LEBARAN telah usai, nanum harga daging justru semakin melambung, dan tidak lama lagi akan datang Iedul Adha / Hari Raya Korban. Diperkirakan harga daging akan menjebol langit atau semakin melambung tinggi.
Oleh: SUPRAPTO
Ketua Yayasan Arbangun
Para pedagang pasar melakukan protes dengan cara berhenti berdagang karena harÂga daging sudah tidak masuk akal lagi, dimana telah meÂnyentuh harga Rp 130.000,-/kg. Tukang bakso, restoran Padang, warung nasi, ibu rumah tangga menjerit karena sudah sangat suÂlit untuk mendapatkan daging. Selain harganya sangat mahal, ternyata banyak yang menghilang dari pasaran.
Konsumsi daging masyarakat Indonesia sebenarnya masih sanÂgat rendah, masih kurang dari 3 kg daging per tahun per jiwa. Masih sangat jauh bila dibanding dengan negara lain. Pemerintah Jokowi-JK dengan gagahnya menÂgatakan bahwa sebelum tahun 2018 Pemerintah Indonesia akan swasembada daging. Sebagai peÂternak yang telah puluhan tahun lamanya beternak sapi dan perÂnah sekolah di IPB, rasanya sulit menerima kenyataan yang sangat memilukan ini.
Statistik daging sapi atau ternak sapi kita adalah sebagai berikut: (1) populasi sapi lokal InÂdonesia tahun 2015 sebesar 17.2 juta ekor; (2) kebutuhan daging sebanyak 653.000 ton atau seÂtara 3.657.000 ekor, (3) keterseÂdiaan daging sapi lokal 406.000 ton atau setara 2.339.000 ekor, (4) kebutuhan sapi impor sebanÂyak 247.000 ton atau setara denÂgan 1.383.000 ekor. Kuota impor setidaknya 250.000 ton per tri wulan, namun pada triwulan Juli, Agustus September hanya 50.000 ekor, padahal pada triwulan seÂbelumnya sebesar 250.000 ton. Inilah data-data yang bisa diperÂtimbangkan mengapa ada gejolak harga daging sapi. Mari kita urai satu persatu masalah pengemÂbangan ternak khususnya sapi dan ternak unggas.
Pertama, kondisi usaha tani ternak masyarakat yang sulit mendapatkan keuntungan yang lebih baik. Berdasarkan data diaÂtas menunjukkan bahwa potensi sapi lokal masih ada peluang untuk, dimana populasi sapi loÂkal masih cukup rasional untuk ditingkatkan lagi dengan cara memberikan kepastian bahwa uaÂsaha tani ternak sapi masih memÂberikan keuntungan yang lebih baik, apabila pemerintah mau memberikan subsidi yang berupa pakan ternak yang memang relaÂtif mahal. Namun pada kenyataÂannya justru hal yang berbeda terjadi pada para peternak kita, dimana usaha tani ternak sapi sangat kurang menguntungkan dibanding usahatani lainnya.
Pengalaman saya menjadi peternak sapi, menunjukkan bahwa ternyata sangat sulit ,menÂcari keuntungan yang lebih baik dalam kegiatan usaha ternak sapi. Sebagai gambaran adalah sebagai berikut: (1) input usaha tani ternak pembelian anakan sapi seharga rata-rata Rp 7.500.000,-perekor, (2) biaya pakan Rp 150.000,-perÂbulan atau sebesar Rp 1.800.000,-selama setahun, (3) kandang Rp 500.000,-, (4) tenaga kerja perÂawatan Rp 250.000.-per bulan atau Rp 3.000.000,-per tahun. Total biaya input usaha tani terÂnak Rp 12.300.000,-per ekor, seÂmentara harga jual maksimal Rp 12.500.000,-. Sehingga keuntunÂgan bersih hanya Rp 200.000,-pertahun perekor, sementara peternak harus mengeluarkan modal senbedar Rp 12.300.00,-. Disinilah letak permalahan poÂkok mengapa peternakan rakyat kurang berkembang, karena secara hitungan bisnis sangat kurang menguntungkan. Petani peternak selama ini masih mau beternak sapi karena usaha terÂnak sapi tersebut diposisikan seÂbagai cara menyimpan uang atau bersifat tabungan, bukan kegiatan bisnis usaha tani.
