Oleh: BUDI SANTOSO
Direktur Ciruss (centre of Indonesian resuarches strategic studies)
Seperti kita ketahui dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bumi, air dan kekayaan yang terkandung diÂdalamnya dikuasai negara dan harÂus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Apakah transaksi tersebut benar-benar mencerminkan dikuasai negara dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat?
Tujuan awal diwajibkan diÂvestasi adalah untuk meningkatÂkan peran nasional dalam penÂgusahaan mineral dan batubara, baik manfaat secara ekonomi maupun kompetensi (manajemen dan teknologi).
Peningkatan peran nasional adalah pemerintah, BUMN mauÂpun swasta nasional. Oleh sebab itu, divestasi tidak sekedar melakÂsanakan peraturan dan undang-undang belaka, tetapi harus diliÂhat manfaat yang lebih besar lagi yaitu tujuan dan kepentingan naÂsional.
Perhitungan nilai saham seÂcara sederhana dapat didasarkan pada aset atau aktiva perusahaan. Tetapi untuk membuat estimasi jangka panjang, valuasinya denÂgan menghitung Net Present Value (NPV) potensi keuntungan bersih selama umur usaha, yang didasarkan pada izin yang masih berlaku dan risiko-risiko yang mungkin terjadi pada pengusaÂhaan tersebut.
Penawaran Freeport untuk saÂham 10,64 persen seharga US$ 1,7 miliar, banyak pihak mengatakan terlalu mahal yang akhirnya munÂcul spekulasi tentang bagaimana nilai saham tersebut dihitung.
Pengakuan Freeport yang menghitung nilai saham berÂdasarkan umur tambang sampai 2041, dirasakan menyalahi konsep valuasi yang sering dipergunakan untuk pertambangan (contoh VALMINE CODE, Australia), di mana perhitungan valuasi hanya sesuai izin yang berlaku.
Prinsip lain yang juga ditetapÂkan dalam KK adalah mineral belum menjadi milik penamÂbang sebelum kewajiban kepada pemerintah dibayar (royalti dan kewajiban lainnya). Artinya emas, perak dan tembaga yang ada di Grasberg masih milik pemerintah.
Freeport sebagai kontraktor pemerintah perlu ditegaskan kemÂbali, perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu tidak bisa memproyeksikan pendapatannya berdasarkan pada jumlah emas yang ada di Grasberg.
Bagaimana Menilai Harga Saham Freeport?
Nilai aktiva Freeport pada 2014 hanya US$ 9,1 miliar dan keuntunÂgan bersih US$ 500 juta, turun dari US$ 784 juta di 2013. Proyeksi ke depan di mana Freeport sedang mengembangkan tambang bawah tanah (underground mining) dan disertai penurunan produksi dan harga komoditi (emas dan tembaÂga), maka proyeksi ke depan bisa menurunkan pendapatan dan keuntungan bersih.
Perhitungan saham Freeport tidak boleh melebihi umur tamÂbang yang saat ini berlaku hanya sampai 2021.
Secara sederhana perhitunÂgan Freeport, nilai 100 persen tidak boleh melebihi fix asset-nya pada 2015 plus potensi keuntunÂgan 2015 sampai 2021 atau sekitar US$ 5,6 miliar (asumsi 5 x US$ 500 juta), atau senilai US$ 8,1 miliar dan jauh dari nilai yang ditawarÂkan dan saham dengan jumlah 10,64 persen tidak lebih dari US$ 860 juta.
Penawaran Freeport yang bernilai US$ 1,7 miliar juga sangat jauh dengan pembelian saham Indocooper Investama melalui Nusamba (Almarhum Bob Hasan) oleh Freeport, dengan jumlah 9,36 persen senilai hanya US$ 380 jutaan pada 2002, di mana saat itu proyeksi keuntungan cukup besar dan umur Freeport masih 19 tahun.
Pertimbangan-pertimbangan lain yang harus diperhitungkan jika pemerintah membeli saham, yakni kondisi keuangan induk usaha Freeport Indonesia, yaitu Freeport McMoran yg memiliki kewajiban utang jangka panjang yang jatuh tempo pada 2017 dan 2019. Ini akan berakibat pada kondisi FreeÂport Indonesia dan Pemerintah Indonesia akan menanggung dan tidak akan mendapatkan dividen seperti beberapa tahun terakhir.
Apabila Freeport masih memÂpertahankan pada nilai harga yang tinggi dan umurnya tinggal 5 tahun ke depan, beberapa ahli menyatakan, sebaiknya Freeport diminta membeli balik saham pemerintah dengan harga terseÂbut atau pemerintah membeli harga tidak lebih dari harga yang pernah dibeli dari Nusamba.
Divestasi yang dilakukan terÂhadap 10,64 persen dengan harga yang begitu tinggi dan sesuai denÂgan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014, di mana entitas nasional hanya memiliki maksimum 30 persen, berarti pemerintah masih dalam posisi minoritas. Ini posisi yang lemah dalam ikut menentukan kebijakan perusahaan.
Apabila kontrak karya (KK) diakhiri, pemerintah bisa mendapatkan 100 persen dan hanya mengganti aset bergerak dan tidak bergerak milik Freeport dikurangi fasilitas umum, jalan, pelabuhan, rumah sakit dan sekoÂlah. Opsi ini lebih menarik dariÂpada pemerintah membeli 10,64 persen saham dengan harga yang tidak wajar, dan posisi pemerintah masih lemah.
Berdasarkan uraian di atas dan mengacu pada tujuan dan keÂpentingan negara serta ketentuan UU, di mana mineral adalah milik negara, maka penawaran harga saham Freeport dinilai terlalu maÂhal, dan pemerintah masih belum dapat mewujudkan tujuan dan keÂpentingan maupun manfaat strategis lainnya bagi negara.
Apabila pemerintah dihadapÂkan pada pilihan yaitu divestasi atau mengakhiri KK, dari uraian di atas dapat disimpulkan pemerinÂtah lebih baik mengakhiri KK.
Sumber daya mineral sebagai sumber daya tak terbarukan, maka kesempatan yang didapat adalah hanya sekali dan tidak ada kesempatan kedua apabila sumÂber daya mineral tersebut habis.
Freeport di Indonesia sudah hampir 50 tahun, kemampuan bangsa dalam bidang ekonomi dan kemampuan putra putri bangsa sudah bagus, maka sudah saatnya bangsa ini percaya diri terhadap kemampuannya dalam mengelola kekayaan alam yang tiÂdak dimiliki negara lain.
Dengan tidak memperpanjang kontrak Freeport yang berakhir pada 2021, Indonesia akan menÂguasai 100 persen saham PT FreeÂport Indonesia tanpa mengeluarÂkan uang sepeserpun alias gratis.
Kalaupun terpaksa harus meÂmilih divestasi, maka kerangka yang dipilih harus menjadi bagian dari tidak akan memperpanjang pengelolaan Grasberg.
Apabila pilihan adalah mengakhiri KK dan memilih divestaÂsi dengan manfaat maksimal, pemerintah perlu menyiapkan tim yang kuat untuk menangani aspek-aspek penting demi keberÂlanjutan tanpa mengganggu operasi yang sudah berjalan.
Persiapan yang perlu dilakukan antara lain: