SOLO TODAY – Siang belum lama beranjak, tetapi lapak Mbak Tug di pinggir Jalan Arifin, Kepatihan Kulon, Jebres, Kota Solo sudah terlihat sesak. Pengunjung hilir mudik berdatangan demi mencicipi kuliner khas Solo, sate kere. Uniknya, kendati istilah kere jelas bermakna miskin, pembeli sate di lapak ini sama sekali tak menunjukkan orang tak berpunya.

Tak tampak orang miskin di lapak ini. Para pembeli yang terlihat pada pertengahan Desember 2019 lalu justru banyak mengendarai mobil pribadi. Dilihat dari pelat mobilnya, sebagian juga berasal dari luar Kota Solo. Begitu ramainya, untuk jajan di lapak sederhana Mak Tug terkadang harus rela antre.

“Tiap hari dagangan selalu habis. Ya, kalau dirata-rata omzet Rp2,5 juta per hari,” ujar Marimin, 60, sang penjual. Omzet jutaan rupiah tidak didapatkan Marimin hingga berjam-jam. Dia mulai membuka lapak pukul 13.00 WIB. Tiga jam berikutnya atau sekitar pukul 16.00 WIB, dia biasanya sudah menutup seluruh dagangan lantaran habis terjual.

Sate kere perlahan menjadi ikon kuliner khas Kota Solo. Bagi para pendatang, berkunjung ke kota asal Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini tak lengkap jika belum mencicipi sate ini. Sesuai namanya, sate ini sangatlah sederhana. Tak seperti sate kebanyakan yang berisi daging, sate kere berisi gembus, tempe kedelai, dan jeroan sapi.

BACA JUGA :  Turunkan Berat Badan ala Perempuan Jepang dengan 5 Kebiasaan Ini

Dilihat bahannya, sate ini wajar diidentikkan sebagai milik orang kere. Harganya pun sangat murah. Untuk satu tusuk sate gembus dan lontong harganya hanya Rp3.000. Namun kelezatan sate kere tak lagi milik rakyat jelata. Kini sate ini telah berubah dan naik kelas menjadi makanan kelas atas.

Pamor sate kere kian meroket mulai 2001. Di balik merebaknya warisan kuliner khas Solo ini juga ada cerita menarik di belakangnya. Sate kere lahir memang sebagai konsumsi orang-orang miskin Solo kala masa kolonial. Tak sekadar makanan, sate ini hakikatnya juga bentuk perlawanan rakyat Solo terhadap kuliner kolonial saat itu.

Peneliti sejarah kuliner Solo Heri Priyatmoko mengatakan, dalam atlas kuliner Nusantara, kuliner sate kere memiliki riwayat yang pekat dengan nasib getir dan perjuangan rakyat kelas bawah. Bahan-bahan sate kere seperti gembus, tempe kedelai, dan jeroan sapi di masa kolonial dijauhi pembesar Eropa dan bangsawan. Bahkan gembus dan jeroan merupakan pantangan untuk disajikan di meja makan.

BACA JUGA :  Lokasi SIM Keliling Kabupaten Bogor, Kamis 18 April 2024

Pada 1849 ada kebijakan tentang pemotongan sapi dan kerbau. Jeroan dan gajih yang disingkirkan selanjutnya dimanfaatkan masyarakat bawah yang tak sanggup membeli daging atau membeli sate. Bahan buangan itu kemudian diolah bersama gembus yang selanjutnya dikenal dengan sate kere.

Sate kere Solo kini juga sudah go international. Lapak Mbak Tug misalnya kerap kali menerima pesanan orang-orang Indonesia yang tengah kuliah atau bekerja di luar negeri. Yang dipesan sambalnya untuk oleh-oleh di sana. Ada yang dari Inggris, Hong Kong, dan Australia,” beber Marimin.

Orang tua Marimin dulu mulai berjualan pada 1977. Saat itu dagangan masih disunggi (diletakkan di atas kepala) dan dijual berkeliling. Seiring makin terkenalnya sate kere, Marimin juga mengaku beberapa kali diundang pemerintah kota untuk mengikuti pameran di luar daerah.

Kini lapaknya diberi nama Sate Presiden. Perubahan nama ini dilatarbelakangi lantaran lapaknya jadi langganan Presiden Jokowi, termasuk saat mendapat pesanan untuk sajian tamu Jokowi kala mantu anak perempuannya, Kahiyang Ayu.

============================================================
============================================================
============================================================