Oleh: BAMBANG WIDJOJANTO
Mantan Komisioner KPK
Kita dapat melihat pengalaman dalam sejarah pergerakan Indonesia modern. Pada tahun 1928, ada sekitar 9 orang pemuda menjadi Panitia Kongres, menghadirkan 71 orang pemuda yang mewakili seluruh kepulauan yang merepreÂsentasikan suatu wilayah nusanÂtara. Dalam pertemuan yang juga dihadirii 4 orang golongan Timur Asing sebagai peninjau. Mereka, para pemuda itu, menggadakan Kongres Pemuda serta menguÂcapkan maklumat yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda, dirumah Sie Kong Liong yang terÂletak di Kramat Raya No.106 JaÂkarta Pusat.
Para Pemuda itu menghadirÂkan imaji, kelak ada sebuah naÂtion yang bernama Indonesia dan karenanya mereka bersumpah untuk “bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu†yaitu: tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia. Lebih dari itu, pada tahun yang sama, di suatu persidangan di Den Haag tahun 1928 seorang pemuda Indonesia yang dituduh melakukan pembeÂrontakan membuat pembelaan dengan menyatakan “…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lauÂtan daripada menjadi embel-emÂbel bangsa lain …â€. Kesemuanya itu, para pemuda telah berikrar bahwa kelak akan ada suatu naÂtion yang bernama Indonesia dan bahkan meneguhkan identitas ke Indonesiannya jauh hari sebelum pada akhirnya proklamasi keÂmerdekaan Indonesia dideklarasiÂkan pada tahun 1945.
Imaji anti korupsi juga hadir di pembukaan Festival Anti KoÂrupsi 2014 beberapa hari lalu. Ada sekelompok ibu lugu dari desa Prenggan, Kote Gede, YogyaÂkarta menunjukkan kebolehannya dalam berkesenian. Mereka mengÂgunakan lesung sebagai ekspresi berkeseniannya. Tak sekedar buÂnyi pukulan dari lesung padi yang terdengar tapi ada irama berupa rangkaian nada yang mengiringi nyanyian para ibu yang memuat pesan anti korupsi.
Ketegasan pesan yang dituturÂkan dengan bahasa yang lembut dan sederhana, diucapkan para Ibu desa dengan “lugu dan riang†itu, justru, menjadi kekuatan akan kesungguhan untuk membebasÂkan diri dari sikap dan perilaku korupsi. Lesung ditangan para Ibu lugu yang mengabarkan pesan meÂlalui nyanyian menjadi tak sekeÂdar “noise†tapi sudah berubah menjadi “voice†yang memuat pesan untuk “jujur barengan†seÂbagai bagian dari pesan moral anti korupsi.
Dalam bentuk yang lebih ekspresif, di acara yang sama di mulai pada sore hari dan di malam harinya, lebih dari 15.000 pemuda Yogyakarta di stadion Kridosono “menggetarkan dan menggelorÂakan†Yogyakarta dengan menÂgusung tema kampanye “GropyoÂkan Korupsiâ€. Gropyokan adalah istilah dalam Bahasa Jawa yang biasanya digunakan untuk memÂburu tikus di persawahan secara bersama-sama. Para pemuda itu “membacakan†Proklamasi RakyÂat Indonesia Anti Korupsi bersama para musisi yang tergabung dalam Shaggy Dog, Superman is Dead, Gigi dan Yogya Hip Hop FoundaÂtion. Naskah Proklamasi itu meÂnyatakan “Sesungguhnya tanpa kita sadari korupsi adalah bagian dari budaya Indonesia; karena itu, kita berjanji untuk memerangi korupsi mulai dari diri sendiri dan keluarga; dan menuntut, meÂmaksa dan akan terus menekan negara, parlemen, pemuka agama dan elemen masyarakat lain unÂtuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersamaâ€. Dari Yogya unÂtuk Indonesia, itulah pesan para pemuda Yogyakarta paska memÂbacakan Proklamasi Anti Korupsi.
Performance para Ibu di atas serta proklamasi yang dibacakan para pemuda Yogyakarta itu menÂjadi menarik dan kian bermakna bila dikaitkan dengan hasil dari proses serius pertemuan Mufakat Budaya Indonesia awal Desember 2014. Pada pertemuan yang diÂhadiri sekitar 150 an budayawan dan berbagai latar belakang proÂfesi lainnya itu mengemukakan Deklarasi Teluk Jakarta yang memÂbuat suatu imaji Indonesia dalam perspektif kebudayaan.
