DEWASA INI, kriminalisasi atas profesi guru yang melakukan kekerasan fisik pada peserta didik tengah marak terjadi. Ada guru karena mencubit peserta didik karena dinilai “nakalâ€, diadukan orang tua ke polisi dan diproses hukum. Di sisi lain, arus globalisasi dan modernisasi tanpa ampun menerpa.
Oleh: R. MUHAMMAD MIHRADI, S.H.,M.H
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor
Timbul perilaku indiÂvidualisme dan egoÂisme di mana-mana. Orang tua “seakan†melepaskan tangÂgung jawab membentuk karaÂkter anaknya pada sekolah. Sekolah seringkali menerima limpahan masalah dari situasi rumah peserta didik. Dalam suasana kemeÂlut demikian, maka upaya yang berbasis kekerasan untuk tujuan mendidik menjadi piliÂhan.
Tidak dapat dinafiÂkan, kita tengah dalam kondisi anomie—bila melihat perspektif sosiÂolog Emilie Durkheim. Nilai baru belum meÂlembaga dan mendapatÂkan bentuk yang utuh sementara di sisi lain, nilai lama dihujat dan tidak lagi digunakan. Kekosongan norma terÂjadi. Inilah yang dihadapi dunia pendidikan. Di masa lalu, siswa dicubit dan dijewer oleh guru karena dinilai “nakal†dianggap biasa. Sekarang hal seperti itu dianggap melanggar HAM. Lalu bagaimana kita harus menyikaÂpi secara arif hal itu?
Aspek Hukum
Apabila kita menelaah dari sisi hukum, beberapa ketentuan yang dapat diacu. Pertama, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada Pasal 1 angka 1 menegaskan secara intinya bahÂwa pendidikan dimaksudkan sebagai upaya sadar dan terenÂcana agar peserta didik dapat mengembangkan potensinya, memiliki kekuatan spiritual, berkepribadian dan terampil. Di sisi lain pada Pasal 40 memÂberikan kewajiban guru menÂciptakan suasana pendidikan bermakna, menyenangkan, kreÂatif dinamis dan dialogis serta memberikan teladan.
Kedua, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen di Pasal 20 huruf d ditegaskan bahwa guru wajib menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika. Sedangkan, ketiga, berdasarkan Kode Etika Guru yang disusun PGRI (No.VI/KonÂgres/XXI/PGRI/2013—hasil revisi Kode Etik Guru Tahun 2008) pada Pasal 2 ayat (4) terdapat kewajiban guru terhadap peserÂta didik salah satunya menghorÂmati martabat dan hak-hak serta memperlakuan peserta didik seÂcara adil dan objektif.
Maka, menarik dikaji lebih lanjut, apakah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan di atas, guru diberikan kewenanÂgan melakukan kekerasan fisik secara proporsional untuk tuÂjuan mendidik.
Secara hukum terdapat beÂberapa hal yang perlu diperhatiÂkan yaitu: Pertama, pada Pasal 9 ayat (1a) UU Perlindungan Anak (UU Nomor 35 Tahun 2014 tenÂtang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindÂungan Anak) menyatakan bahwa “setiap anak berhak mendapat perlindungan di satuan pendidiÂkan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik….â€. Dengan demikian kekerasan fisik dalam mendidik bila mengacu hanya pada UU Perlindungan Anak tersebut tiÂdak dimungkinkan. Demikian pula Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 TaÂhun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak KeÂkerasan di Satuan Pendidikan. Di dalam ketentuan tersebut, seÂmangat mencegah dan menangÂgulangi kekerasan wajib meliÂbatkan semua pihak termasuk sekolah dan dibentuk gugus tugas mencegah kekerasan di sekolah yang melibatkan pula psikolog. Dengan demikian, bila ketentuan ini diacu maka menunjukkan kekerasan tidak dapat diberlakuÂkan di sekolah, sekalipun dalam kerangka mendidik.