MEMASUKI musim hujan, jumlah pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota dan Kabupaten Bogor meningkat siginifikan. Bahkan, angka kematian yang disebabkan gigitan nyamuk Aedes Aegypti ini mulai bertambah selama medio Januari 2016.
RISHAD NOVIANSYAH|YUSKA APITYA
[email protected]
Mayoritas pasien yang dirawat itu bukan warga asli Kota BoÂgor. Karena berdasarkan data kami hanya 22 pasien Kota BoÂgor yang dirawat karena DBD. Dari jumlah itu, satu orang terÂcatat sebagai warga Kota Bogor meninggal dunia,†ujar Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor, dr Rubaeah, Minggu (24/1/2016) petang.
Rubaeah merinci, kawasan yang menjadi endemis DBD yakni di Kecamatan Bogor Barat, Utara dan Tanah Sereal. “Angka penderÂita dan potensi di tiga kecamatan ini sangat tinggi, mungkin karena perilaku tidak sehat. Sejauh ini kami terus mensosialisasi menÂdalam kepada masyarakat, untuk waspada terhadap virus DBD. Kami belum tetapkan masuk Kasus Luar Biasa (KLB) karena penderitanya masih dalam angka wajar. Tapi kemungkinan FebÂruari mendatang, wabah semakin meluas,†terangnya.
Data yang dihimpun, di RSUD Kota BoÂgor, tercatat sudah ada 70 pasien DBD yang dirawat inapkan. Sementara di RS PMI, terÂcatat ada 45 pasien DBD yang menjalani rawat inap. Hingga kini masih dalam perawatan. “Hindari tidur pagi dan sore hari, sejatinya ada dua musim pola di Kota Bogor di mana nyamuk Aedes Aegypty berkembang biak sangat pesat, yaitu di bulan Januari-Maret dan Oktober-November,†kata Rubaeah, ‘’Karena bulan tersebut, kondisi cuaca Kota Bogor beÂrada di musim pancaroba, musim yang tidak tentu antara panas dan hujan,’’ tambahnya.
Di kondisi cuaca yang tidak pasti inilah, nyamuk berkembang biak sangat cepat, kareÂna pola berkembang biak nyamuk khususnya nyamuk Aedes Aeygepty melaui genangan air. Karena telur atau jentik nyamuk ini tidak bisa hidup di tanah.
Sementara di Kabupaten Bogor, kasus kematian akibat DBD dialami Rizky (1), warga Kampung Narogong, Desa Kembang KunÂing, Kelapanunggal, Kabupaten Bogor. Balita ini meninggal dunia pada Kamis (20/1/2016) karena diserang DBD sejak tiga hari terakhir.
Rizky menambah daftar jumlah korban meninggal akibat DBD. Dinkes Kabupaten BoÂgor mencatat, 81 orang meninggal selama tiga tahun terakhir.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten BoÂgor, dr Camelia W. Sumaryana mengatakan, peningkatan jumlah pasien DB akibat gigiÂtan nyamuk yang terjadi di 40 kecamatan di Kabupaten Bogor dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifiÂkan. “Kasus DB memang terus meningkat karena tercatat 81 penderita meninggal dalam tiga tahun terakhir,†ujarnya.
Dia mengatakan, peningkatan jumlah penderita DB akibat serangan gigitan nyamuk mulai terpantau pada 2013, dengan jumlah penderita 1.324 orang dan korban meninggal 25 orang. Pada 2014, jumlahnya mengalami peningkatan cukup tinggi, yakni 1.834 orang. “Jumlah korban meninggal penderita DB pun mengalami peningkatan, yakni 29 orang,†tuÂturnya.
Pada 2015, jumlah penderita DB sebanÂyak 1.453 orang, dengan korban meninggal 27 orang. Namun, memasuki awal tahun 2016, sejak awal Januari, jumlah warga yang terserang wabah DB mengalami peningkatan cukup signifikan. “Ada peningkatan mencaÂpai 40 persen sepanjang Januari ini dibanding pada Desember 2015,†ucapnya.
Camelia mengatakan, peningkatan jumÂlah penderita DB di Kabupaten Bogor diseÂbabkan oleh rendahnya kesadaran masyaraÂkat akan pola hidup sehat dan kepedulian terhadap kebersihan lingkungan sekitar. “Banyak masyarakat salah kaprah bahwa penanggulangan nyamuk DB ini dengan cara fogging atau pengasapan sarang nyamuk,†katanya.
Padahal, berdasarkan survei, cara memÂbasmi sarang nyamuk dan membunuh jentik nyamuk adalah menjaga kebersihan lingkunÂgan atau program 3M. “Kebersihan diri dan lingkungan keluarga dan masyarakat sangat penting, sedangkan cara fogging merupakan cara terakhir,†tuturnya.
