TENTANGAN dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat mengenai dampak buruk yang bisa ditimbulkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) milik PT Prayoga Pertambangan dan Energi (PPE) mendapat respon dari kalangan legislatif Bumi Tegar Beriman.
Oleh : RISHAD NOVIANSYAH
[email protected]
Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Bogor, Yuyud Wahyudin menegaskan untuk kembali membuka komunikasi dengan PT PPE mengenai kecaman Walhi yang mengklaim limbah insenerator sampah yang akan dibangun PPE memiliki dampak lingkunÂgan yang jauh lebih buruk di kawasan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Galuga.
“Sebetulnya, inovasinya baÂgus. Kalau misalnya menurut Walhi itu justru lebih bahaya bagi lingkungan, maka harus ditindaklanjuti. Soalnya, kalau sampai mangkrak, kan sayang investasi yang sudah digelontorÂkan,†kata Yuyud kepada Bogor Today, Jumat (19/2/2016).
Politisi PPP itu menambahkan, Direktur Utama (Dirut) PT PPE, Radjab Tampubolon untuk tidak terlalu terburu-buru dalam menÂjalankan bisnis plan. Menurutnya, harus dikaji dulu dengan matang dan dengan perhitungan akurat.
“Ya memang dia punya saÂham di PPE kurang lebih Rp 700 juta. Tapi ya semua harus teruÂkur dong. Karena ujung-ujungÂnya dividen ke pemerintah daeÂrah,†lanjut Yuyud.
Sebelumnya, Divisi AdvoÂkasi dan Kampanye pada Walhi Jabar, Wahyu Widy mengungÂkapkan, teknologi pengelolaan sampah yang digagas PPE bisa membahayakan warga Bogor, khususnya sekitar Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang.
Selain itu, menurut dia, penerapannya pun berseberanÂgan dengan aturan serta komitÂmen pemerintah untuk mengurÂasi gas rumah kaca.
Widy pun meminta Pemkab Bogor mengkaji ulang peneraÂpan teknologi yang menurutnya bertentangan dengan hasil KonÂvensi Stockholm Tentang Bahan Penceman Organik Persisten.
“Itu akan menghasilkan diokÂsin dan furan yang sangat berbaÂhaya bagi kesehatan dan harus ditekan produksinya. Ini juga bertentangan dengan UU Nomor 18 Tahun 2008 Tentang PengeÂlolaan Sampah. Bogor kan juga dikelilingin pegunungan dan padat penduduk,†katanya saat dihubungi, Kamis (18/2/2016).
Secara otomatis, kata dia, pembakaran sampah secara masif akan memperparah warga yang telah terdampak Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga. Saking berbahÂanya racun PLTSa, dioksin juga bisa terpapar dari hewan yang terkena cemaran udara lalu dikonsumsi.
“PLTSa hanya mengubah sampah jadi abu. Tapi tidak menghilangkan racunnya. BahÂkan, kandungan racun masih bisa ditemukan meski abu itu telah direproduksi menjadi batu bata,†tukas Widy.
Walhi menyarankan, Pemkab Bogor meninjau ulang aspek opÂerasional, kelembagaan, pemÂbiayaa, peran serta masyarakat serta regulasi dalam master plan pengelolaan sampah. Ia khaÂwatir, pelaksanaan PLTSa tanpa master plan, akan terjadi ketiÂdakjelasan dalam penanganan dampaknya.
Widy menggambarkan, penÂgaplikasian PLTSa di negara maju seperti Jerman dan Jepang telah meninggal metode ini. Menurutnya, pemerintah disana justru membatasi produksi dan konsumsi sampah dari hulu.
“Keuntungan mengelola sampah sangat kecil ketimbang damÂpak yang harus dipikirkan pemerÂintah,†katanya.