Hal sangat berbeda dibandÂingkan dengan negara lain seperÂti Australia dimana usaha ternak sapi dengan pola padang pengemÂbalaan yang sangat efisien, seÂhingga usaha ternak sapi sudah dalam posisi sangat menguntungÂkan, karena pakan ternak sangat murah, sehingga petani akan meÂmiliki dan mengusahakan ternak sapi dalam jumlah yang sangat besar, sehingga keuntungan usÂaha tani ternak sapi akan sangat menguntungkan, dan harga dagÂing bisa dijual jauh lebih murah dibanding dengan di Indonesia. Karenanya, sampai kiamat pun tidak mungkin peternak kita bisa bersaing dengan peternak AusÂtralia, selama pola pengembanÂgan peternakan sapi masih seperÂti sekarang ini. Pemerintah tidak memiliki program yang jelas unÂtuk pengembangan peternakan sapi, program swasembada dagÂing yang dicanangkan pemerinÂtah tidak akan pernah menyeleÂsaikan permasalahan penyediaan dan perdagangan daging sapi nasional, program swasembada daging yang dijalankan PemerÂintah adalah mimpi pada siang hari yang sangat sulit dicapai. Telah puluhan tahun program ini dicanangkan, hasilnya adalah monumen kegagalan demi kegaÂgalan yang berulang kali terjadi, dan hal ini akan diulangi lagi oleh Pemerintahan Jokowi-JK. Selain itu banyak peternak yang menÂjual sapi betina produktif yang diÂjadikan sapi potong. Hal ini akan semakin menambah runyam perÂmasalahan pengembangan terÂnak nasional.
Kedua, tata niaga daging nasional yang berantakan dan kelakukan pengusaha besar dagÂing yang serakah. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tata niaga daging nasional terbukti berantakan, dan sangat dikuaÂsai para kartel daging yang serÂakah. Salah satu buktinya adalah ternyata beberapa saat yang lalu, ada seorang pengusaha nasional yang mampu menjual daging sapi seharga Rp 70.000,-per kg dan sudah menguntungkan pengusaÂha bersangkutan, pertanyaanÂnya adalah mengapa telah sangat lama pemerintah membiarkan harga daging sebesar Rp 90.000,-sampai Rp 100.000,-per kg, dan bahkan saat ini sudah mencapai Rp 130.000,-per kg?.
Inilah salah satu bukti bahwa Pemerntah RI sudah tidak berdaya atau mungkin membiarkan hal ini terjadi karena ikut menikmati rente ekonomi daging sapi yang sangat gurih tersebut. Kami sebagai peterÂnak curiga, jangan-jangan pemerÂintah telah secara diam-diam ikut menikmati keuntungan yang maha dahsyat dari kegiatan importasi daging tersebut. Rasanya kita maÂsih belum lupa betapa beberapa saat yang lalu telah terbukti bahwa rente ekonomi yang sangat mengÂgiurkan khususnya dalam importaÂsi daging sapi telah terjadi di negeri ini dan ternyata telah menyebabÂkan petinggi negara ini terpaksa harus menghuni hotel prodeo. Sejujurnya sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa kegiatan imÂportasi daging sapi memang meruÂpakan pohon emas yang sangat menggiurkan, walaupun dampak negatifnya sangat menghancurkan petani peternak kita. Pemerintah tidak pernah mau berubah untuk memperbaiki kondisi kesemrawuÂtan penyediaan daging nasional seÂcara kongkrit dan berpihak kepada rakyat banyak.
Kenaikan harga daging yang tidak masuk akal ini juga diduga merupakan ulah sebagian para importir daging untuk menaikan jumlah kuota impor yang akan mereka inginkan, dan PemerÂintah RI terbukti tidak memiliki kekuatan yang nyata untuk menÂgendalian kenaikan harga daging tersebut. Kegiatan operasi pasar daging yang dikerjakan PemerinÂtah saat ini hanya seperti setetes air yang menetes di padang pasir, yang sangat kurang bermakna. Lain halnya kalau Pemerintah, lewat Bulog memiliki stok dagÂing yang jumlahnya mampu meÂnyaingi stok para pengimpor dagÂing. Inilah dagelan yang tidak lucu dari carut marutnya penyediaan daging nasional. Kita semua tahu dan sering mengalami hal sangat sulit untuk komoditas lain seperti beras, kedelai, gula dll., dimana masyarakat harus mengalami naÂsib tragis terpaksa harus menerÂima kenaikan harga yang tidak masuk akal.