Indonesia seyogianya menjadi pusat peradaban bahari dunia seÂhingga perlu dilakukan revitalisasi peradaban kepulauan sebagai dasar budaya bangsa. Salah satu pesan kuat yang dikemukakan dalam Deklarasi serta mempunyai relevansi dengan isu demokrasi dan korupsi, adanya sinyalemen “…produk elit politik hanya mengÂhasilkan penumpulan hukum … dan kompetisi kekuasaan yang menghamba pada kepentingan komparador. Itu sebabnya, rekoÂmendasi yang diajukan menegasÂkan “perlunya menumbuhkan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik, serta perlunya dilakukanÂnya restorasi kebudayaan, selain memperjuangkan budaya integraÂtif â€.
Ditengah berbagai imaji dan sikap ekspresif yang dilakukan beÂgitu banyak elemen masyarakat, gagasan yang diajukan ICW, yaitu “Demokrasi tanpa Korupsi†menÂjadi material dan sangat relevan dalam kondisi saat ini. Kendati ada cukup banyak studi dan tulisan yang mengkaji isu demokrasi dan juga perihal korupsi tapi sedikit sekali studi yang memberikan fokus pada korupsi di dalam prosÂes demokrasi itu sendiri. Definisi minimalis mengenai demokrasi adalah suatu sistem yang dilemÂbagakan dimana rakyat mengekÂspresikan prefersensinya melalui pemililihan umum (Shumpeter, 1950 dalam Working Paper, Does Democracy Reduce Corruption?, Ivar Kolstad & Arne Wiig, 2011, CHR Institute).
Bilamana korupsi difahami sebagaimana arti sejatinya sesuai asal kata corruptio yang secara umum dimaknai sebagai suatu tindakan yang bersifat buruk, curang, busuk, dan memutarbalik fakta maka ada cukup banyak ahli, pengamat dan sebagian masyaraÂkat menyimpulkan, demokrasi di Indonesia berkelindan dengan korupsi.
Dalam proses demokrasi, kita memang memerlukan partai, parlemen, anggota parlemen dan proses pemilihan legislatif, selain masyarakat dan pemerintah. Yang menjadi pertanyaan, sejauhmana masing-masing elemen tersebut memberikan kontribusi yang seÂcara kualitatif dalam meningkatÂkan proses demokrartisasi. Untuk itu perlu diajukan pertanyaan refplektif, yaitu: kesatu, apakah semua partai yang terlibat dalam proses demokatisasi di Indonesia telah berkhidmat secara amanah pada maksud kehadirannya?. Kedua, seberapa banyak angÂgota parlemen yang memahami makna parle secara utuh, tidak hanya sekedar “representasi atau hak untuk bicara†tetapi sungguh-sungguh memperjuangkan keÂpentingan fundamental dari rakyÂat yang menjadi konstituennya;
Ketiga, adakah proses timbal balik yang diakomodasi oleh sistem pemilihan yang akunÂtabel dimana pemilih punya penÂgetahuan dan kesadaran atas siapa yang layak dipilihnya; serta keemÂpat, adakah rakyat sebagai bagian penting dari proses demokrasi, memantaskan keterlibatannya sehingga akan senantiasa meninÂgkatkan kompetensi, memahami tantangan yang dihadapinya serta “taklik†pada alasan dan tujuan untuk apa dia terlibat dan memilÂih; kelima, sejauhmana otoritas pemerintahan menggunakan keÂwenangan publiknya untuk sebeÂsar-besarnya kepentingan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan social; keenam, apakah organisasi kemasyarakaÂtan dan LSM selalu melakukan reÂfleksi atas peran strategisnya dan juga melakukan upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas keterlibatannya.
Tentu saja, ada hal penting lain yang diperlukan dalam proses berdemokrasi, apakah kita memÂpunyai kejujuran dan keberanian untuk menentukan sejauhmana level proses demokratisasi yang kini tengah ditempuh. Hal ini penting dilakukan agar kita dapat menentukan langkah dan strategi untuk berupaya terus menerus memperbaiki dan bahkan meningÂkatkan kualitas proses demokratiÂsasi di Indonesia.
Korupsi demokrasi acapkali terjadi pada fase awal pelemÂbagaan dan konsolidasi demokraÂsi. Salah satu ciri dari korupsi demokrasi adalah tindakan excluÂsion dari “penguasa†atas keterÂlibatan publik, kepentingan dan norma yang ada dalam masyaraÂkat dalam membuat kebijakan dan mengambil keputusan.
Setidaknya, ada 3 (tiga) jenis korupsi yang terjadi dalam proses demokrasi di Indonesia bila mengÂgunakan makna korupsi tersebut di atas, yaitu antara lain: kesatu, korupsi di dalam partai. Partai sebagai suatu instrumen penting dalam proses demokrasi mempuÂnyai kedudukan yang sangat stratÂegis untuk menentukan kualitas demokratisasi. (*)