Opini-2-Lola-Amaria

Oleh: LOLA AMARIA
Sutradara dan Produsen Film

Ruiz menggambarkan eksilitas itu kematian politik dan kematian kemanusiaan sekal­igus. Ribuan eksil Cile itu hidup secara komunal dalam kelompok kecil (6-10 orang) den­gan berbagi tempat tinggal yang sangat sempit, makanan, dan bah­kan pakaian tebal menahan din­gin. Sementara untuk hidup, mer­eka harus berjuang sangat keras bahkan terkadang harus mogok makan bersama-sama demi mem­peroleh pekerjaan. Di tengah-ten­gah kesulitan hidup itu, mereka masih menyempatkan waktu un­tuk membantu kawan-kawan mer­eka yang berjuang di negerinya. Nasib seperti sudah menggariskan bahwa mereka berjuang hidup di negara yang bukan negerinya un­tuk negara yang tidak mengakuin­ya.

Film ini adalah satu di antara sekian film referensi yang mem­bantu saya dalam melakukan riset tentang eksil Indonesia di Eropa, setahun terakhir ini. Narasi eksili­tas film ini mengajak membayang­kan nasib ribuan orang Indonesia yang tugas belajar di luar negeri dicabut kewarganegaraannya se­jak tahun 1965. Persis 50 tahun lalu hingga hari ini, sejauh yang saya tahu, Pemerintah Indonesia belum pernah tercatat memuli­hkan kembali kewarganegaraan seorang pun di antara mereka.

Bertahan Hidup

Kuslan Budiman (lahir 1935), salah seorang narasumber pada ri­set ini, menuturkan bahwa dirinya yang berangkat ke Tiongkok pada awal 1965 tidak pernah mengira bahwa hidupnya akan berubah. Sebagai seniman dengan tugas be­lajar, ia tidak bisa melanjutkan lagi studinya mengenai pentas pertun­jukan. Paspornya dicabut, dipaksa menghuni kamp penampungan, dilarang bekerja, dilarang bergaul dengan penduduk setempat, di­jaga militer, dan hidup dari rasa kasihan Pemerintah Tiongkok se­lama bertahun-tahun.

Hidup hanya dengan makan dan minum, tanpa aktivitas lain cukup menjadikan mereka stres. Akibatnya, banyak di antara mer­eka yang bertengkar satu sama lain karena hal sepele. Bahkan menurutnya, ”Tahun-tahun itu sangat cukup buat kami menjadi gila.” Dan, agar tidak mengalami nasib buruk itu, ia dan beberapa kawan lainnya memilih pergi ke Rusia dan Eropa, mencari kehidu­pan yang lebih baik.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Di Rusia, ia belajar lagi di Uni­versitas Stroganov sampai lulus dan bekerja sebagai desainer. Ke­hidupannya lebih meningkat lagi ketika ditawari menjadi dosen di Institut Asia Afrika. Namun, itu tak lama. Setelah kebencian ter­hadap warga asing bermunculan seiring dengan masa Glasnost dan Perestroika (1991), ia memutuskan pindah ke Belanda dan memulai semuanya kembali dari nol.

Sarmadji (lahir 1931), eksil yang juga pernah ”terdampar” di Tiongkok selama beberapa ta­hun, akhirnya juga memilih pergi ke Belanda. Ia yang mula-mula kerja serabutan selama bertahun-tahun, akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan besar. Ia bercerita dengan bangga, ”Saya mendapat penghargaan perusa­haan karena selama saya bekerja sampai pensiun tidak pernah sakit dan bolos sehari pun.”

Setelah pensiun, Sarmadji tidak berhenti bekerja. Saat ini ia ban­yak mengumpulkan kepustakaan tentang Indonesia. Rumah tem­pat tinggalnya lebih mirip ruang perpustakaan yang dikelolanya sendiri. Lain halnya dengan Chalid Hamid (lahir 1938) dan Djumaeni. Mereka harus meninggalkan keahl­iannya demi memenuhi kebutuhan hidup. Chalid bekerja sebagai pra­musaji di sebuah restoran china, sementara Djumaeni yang doktor forensik menyerah menjadi petu­gas perpustakaan dengan gaji yang tak seberapa.

Eksil Indonesia lain mengala­mi nasib serupa, bertebaran dari Tiongkok hingga Eropa, dari Kuba hingga Rusia. Dulu, ribuan jum­lahnya dan sekarang, seperti yang dicatat oleh Sarmadji, yang rajin mencatat informasi para eksil, su­dah kurang dari 200 orang yang masih hidup. Mereka berjuang hid­up dan berpindah-pindah negeri bertahun-tahun tanpa identitas.

Hidup Kuslan dan kawan-kawan persis seperti tuturan Ber­tolt Brecht dalam Refugee Con­versations bahwa sekolah terbaik untuk dialektika hidup adalah imigrasi dan dialektika hidup yang paling berat adalah kaum terbuang (eksil). Ada perubahan yang memaksa mereka menjadi eksil dan mereka hanya bisa hidup dalam perubahan.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Eksil Luar dan Dalam

Eksil lainnya, Mintardjo, yang sekolah di Romania dan kemudian pindah ke Belanda, bercerita bah­wa persoalan kewarganegaraan merupakan persoalan yang sangat menghantui setiap eksil. Mereka tidak pernah rela menjadi warga negara selain Indonesia. Namun, kebutuhan hidup mereka meng­haruskan untuk memiliki status kewarganegaraan, misalnya untuk bekerja dan bepergian.

Selain Pak Min, sapaan akrab Mintardjo, Sarmadji juga men­gatakan bahwa sejatinya ia meno­lak untuk tunduk di bawah hukum Belanda. Mengikuti proses men­jadi warga negara Belanda seperti tinggal di kamp penampungan, lapor ke marsose, bolak-balik kon­sultasi dengan pengacara, wawan­cara, dan lainnya sangat menyiksa batinnya.

Tahun 2000-an, Presiden Ab­durrahman Wahid pernah meng­utus Yusril Ihza Mahendra untuk menyiapkan proses pengembalian kewarganegaraan para eksil dan meminta mereka kembali ke Tanah Air. Setelah melakukan beberapa kali pertemuan di beberapa negara dengan para eksil, rencana itu surut seiring dengan jatuhnya Presiden Gus Dur. Sementara Kuslan bercer­ita, saat ia punya kesempatan kem­bali ke Indonesia, ia harus punya kewarganegaraan yang jelas. ”Ter­paksa saya punya paspor Belanda. Tapi hati saya tetap Indonesia, pa­spor itu, kan, hanya dokumen iden­titas,” katanya menjelaskan.

Saat ini, hampir semua eksil sudah pernah kembali ke Indone­sia dengan menggunakan paspor negara lain. Sekalipun secara resmi sudah menyandang sebuah ke­warganegaraan, mereka tetap seb­agai eksil. Kalau dulu mereka adalah eksil luar-dalam, sekarang pun mer­eka masih eksil, eksil dalam.

Rekonsiliasi dan Koeksistensi

Usaha Presiden Abdurrahman Wahid sempat menumbuhkan ha­rapan akan pulihnya kewarganeg­araan para eksil, tetapi kemudian menghilang sampai muncul isu akan dibentuknya Komisi Kebena­ran dan Rekonsiliasi (KKR) pada zaman Presiden Megawati. (*)

============================================================
============================================================
============================================================