RAJA-raja Pajajaran – khasnya Niskala Wastukancana, Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa – selain mempunyai kesadaran inward looking, juga mempunyai outward looking yang tajam. Penugasan yang diberikan Prabu Siliwangi kepada Prabu Surawisesa (sejak masih Putera Mahkota) untuk meÂmainkan peran diplomasi, menunjukkan ketajaman pandangan demikian.
Oleh : Bang Sem Haesy
PERAN Prabu Surwisesa itu tamÂpak pada perdamaian antara PorÂtugis dengan Pasai (1521). Hal ini menjadi penanda penting kemesraan hubungan Pajajaran dengan Pasai (kini Nangroe Aceh Darussalam). Konflik bersenjata antara Pasai – Portugis dalam banyak hal meÂmang mengganggu perekonoÂmian berbagai kerajaan lain, termasuk Pajajaran, Sriwijaya, Demak, dan Majapahit.
Prabu Surawisesa beÂrangkat ke Melaka, dan berÂhasil menciptakan situasi damai kembali di kawasan yang menjadi pintu paling barat dari Selat Melaka. BerÂbagai catatan bersumber PerÂancis, menggambarkan dalam perdamaian Pasai – Portugis, Prabu Surawisesa berhasil menginisiasi kesepahaman tentang perlunya menciptaÂkan situasi Selat Malaka yang aman dan damai.
Inisiasi itu membuka mata kedua pihak yang bertikai untuk menghidupkan Malaka dan Pasai yang sama-sama akan memperoleh manfaat. Karena, bila konflik terus terÂjadi, Pajajaran akan memilih jalan lain, yaitu menggunaÂkan jalur Selatan. DampaknÂya akan merepotkan banyak kerajaan lain.
Salah satu yang akan ditempuh Surawisesa adalah menjadikan Ciwandan sebaÂgai pelabuhan utama perdaÂgangan internasionalnya. Bila hal ini ditempuh, Temasik dan Melaka akan berkurang perannya. Karena hanya akan menjadi pelabuhan internaÂsional dari kerajaan –kerajaan yang terbatas.
Begitu kembali ke PajajaÂran, Demak mengambil iniÂsiatif berbeda, justru hendak menguasai Pasai dan Melaka sekaligus untuk kepentinganÂnya. Karena gagal dengan amÂbisisnya, Demak mengalihkan perhatian ke Selat Sunda, dan ingin menjalankan apa yang diinisasi oleh Surawisesa.
Ketika Prabu Surawisesa sedang berkonsentrasi memÂbenahi persoalan internal Pajajaran terkait dengan sakÂitnya Prabu Siliwangi, SulÂtan Ahmad Abdul Arifin atau Pangeran Trenggono (nama ini untuk mengenang hubunÂgan Demak dengan KesulÂtanan Trengganu) yang memÂimpin Demak melakukan aksi tak terduga. Atas sepengÂetahuan Ratu Kalinyamat, Sultan Trenggono memproÂvokasi Cirebon dan Banten untuk kepentingan aksinya. Termasuk mengambil kuasa atas Lampung, dari dominasi kekuasaan Sriwijaya.
Mendengar kabar itu, PraÂbu Surawisesa menyiapkan pasukan untuk mempertaÂhankan Sunda Kelapa, tapi tak sempat. Antara lain dengan menekan Cirebon dan BanÂten. Prabu Siliwangi melarÂangnya dan menasihatinya agar menghindari konflik berÂsenjata dengan Cirebon dan Banten yang didirikan oleh saudara sebapak lain ibu denÂgannya.
Prabu Surawisesa menuruÂti kehendak Prabu Siliwangi. Para juru pantun memaknai situasi pada saat itu dengan lirik apik tentang prinsip kepemimpinan: sinatria pilih tanding, pemimpin yang siap menghadapi kondisi apapun juga (termasuk perang dan berkompetisi). Kewes pantes tandang gandang (selalu dalam kondisi fit and proper).
Bedanya dengan raja-raja lain, sebagai Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa tetap mengÂgunakan akal budi dalam memimpin (handap asor pamÂakena). Prinsip diplomasi PraÂbu Surawisesa digambarkan berbasis komunikasi beradab (nyarita titi rintih), cermat dan teliti (ati-ati tur nastiti), berfikir dulu baru bicara (nyabda diunggang-unggang). Dan, tidak jumawa (bubuden teu ieu aing).