Untitled-9SEJAK satu dasawarsa lalu, pembangunan kita selalu diukur ber­dasarkan angka-angka statistik. Untuk mencapai indeks pemban­gunan manusia (IPM), lalu orang bicara angka-angka laju pertum­buhan ekonomi, laju pertumbuhan penduduk, dan segala ihwal.

Oleh : Bang Sem Haesy

SALAH satu hal menarik dari Prabu Surawisesa ada­lah bagaimana beliau men­gukut tingkat kemakmuran masyarakat, berdasarkan perbandingan ruang alam dan jumlah penduduk yang setara dengan daya dukung alam. Se­lain itu, beliau juga melihat kore­lasi ruang yang tersedia dengan fungsinya sekaligus.

Hal itu, kemudian menjadi pertimbangan untuk menentu­kan kebijakan apa yang akan di­ambil untuk mendorong pertum­buhan. Di wilayah Pajajaran, tak terkecuali di Pakuan, diberlakukan zona-zona berdasarkan fungsi ruang.

Ada zona pertanian, zona pemuki­man, zona perdagangan, dan zona pendidikan dan budaya. Nah, zona pendidikan budaya ini disebut zona perdikan. Wilayah yang dihuni oleh para pemikir dan budayawan untuk memelihara kearifan dan kecerdasan indigenious. Di wilayah ini tidak berlaku pajak, karena merupakan wilayah yang harus disubsidi.

Angka-angka yang mengemuka dalam proses pembangunan, oleh be­liau hanya dijadikan indikator belaka. Dan, ini yang menarik, sekian masa kemudian, di Bogor – Dr. Andi Hakim Nasution mempunyai pandangan yang sama di zaman yang berbeda. Ketika itu, beliau menjadi Rektor In­stitut Pertanian Bogor (IPB).

BACA JUGA :  Resep Membuat Tumis Buncis Ayam Pedas untuk Menu Makan Siang yang Sedap

Beliau mengatakan, data statistik hanyalah indikator untuk merencana­kan akselerasi pembangunan, bukan indikator keberhasilan pembangu­nan. Karena banyak keberhasilan dicapai masyarakat dan pemerintah, jauh melebihi apa yang tertampak pada data statistik.

Cara pandang yang mengacu ke­pada intuitive reason ini menarik. Terutama untuk menguatkan para­digma ‘daerah membangun,’ bukan fenomena ‘membangun daerah,’ yang selama ini terjadi. Prabu Sura­wisesa melakukan hal itu, mem­perkuat kemandirian desa, sehingga desa membangun dirinya sendiri.

Apa yang dilakukan Prabu Sura­wisesa, sekian waktu kemudian ter­cermin dalam lirik degung Sunda Mekar, seperti yang pernah dising­gung di tulisan sebelum ini. Yakni, re­orientasi pembangunan berbasis re­alitas sumberdaya alam. Indikatornya adalah : dayeuh panca tengah, bumi atau kampung halaman yang menjadi focal concern kehidupan manusia. Yaitu, perekonomian yang memung­kinkan rakyat ngejo.

BACA JUGA :  Sarapan dengan Tumis Tahu Goreng Bumbu Cabe, Dijamin Keluarga Suka

Mereka mengelola alam sesuai reliefnya: lemah duhurna, lemah lengkobna, lemah padatarannana, nagara mukti wibawa, perlambangn­ya congkrang kujang papasangan.. (tanahnya gemunung, berlembah curam, tanah datar). Ruang yang ter­sedia itu, dikelola secara benar den­gan pemeliharaan yang konsisten. Termasuk menggunakan fauna yang memang telah diciptakan Tuhan un­tuk mengemban fungsi menyuburkan alam. Seperti cacing untuk menggem­burkan tanah, tanpa harus melaku­kan aksi massal biopori.

Tujuannya adalah membangun kemakmuran karena bekerja keras dan ikhlas mengolah alam pemberian Tuhan. Kemakmuran itu, kemudian menjadi pilar nagara mukti wibawa, negeri yang berwibawa. Ditandai oleh puncak kreativitas dan produktivitas yang berkualitas: congkrang kujang papasangan.

Inilah nilai yang diwariskan­nya, tapi malas kita pelajari. Padahal dalam konteks kekinian dan masa depan, apa yang diwariskan itu ber­nama daya cipta. Modal utama ma­nusia untuk mampu mengelola eco­nomic growths method dan massive capital formation. Sekaligus menegas­kan pembangunan ekonomi sebagai perubahan sosial berdampak budaya. Itulah yang disebut visioneerin.

============================================================
============================================================
============================================================