SEJAK satu dasawarsa lalu, pembangunan kita selalu diukur berÂdasarkan angka-angka statistik. Untuk mencapai indeks pembanÂgunan manusia (IPM), lalu orang bicara angka-angka laju pertumÂbuhan ekonomi, laju pertumbuhan penduduk, dan segala ihwal.
Oleh :Â Bang Sem Haesy
SALAH satu hal menarik dari Prabu Surawisesa adaÂlah bagaimana beliau menÂgukut tingkat kemakmuran masyarakat, berdasarkan perbandingan ruang alam dan jumlah penduduk yang setara dengan daya dukung alam. SeÂlain itu, beliau juga melihat koreÂlasi ruang yang tersedia dengan fungsinya sekaligus.
Hal itu, kemudian menjadi pertimbangan untuk menentuÂkan kebijakan apa yang akan diÂambil untuk mendorong pertumÂbuhan. Di wilayah Pajajaran, tak terkecuali di Pakuan, diberlakukan zona-zona berdasarkan fungsi ruang.
Ada zona pertanian, zona pemukiÂman, zona perdagangan, dan zona pendidikan dan budaya. Nah, zona pendidikan budaya ini disebut zona perdikan. Wilayah yang dihuni oleh para pemikir dan budayawan untuk memelihara kearifan dan kecerdasan indigenious. Di wilayah ini tidak berlaku pajak, karena merupakan wilayah yang harus disubsidi.
Angka-angka yang mengemuka dalam proses pembangunan, oleh beÂliau hanya dijadikan indikator belaka. Dan, ini yang menarik, sekian masa kemudian, di Bogor – Dr. Andi Hakim Nasution mempunyai pandangan yang sama di zaman yang berbeda. Ketika itu, beliau menjadi Rektor InÂstitut Pertanian Bogor (IPB).
Beliau mengatakan, data statistik hanyalah indikator untuk merencanaÂkan akselerasi pembangunan, bukan indikator keberhasilan pembanguÂnan. Karena banyak keberhasilan dicapai masyarakat dan pemerintah, jauh melebihi apa yang tertampak pada data statistik.
Cara pandang yang mengacu keÂpada intuitive reason ini menarik. Terutama untuk menguatkan paraÂdigma ‘daerah membangun,’ bukan fenomena ‘membangun daerah,’ yang selama ini terjadi. Prabu SuraÂwisesa melakukan hal itu, memÂperkuat kemandirian desa, sehingga desa membangun dirinya sendiri.
Apa yang dilakukan Prabu SuraÂwisesa, sekian waktu kemudian terÂcermin dalam lirik degung Sunda Mekar, seperti yang pernah disingÂgung di tulisan sebelum ini. Yakni, reÂorientasi pembangunan berbasis reÂalitas sumberdaya alam. Indikatornya adalah : dayeuh panca tengah, bumi atau kampung halaman yang menjadi focal concern kehidupan manusia. Yaitu, perekonomian yang memungÂkinkan rakyat ngejo.
Mereka mengelola alam sesuai reliefnya: lemah duhurna, lemah lengkobna, lemah padatarannana, nagara mukti wibawa, perlambangnÂya congkrang kujang papasangan.. (tanahnya gemunung, berlembah curam, tanah datar). Ruang yang terÂsedia itu, dikelola secara benar denÂgan pemeliharaan yang konsisten. Termasuk menggunakan fauna yang memang telah diciptakan Tuhan unÂtuk mengemban fungsi menyuburkan alam. Seperti cacing untuk menggemÂburkan tanah, tanpa harus melakuÂkan aksi massal biopori.
Tujuannya adalah membangun kemakmuran karena bekerja keras dan ikhlas mengolah alam pemberian Tuhan. Kemakmuran itu, kemudian menjadi pilar nagara mukti wibawa, negeri yang berwibawa. Ditandai oleh puncak kreativitas dan produktivitas yang berkualitas: congkrang kujang papasangan.
Inilah nilai yang diwariskanÂnya, tapi malas kita pelajari. Padahal dalam konteks kekinian dan masa depan, apa yang diwariskan itu berÂnama daya cipta. Modal utama maÂnusia untuk mampu mengelola ecoÂnomic growths method dan massive capital formation. Sekaligus menegasÂkan pembangunan ekonomi sebagai perubahan sosial berdampak budaya. Itulah yang disebut visioneerin.