Bahkan, di Kabupaten Bogor, untuk memÂberantas DB agar tidak banyak lagi korban jiwa, Bupati Bogor sudah mengeluarkan surat edaran pemberantasan sarang nyamuk (PSN) karena ada 10 dari 40 kecamatan di KabupatÂen Bogor yang menjadi daerah endemik dan zona merah wabah DB. “Kecamatan tersebut adalah Ciomas, Cileungsi, Sukaraja, GunungÂputri, dan Ciampea,†kata dia.
Terpisah, Kepala Bidang Pencegahan, Pemberantasan Penyakit dan Kesehatan LingÂkungan (P2PKL) Dinkes Kabupaten Bogor, dr Kusnadi menjelaskan, pola hidup masyarakat menentukan kualitas kesehatan lingkungan tempat tinggal mereka.
Menurutnya, Dinkes tidak bisa bekerja sendiri dalam mengatasi beragam penyakit di Bumi Tegar Beriman. Aparat desa dan keÂcamatan pun memiliki peranan dalam kasus DBD yang sulit terkendali ini.
“Untuk tokoh masyarakat, jika ada warÂga yang terkena DBD, mereka harus segera melaksanakan PHBS dengan melibatkan Puskesmas di kecamatan masing-masing sebÂagai antisipasi dini,†kata Kusnadi.
Namun, meski Kecamatan Cibinong relaÂtif paling maju di Bumi Tegar Beriman, kasus DBD disana kerap menjadi yang paling tinggi. Pada 2013 terjadi 225 kasus tiga diantaranya meninggal, tahun berikutnya melonjak drasÂtis menjadi 433 kasus dan 10 orang meningÂgal. Fakta sedikit melegakan terjadi pada 2015 saat kasus turun menjadi 282 dan tiga diantaÂranya meninggal.
Edarkan Waspada DBD
Tak hanya Pemkot dan Pemkab Bogor saja yang telah menyebar edaran Siaga DBD sejak Januari 2016. Data dari Kementerian Kesehatan menyebutkan sebanyak 511 kabuÂpaten/kota di Indonesia berpotensi menjadi tempat berkembangnya demam berdarah.
Dirjen Pengendalian Penyakit dan PenyeÂhatan Lingkungan Mohamad Subuh menÂgatakan hal ini berarti tidak ada satu pun daerah Indonesia yang bebas terhadap enÂdemisitas demam berdarah.Dari lima ratus kabupaten/kota yang berpotensi, hampir 90 persen diantaranya merupakan daerah enÂdemik. Jakarta sebagai ibukota negara pun ada di dalamnya.
“Yang endemik ada 424 kabupaten kota. Jabodetabek seluruhnya endemik demam berdarah,†kata Subuh dalam lokakarya PemÂbahasan Tanggap Darurat DBD di Indonesia di kompleks Kementerian Kesehatan RI, JaÂkarta, Minggu(24/1/2016).
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menjadi salah satu daeÂrah endemik dikarenakan kondisi lingkungan yang memang kurang kondusif. Subuh meÂnyebutkan salah satu faktor yang menyebabÂkan berkembangnya penyakit tersebut adalah sistem drainase yang buruk. Banyaknya salÂuran air yang mampet dan tidak bisa mengalir dengan baik akan menyebabkan air tergenang dan menyebabkan jentik-jentik nyamuk Aedes spp bisa berkembang biak dengan baik.
Perubahan dan manipulasi lingkungan yang terjadi karena urbanisasi dan pembanÂgunan tempat pemukiman baru juga menjadi faktor risiko. Banyaknya galian bekas proyek pembangunan atau galian kabel yang tidak tertutup dengan sempurna juga bisa menjadi faktor penyebab nyamuk mudah berkemÂbang biak. Untuk tahun 2015, jumlah kasus DBD cenderung mengalami penurunan dari tahun 2014. Pada Oktober-Desember 2015, jumlah kasus DBD menurun menjadi 23.882 kasus. Padahal tahun sebelumnya mencapai 7.244 kasus. “Hal ini berhubungan dengan kamampuan SDM (Sumber Daya Manusia), sarana, prasarana, kualitas pelayanan dari sisi bagaimana bisa mengendalikan angka kematian,†ujar Subuh.
Sebuah daerah digolongkan KLB DBD, kata Subur, jika sebuah daerah yang belum pernah terkena DBD timbul kasus DBD, jumÂlah kasus baru dalam periode tertentu meÂningkat dua kali lebih dibandingkan angka sebelumnya, atau angka kematian dalam kuÂrun waktu tertentu meningkat 50 persen atau lebih dibandingkan periode sebelumnya.
“Jika sebuah daerah telah ditetapkan sebÂagai KLB DBD, pemerintah akan memberikan dana penanggulangan sebelum kasus DBD mewabah di daerah tersebut,†tandasnya. (*)