Disinilah salah satu bukti bahÂwa Pemerintah RI sudah terjebak, dan terjerat masuk perangkap pangan (food trap) negara besar produsen pangan. Negara sebesar Indonesia ini kalau sudah terjerat perangkap pangan dunia, maka akan sangat sulit untuk keluar dan terbebas, karena jeratan perÂangkap pangan didesain secara struktural dan kultural. Jeratan/ perangkap pangan yang didesain secara struktural adalah dengan menggunakan Gerakan WTO/ pasar bebas tanpa batas, dan terÂbukti Pemerintah RI sudah merÂatifikasi atau menyetujui ikut terÂlibat dalam sistem perdagangan bebas WTO, dan Pemerintah RI tidak mungkin memiliki kemamÂpuan untuk keluar dari sistem ini. Sedangkan perangkap pangan yang dijalankan secara kultural melalui intervensi gaya hidup dan pola konsumsi, dimana bangsa ini terpasa dan dipaksa harus mengiÂkuti pola makan negara besar, yang menggunakan bahan baku, teknologi mereka, dan waralaba produk pangan telah menguasai pola konsumsi masyarakat kita. Mari kita tengok penjajahan proÂdusen tepung terigu telah masuk dalam struktur dan kultur ekoÂnomi masyarakat seluruh IndoÂnesia mulai dari pinggir pantai sampai puncak bukit. Contohnya industri kue, gorengan, mie inÂstan telah merasuk masuk dalam kultur dan pola makan bangsa ini, sejak tahun 1970 awal, dan sekaÂrang terigu telah menjajah bangsa ini,dan meminggirkan tepung beras, tepung garut dan tepung ganyong warisan nenek moyang bangsa ini. Hal yang berbeda denÂgan negeri Vietnam, dimana teÂpung beras masih dipertahankan oleh negara, melalui pola makan yang berbahan baku tepung beÂras, seperti makanan Vietnam seÂjenis bihun contohnya.
Ketiga, dominansi atau penÂjajahan produsen pakan ternak asing telah menguasai sektor peternakan bangsa Indonesia. Sebagaimana kita ketahui berÂsama salah satu kendala utama mengapa peternakan rakyat tiÂdak berkembang atau kurang menguntungkan, adalah karena harga pakan ternak yang sangat mahal, sehingga akan menggerus keuntungan usaha tani ternak. Usaha ternak unggas seperti ayam petelur, ayam pedaging, beÂbek dan ternak sapi umumnya akan memerlukan biaya pakan ternak yang sangat besar. Untuk ternak ayam potong dan ayam petelur ternyata DOC atau anak ayampun juga sanbat mahal, seÂhingga akan menggerus keuntunÂgan para petenak, peternak kita hanya berperan sebagai maklun, atau buruh saja. Kejadian seperti ini sudah sangat lama terjadi, dan pemerintah tidak berbuat apa-apa kepada para produsen pakan ternak tersebut, celakanya produÂsen pakan ternak terbesar di negÂeri ini telah dikuasai oleh pemodÂal asing. Usaha perikanan seperti lele, ikan emas, tambak udang, tambak bandeng umumnya juga mengalami problem yang sama yaitu mahalnya biaya pakan, dan akhirnya menggerus keuntungan para pelaku usaha bersangkutan. Berkembangnya ternak lele, tamÂbak udang dan tambak bandeng ternyata yang menikmati keunÂtungan yang terbesar adalah para pelaku industri pakan ternak buÂkannya para peternaknya. PertanÂyaannhya adalah, adilkah kondisi ini, dan bijaksanakah Pemerintah RI?. Jawaban itu pastinya adalah inilah kedzaliman yang selama ini terjadi kepada masyarakat kita, khususnya para pelaku peternak, dan Pemerintah RI tidak pernah mau mengatasi dan tidak mamÂpu mengendalikan kondisi yang merugikan masyarakat banyak.
