiskal dan moneter yang prudent dalam situasi ini? Saya artikannya, suatu kebijakan yang bukan sekedar mau aman tapi tiÂdak punya daya ungkit ke dalam perekonomian. Cuma kalau terlalu nekad sehingga jadi bertaruh denÂgan nasib republik itu sangat salah. Jadi prudent adalah bagaimana berhati-hati tapi tidak kehilangan upaya untuk mendoronf atau cipÂtakan daya ungkit,†paparnya.
Dari sisi fiskal, sekarang sudah ada dorongan yang cukup agresif terhadap pertumbuhan ekonomi. Khususnya dari sisi belanja pemerÂintah. Sedangkan dari sisi moneter juga ada dorongan, meski tidak terlalu agresif.
(Yuska Apitya Aji/dtk)