Untitled-5DALAM konteks mewujudkan triangle of life sebagai manifestasi relasi ma­nusia dengan Tuhan, Alam, dan sesamanya : hablum minallah (termasuk hubungan dengan alam) wa hablum minan naas, titik beratnya adalah akhlak manusia (civilization). Termasuk, berakhlak memperlakukan alam.

Oleh : Bang Sem Haesy

Rasulullah Muhammad sebagai sayyidul mursalin, menyempurnakan tiga misi kerasulan sebelumnya: pen­egakan hukum (Musa AS) men­jadi keadilan, estetika (Daud AS) menjadi peradaban, dan cinta (Isa AS) menjadi kemanusiaan. Dengan ketiga misi itu, terem­ban misi sangat besar: menjadi rahmat atas alam semesta (rah­matan lil alamiin).

Setiap puak dan bangsa, mempunyai filosofi tersendiri dalam memanifestasikan nilai ‘rahmat atas alam semesta’ sesuai dengan socio habitus yang berkembang di lingkun­gan budaya masyarakatnya. Dalam konteks Pakuan (dan Sunda umumnya), kita menge­nal Pikukuh Tilu atau hukum tilu, yang lebih populer den­gan Tri Tangtu.

Tri Tangtu sebagai gagasan berfikir filosofis berbasis intui­tive reason untuk menciptakan harmoni berkehidupan, bersi­fat intro dimensional dan ek­stro dimensional, bertikal dan horisontal.

Dalam konteks budaya dan peradaban, Tri Tangtu melipu­ti : tritangtu dina raga (salira) – rujukan perilaku personal – in­dividual dalam berkehidupan; tritangtu di buana – rujukan perilaku di dalam kehidupan sosial dan ekonomi; dan, tri­tangtu di nagara – rujukan ber­perilaku di dalam kehidupan bernegara (politik atau berpe­mintahan).

BACA JUGA :  Kakek Penjual Soto Mie Tewas di Dalam Toilet Umum Terminal Laladon

Tritangtu yang merujuk pada nilai keteladanan yang diwariskan oleh Prabu Wastu­kancana, Prabu Siliwangi, dan Prabu Surawisesa, merupakan integralitas tiga nilai ke dalam satu nilai peradaban. Mulai membangun kualitas personal manusia sebagai modal insan, sampai pembangunan kualitas kesejahteraan rakyat, seba­gai tujuan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

Pada masanya, Pakuan (Bogor) adalah pengembangan nilai, role model tata kelola pemerintahan yang berdimen­si kesejahteraan rakyat secara konkret. Tome Pirés, seja­rawan Portugis menyebut Pra­bu Siliwangi (Sri Baduga Ma­haraja), dengan kalimat: “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true man.” Kerajaan Sunda dikelola secara adil, beliau adalah manusia se­jati. Pirés mencatatnya dalam The Suma Oriental (yang diter­jemahkan Armando Cortesao).

Tentang Pakuan (Bogor) sendiri, Scipio (1703) – me­nyebutnya sebagai ibukota kerajaan yang diselimuti hu­tan purba. Dalam dokumen Belanda, ucapan Scipio diter­jemahkan sebagai “Geheel met oud bosch begroeid zijnde.” Ia sampai kepada kesimpulan itu usai menemukan kembali Pakuan (Bogor) oleh ekspedisi yang dipimpinnya. Pakuan, menurut Scipio, merupakan pusat pemerintahan mencer­minkan kekayaan alam dan kesejahteraan rakyat.

BACA JUGA :  Wajib Cobain Ini! Resep Nasi Goreng Cumi ala Thai yang Gurih dan Sedap Bikin Nagih

Tritangtu sebagai gagasan, memberi referensi nilai dalam pelaksanaan trilogi pembangu­nan, pemerintahan, dan pem­berdayaan rakyat. Tritangtu setara dengan konsep dasar trias politika (Montesque), dan konsep dasar good govern­ance yang kita kenal kini. Tak terkecuali konsep pembangu­nan berbasis sumberdaya alam yang efektif dan efisien.

Hal itu tercermin dari pen­capaian Prabu Surawisesa, yang berhasil menjadikan Pa­jajaran sebagai kerajaan yang mampu mengelola sumber­daya alam untuk kemakmu­ran rakyatnya. Pakuan sendiri merupakan pusat kendali per­dagangan internasional ber­basis tamarin (asam), rempah dan kuda.

Melalui pelabuhan Sunda Kelapa dan Melaka ekspor Pa­jajaran merambah Eropa dan Afrika. Hal itu dicapai melalui di­plomasi bisnis Prabu Surawisesa dengan Alfonso d’Albuquerque – Penguasa Portugis di Melaka. Perjanjian Prabu Surawisesa ini, kelak, menjadi pertimbangan dalam pertukaran Melaka den­gan Jayakarta antara Belanda dan Inggris.

============================================================
============================================================
============================================================