IMG_0846BOGOR TODAY – Masyara­kat Tionghoa di Kota Bogor merayakan festival kue bu­lan, akhir pekan kemarin. Festival ini menandakan kegiatan pertanian dimulai dan berharap panen lebih banyak. Bertempat di Vihara Dhanagun, Jalan Suryaken­cana no 1, Kota Bogor, festival dirayakan dengan membagi-bagikan kue bulan.

Wajah Vihara Dhanagun nampak berbeda malam minggu kemarin. Tak hanya lampion dan terang lampu yang menghiasi vihara, ra­tusan pengunjung pun juga ikut membanjiri vihara.

Acara dimulai dengan penyajian hidangan khas Tionghoa, ada pilihan menu bubur dengan topping khas Chinese Food, ada juga mie dengan bihon. Usai menik­mati hidangan pembukaan dilakukan dengan penyajian musik Gambang Kromong dari sanggar seni Nusan­tara Jakarta Utara, tak luput juga ada penyajian seni khas tradisional khas Sunda.

BACA JUGA :  Ketersediaan Bahan Pangan di Kota Bogor Sudah Lengkap

Tokoh masyarakat ketu­runan Tionghoa, Guntur San­toso menuturkan, jadi untuk festival kue bulan ini disajikan kue berbentuk bulan. Namun apabila orang awam melihat itu adalah bakpia berben­tuk besar. “Memang seperti bakpia akan tetapi asal usul bakpia dari kue bulan ini. Isi kue bulan ini berbeda-beda dari kacang ijo, kacang itam hingga telor asin. Ada pem­bendaan bentuk dari Tiong­kok Utara gepeng-gepeng dan Tiongkok Selatan lebih tebal,” ungkapnya.

Guntur melanjutkan, un­tuk gambang keromong yang di sajikan, tidak terlepas dari tradisi tiong kok yang per­anakan. Ini sudah menyam­pur dengan kebudayaan lokal di Indonesia. “Jadi Tion­ghoa peranakan di Indonesia ini seperti ini, ada percam­puran gambang keromong dan gendang,” tambahnya.

BACA JUGA :  Dijamin Nikmat, Ini 5 Rekomendasi Makanan Buka Puasa di Bogor

Pengamat Kebuday­aan Tiongkok, David Kwa menjelaskan, festival kue bulan ini memperingati satu malam terindah di setiap ta­hun dengan bulan yang ber­bentuk indah. “Tradisinya kumpul-kumpul keluarga dengan memakan kue bulan bersama. Maknanya adalah menjaga keutuhan keluar­ga,” katanya.

David mengatakan, semua anak muda saat ini kurang paham dengan ke­senian dan kebudayaan warisan leluhur, sehingga minatnya untuk menghadiri festival seperti ini atau sep­erti wayang kulit untuk bu­daya jawa kurang diminati. “Jadi kedepan harus ada penarikan minat untuk gen­erasi muda. Jadi kebuday­aan apapun bisa terjaga,” pungkasnya.

(Guntur Eko Wicaksono)

============================================================
============================================================
============================================================