IMG-20151209-WA0002MENGEMBAN tugas profesi dokter adalah hal yang mulia, bagaimana tidak, dokter adalah orang yang merawat pasien kala sedang sakit, kritis dan harus mau ditempatkan dimanapun ia bertugas, sekalipun di lokasi yang terpencil. Namun ternyata tidak mudah menjadi seorang dokter, dan tidak semua orang bisa menghargai apa yang sudah dilakukan oleh dokter. Meskipun dokter sering kali dianggap sebagai ujung tombak nyawa seorang pasien, namun tetap saja mereka adalah manusia dan bukan Tuhan yang dapat menentukan nyawa seseorang.

Oleh : Latifa Fitria
[email protected]

Seperti pengalam yang sudah dirasakan oleh oeh dr Tara Agustine Lesmana, mu­lai dari di maki-maki oleh pasien, bertu­gas di wilayah yang terpencil hingga terbelenggu dalam rasa bersalah karena kematian pasien yang ia tangani. Segala pengalam itu sudah ia telan bulat-bulat dari ratusan pasien yang per­nah ia tangani.

BACA JUGA :  Jangan Asal! Tips Memanaskan Makanan yang Benar dan Baik, Simak Ini

“Tidak mu­dah menjadi seorang dokter, saya pernah di tugaskan ke salah satu pusk­esmas yang ada di Balikpapan selama setahun. Banyak pengalaman berke­san selama saya tugas disana dan butuh waktu berhari-hari untuk menceri­takannya,” papar wanita kelahi­ran 1 Agutus 1989 ini kepada BOGOR TODAY.

Tapi siapa menyangka, wanita yang san­gat ingin menjadi dokter anak-anak ini sering mengalami rasa bersalah yang mendalam, kala pasien yang datang ternyata sudah meninggal atau harus meninggal pada saat ia sedang beru­saha memberikan pertolongan.

“Pengalam pertama kali saya saat harus menghadapi pasien yang meninggal itu berat, rasa bersalah saya besar. Dan titik terberatnya saat saya harus menyampaikan ke­pada keluarga pasien, terutama jika pasiennya anak kecil, saya bisa tenggelam pada rasa bersalah saya,” urai wanita yang sangat me­nyukai warna pastel ini.

BACA JUGA :  Minum Teh Bisa Merusak Ginjal, Benarkah? Ini Kata Dokter

Kendati begitu, seiring berjalannya waktu, wanita lu­lusan Universitas Atmajaya ini sema­kin terbiasa den­gan kondisi seperti demikian, namun tetap rasa tidak nya­man selalu ada di de­tik ia harus menyampai­kan kabar buruk kepada keluarga pasien, tetapi ia bertekad untuk tidak larut ter­lalu lama.

“Sekarang, kalau saya dalam situasi yang seperti demikian, saya berusaha berfikir jika memang Tuhan berkehendak umurnya (pasien, red) harus berakhir, artinya memang bukan kar­na saya yang tidak mampu, itu sudah jalan takdir manusia dan Tuhan sudah mengaturnya. Yang jelas saya sudah berusaha semampu saya,” kata wanita yang kini bertugas di Pulau Dewata, Bali.

============================================================
============================================================
============================================================