Pertanyaannya mengapa Pemerintah RI tidak memiliki kepedulian dengan membuat inÂdustri pakan ternak yang murah, dan mengapa untuk infrastruktur seolah-olah negara akan berbuat apa saja, dan anggaran akan diÂdorong habis untuk infrastruktur, tetapi mengapa Pemerintah tidak mau menyalurkan anggaran unÂtuk membangun industri pakan ternak yang murah dan memang sangat dibutuhkan masyarakat banyak. Pemerintah terlihat namÂpak jelas lebih memprioritaskan pemabangunan infrastruktur, walaupun sesungguhnya pada saat yang sama sektor ekonomi kerakyatan juga sangat membuÂtuhkan prioritas. Kebijakan pemÂbangunan dan alokasi anggaran yang lebih memprioritaskan inÂfrastruktur tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat namun juga dilakukan oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. SeÂhingga dampaknya ekonomi maÂsyarakat kurang mendapatkan dukungan kebijakan dan angÂgaran pembangunan. Dan iniÂlah merupakan salah satu bukti nyata tersesatnya dan sekaligus kekeliruan Pemerintah Jokowi-JK dalam kontek membangun bangÂsa dan negara Indonesia.
Kesalahan yang sangat faÂtal dan sangat fundamental dari Pemerintah adalah dalam peÂmilihan metoda pembangunan nasional, dimana seolah-olah pemerintah ini cukup hanya fokus pada pembangunan infrastruktur, sehingga elemen lain seperti sekÂtor ekonomi rakyat kecil kurang mendapatkan perhatian dalam pemilihan prioritas pembangunan nasioanal dan daerah. Dengan adÂanya infrsruktur yang bagus dan mulus, dan pada saat yang sama rakyatnya tidak memiliki produksi yang konkrit, maka infrastruktur tersebut merupakan sarana dan prasarana untuk memiskinkan masyarakat dan memberi jalan mulus para pemodal menguasai aset rakyat kecil, celakalah bangsa ini. Dan hasilnya akan terjadi keÂsenjangan dan ketimpangan ekoÂnomi yang semakin nyata, dan hal ini sudah terbukti terjadi di negeri ini, dimana yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin. Ingat bahwa negeri ini didirikan oleh para pendiri bangsa adalah untuk semua lapisan masyarakat mulai dari yang miskin sampai dengan yang kaya, bukan hanya yang kaya saja yang boleh berkemÂbang. Kebijakan yang keliru sepÂerti yang saya sebutkan diatas merupakan bukti bahwa PemerÂintahan Jokowi-JK telah tersesat jauh dalam membangun bangsa Indonesia. Restorasi Indonesia yang dikumandangkan oleh salah satu Partai Pemerintah ternyata belum ada buktinya. Trisakti dan Nawa Cita yang dijanjikan PemerÂintah mana bukti kongkritnyanya? Ketidakmandirian dalam urusan pangan (daging sapi) merupakan bukti bahwa Trisakti masih jauh.
Trisakti yang dijanjikan oleh oleh Pemerintahan Jokowi-JK, meÂliputi berdaulat secara politik, berÂdikari secara ekonomi, dan berkeÂpribadian secara sosial. Dalam hal berdikari secara ekonomi akan sangat sulit dicapai oleh pemerÂintah ini, karena faktanya bangsa ini telah terjerat masuk perangkap ekonomi (economic trap) dunia melalui WTO/pasar bebas, dan terperangkap masuk dalam perÂangkap pangan (food trap) negara maju, dan rasanya akan sangat sulit bagi bangsa ini untuk memÂbebaskan diri dari perangkap-perangkap tersebut. Selain ecoÂnomic trap dan food trap bangsa ini juga telah terperangkap pada HAM (Hak Azazi Manjusia) trap dan military trap bangsa besar lainnya. Dan hal-hal tersebutlah yang akan membelenggu bangsa ini untuk bisa mencapai Trisakti yang dijanjikan oleh PemerintahÂan Jokowi-JK .Tulisan kedua akan mengulas rekomendasi kebijakan yang mesti dibuat oleh PemerinÂtahan Jokowi-JK. (*)