Foto-layar-091814-114224-AMSelasa (16/2/16) kemarin, saya memenuhi undangan seorang teman, menghadiri peluncuran buku seorang pengusaha Jepang, Yasuo Furukawa, pemilik Furukawa Shell.Co., Ltd. Buku itu ditulis oleh Lisman Suryanegara dan Zeni Zaelani, serta penulis pendamping sekaligus penyunting Bambang Trim.

Bang Sem Haesy

PAKUAN nu hejo jeung rakyat nu ngejo, tak ber­henti hanya sebatas pro­gram penghutanan. Apa yang dilakukan dalam lingkar wilayah pusat peradaban antara Batu Tulis – Ran­camaya dalam konteks triangle of life, secara spiritual mem­punyai dimen­si yang sangat khas.

Suryakancana menggali kem­bali pemahaman itu di era Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa, dan sampai pada pemahaman tentang dasaprebakti, yang me­nyebutkan: ratu bakti di dewata, dewata bakti di hiyang (Raja tun­duk pada dewata, dewata tundung kepada hyang).

Saya meyakini, konsep logika hirarkial spiritual inilah yang men­dasari pemahaman tentang Para­hiyangan antara Galuh – Pakuan. Dalam konteks itulah berkembang pemahaman spiritual tentang Seda Niskala sebagai Hyang, sum­ber mahadaya yang berada di luar empirisma manusia. Hyang itulah yang Si tuhu lawan pretyaksa, yang hak dan yang wujud. Pemahaman tentang hal ini, hanya berkembang di kalangan pendeta dan intelektu­al masa itu yang berada di wilayah kawikuan. Sebagian mereka tak mengikuti jejak Suryakencana dan memilih jalan menghidupkan ka­buyutan parahyangan atau kabuy­utan Jati Sunda, sasaka domas di Mandala Kanekes – Baduy. Mereka dijuluki sebagai kalangan nu nga­wakan Jati Sunda.

BACA JUGA :  7 Manfaat Buncis untuk Kesehatan, Nomor Terakhir Harus Diketahui Semua Orang

Mereka terdriri dari Urang Tangtu di Baduy Dalam sebagai keturunan para wiku dan Urang Panamping di Baduy Luar yang merupakan keturunan kaum sang­ga. Mulanya mereka melakukan tapa di mandala dan tak ikut-iku­tan lagi mengurusi urusan bhumi. Sikap itu memperlemah gerakan kebangkitan Suryakencana.

Dengan memegang teguh aturan Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa mereka terus menjaga dan memelihara alam, memper­tahankan hutan dan peladangan yang memberi berkah bagi khalay­ak. Mereka, diamsalkan para juru pantun, laksana orang-orang yang memandang masa lalu dengan suasana hati sangat miris.

Mereka melihat apa yang pernah terjadi di masa lalu, dan membuat Pajajaran terpuruk dalam bahasa pantun yang liris: Dirarampa dilelebah, Nyoreang alam ka tukang, Paingan ceuk juru pantun, Jaman Padjadjaran murba. Dalam bahasa kini, pantun ini da­pat dipahami sebagai introspeksi kilas balik, melihat apa yang terjadi (dari Ratu Dewata, Ratu Sakti, dan Ratu Nilakendra), sebagai penyaksi sirnanya kejayaan sudah dibangun dengan susah payah.

BACA JUGA :  Menu Tanggal Tua, Kacang Panjang Tumis Telur yang Murah dan Praktis

Masuknya Islam yang dibawa oleh Maulana Yusuf, menandai era baru Pakuan. Kendati demikian, tradisi hidup di masa sebelumnya tetap terpelihara. Wangsakerta dan Pleyte mencatat, kesetiaan pada tradisi masa lalu, terus ter­pelihara dengan kebiasaan ngem­bang atau nyekar, baik dengan kembang atau bebungaan maupun dengan bebatuan warna warni. Terutama di pusat-pusat dangiang yang di era Ratu Dewata menjadi sentra pertapaan.

Dalam dimensi kini dan masa datang, apa yang terjadi di masa Suryakencana ini dapat diambil hikmahnya sebagai konsistensi ter­hadap kontinuitas dalam memeli­hara nilai-nilai kebajikan sebagai varietas khas sub sistem nilai bu­daya. Nilai yang menghubungkan dimensi past – present – future, masa lalu – masa kini – dan masa depan dalam satu tarikan nafas.

Kelak kita bertemu dengan Dharma Siksa, Sanghyang Siksa Kandang ing Karesian yang disu­sun oleh Sang Sadujati, sebelum akhirnya bersentuhan dengan es­ensi ajaran Islam yang diajarkan oleh Maulana Yusuf dan pengi­kutnya. Termasuk sinkretisma yang berkembang dalam adat dan tradi­si, sampai kini. Paling tidak dalam siklus kehidupan insan Sunda di Pakuan.

============================================================
============================================================
============================================================