1460509895kesalahan-mendidik-anakDEWASA INI, kriminalisasi atas profesi guru yang melakukan kekerasan fisik pada peserta didik tengah marak terjadi. Ada guru karena mencubit peserta didik karena dinilai “nakal”, diadukan orang tua ke polisi dan diproses hukum. Di sisi lain, arus globalisasi dan modernisasi tanpa ampun menerpa.

Oleh: R. MUHAMMAD MIHRADI, S.H.,M.H
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor

Timbul perilaku indi­vidualisme dan ego­isme di mana-mana. Orang tua “seakan” melepaskan tang­gung jawab membentuk kara­kter anaknya pada sekolah. Sekolah seringkali menerima limpahan masalah dari situasi rumah peserta didik. Dalam suasana keme­lut demikian, maka upaya yang berbasis kekerasan untuk tujuan mendidik menjadi pili­han.

Tidak dapat dinafi­kan, kita tengah dalam kondisi anomie—bila melihat perspektif sosi­olog Emilie Durkheim. Nilai baru belum me­lembaga dan mendapat­kan bentuk yang utuh sementara di sisi lain, nilai lama dihujat dan tidak lagi digunakan. Kekosongan norma ter­jadi. Inilah yang dihadapi dunia pendidikan. Di masa lalu, siswa dicubit dan dijewer oleh guru karena dinilai “nakal” dianggap biasa. Sekarang hal seperti itu dianggap melanggar HAM. Lalu bagaimana kita harus menyika­pi secara arif hal itu?

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Aspek Hukum

Apabila kita menelaah dari sisi hukum, beberapa ketentuan yang dapat diacu. Pertama, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada Pasal 1 angka 1 menegaskan secara intinya bah­wa pendidikan dimaksudkan sebagai upaya sadar dan teren­cana agar peserta didik dapat mengembangkan potensinya, memiliki kekuatan spiritual, berkepribadian dan terampil. Di sisi lain pada Pasal 40 mem­berikan kewajiban guru men­ciptakan suasana pendidikan bermakna, menyenangkan, kre­atif dinamis dan dialogis serta memberikan teladan.

Kedua, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen di Pasal 20 huruf d ditegaskan bahwa guru wajib menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika. Sedangkan, ketiga, berdasarkan Kode Etika Guru yang disusun PGRI (No.VI/Kon­gres/XXI/PGRI/2013—hasil revisi Kode Etik Guru Tahun 2008) pada Pasal 2 ayat (4) terdapat kewajiban guru terhadap peser­ta didik salah satunya menghor­mati martabat dan hak-hak serta memperlakuan peserta didik se­cara adil dan objektif.

Maka, menarik dikaji lebih lanjut, apakah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan di atas, guru diberikan kewenan­gan melakukan kekerasan fisik secara proporsional untuk tu­juan mendidik.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Secara hukum terdapat be­berapa hal yang perlu diperhati­kan yaitu: Pertama, pada Pasal 9 ayat (1a) UU Perlindungan Anak (UU Nomor 35 Tahun 2014 ten­tang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlind­ungan Anak) menyatakan bahwa “setiap anak berhak mendapat perlindungan di satuan pendidi­kan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik….”. Dengan demikian kekerasan fisik dalam mendidik bila mengacu hanya pada UU Perlindungan Anak tersebut ti­dak dimungkinkan. Demikian pula Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Ta­hun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Ke­kerasan di Satuan Pendidikan. Di dalam ketentuan tersebut, se­mangat mencegah dan menang­gulangi kekerasan wajib meli­batkan semua pihak termasuk sekolah dan dibentuk gugus tugas mencegah kekerasan di sekolah yang melibatkan pula psikolog. Dengan demikian, bila ketentuan ini diacu maka menunjukkan kekerasan tidak dapat diberlaku­kan di sekolah, sekalipun dalam kerangka mendidik.

============================================================
============================================================
============================================================