DALAM konteks mewujudkan triangle of life sebagai manifestasi relasi maÂnusia dengan Tuhan, Alam, dan sesamanya : hablum minallah (termasuk hubungan dengan alam) wa hablum minan naas, titik beratnya adalah akhlak manusia (civilization). Termasuk, berakhlak memperlakukan alam.
Oleh : Bang Sem Haesy
Rasulullah Muhammad sebagai sayyidul mursalin, menyempurnakan tiga misi kerasulan sebelumnya: penÂegakan hukum (Musa AS) menÂjadi keadilan, estetika (Daud AS) menjadi peradaban, dan cinta (Isa AS) menjadi kemanusiaan. Dengan ketiga misi itu, teremÂban misi sangat besar: menjadi rahmat atas alam semesta (rahÂmatan lil alamiin).
Setiap puak dan bangsa, mempunyai filosofi tersendiri dalam memanifestasikan nilai ‘rahmat atas alam semesta’ sesuai dengan socio habitus yang berkembang di lingkunÂgan budaya masyarakatnya. Dalam konteks Pakuan (dan Sunda umumnya), kita mengeÂnal Pikukuh Tilu atau hukum tilu, yang lebih populer denÂgan Tri Tangtu.
Tri Tangtu sebagai gagasan berfikir filosofis berbasis intuiÂtive reason untuk menciptakan harmoni berkehidupan, bersiÂfat intro dimensional dan ekÂstro dimensional, bertikal dan horisontal.
Dalam konteks budaya dan peradaban, Tri Tangtu melipuÂti : tritangtu dina raga (salira) – rujukan perilaku personal – inÂdividual dalam berkehidupan; tritangtu di buana – rujukan perilaku di dalam kehidupan sosial dan ekonomi; dan, triÂtangtu di nagara – rujukan berÂperilaku di dalam kehidupan bernegara (politik atau berpeÂmintahan).
Tritangtu yang merujuk pada nilai keteladanan yang diwariskan oleh Prabu WastuÂkancana, Prabu Siliwangi, dan Prabu Surawisesa, merupakan integralitas tiga nilai ke dalam satu nilai peradaban. Mulai membangun kualitas personal manusia sebagai modal insan, sampai pembangunan kualitas kesejahteraan rakyat, sebaÂgai tujuan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Pada masanya, Pakuan (Bogor) adalah pengembangan nilai, role model tata kelola pemerintahan yang berdimenÂsi kesejahteraan rakyat secara konkret. Tome Pirés, sejaÂrawan Portugis menyebut PraÂbu Siliwangi (Sri Baduga MaÂharaja), dengan kalimat: “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true man.†Kerajaan Sunda dikelola secara adil, beliau adalah manusia seÂjati. Pirés mencatatnya dalam The Suma Oriental (yang diterÂjemahkan Armando Cortesao).
Tentang Pakuan (Bogor) sendiri, Scipio (1703) – meÂnyebutnya sebagai ibukota kerajaan yang diselimuti huÂtan purba. Dalam dokumen Belanda, ucapan Scipio diterÂjemahkan sebagai “Geheel met oud bosch begroeid zijnde.†Ia sampai kepada kesimpulan itu usai menemukan kembali Pakuan (Bogor) oleh ekspedisi yang dipimpinnya. Pakuan, menurut Scipio, merupakan pusat pemerintahan mencerÂminkan kekayaan alam dan kesejahteraan rakyat.
Tritangtu sebagai gagasan, memberi referensi nilai dalam pelaksanaan trilogi pembanguÂnan, pemerintahan, dan pemÂberdayaan rakyat. Tritangtu setara dengan konsep dasar trias politika (Montesque), dan konsep dasar good governÂance yang kita kenal kini. Tak terkecuali konsep pembanguÂnan berbasis sumberdaya alam yang efektif dan efisien.
Hal itu tercermin dari penÂcapaian Prabu Surawisesa, yang berhasil menjadikan PaÂjajaran sebagai kerajaan yang mampu mengelola sumberÂdaya alam untuk kemakmuÂran rakyatnya. Pakuan sendiri merupakan pusat kendali perÂdagangan internasional berÂbasis tamarin (asam), rempah dan kuda.
Melalui pelabuhan Sunda Kelapa dan Melaka ekspor PaÂjajaran merambah Eropa dan Afrika. Hal itu dicapai melalui diÂplomasi bisnis Prabu Surawisesa dengan Alfonso d’Albuquerque – Penguasa Portugis di Melaka. Perjanjian Prabu Surawisesa ini, kelak, menjadi pertimbangan dalam pertukaran Melaka denÂgan Jayakarta antara Belanda dan Inggris.