Nama lengkapnya Lo Siaw Ging, namun ia lebih dikenal dengan panggilan dokter Lo. Di tempatnya praktik, dokter keturunan TiongÂhoa berusia 80 tahun ini populer bukan hanya karena diagnosa dan obat yang diberikannya selalu tepat, tapi juga karena ia tidak pernah meminta bayaran dari pasiennya.
Oleh : Latifa Fitria
[email protected]
Setiap hari, kecuali Minggu, puluhan pasien antre di ruang tunggu prakÂteknya. Mereka berasal dari berbÂagai kalangan, mulai tukang becak, pedagang kaki lima, buruh pabrik, karyawan swasta, pegawai negeri, hingga pengusaha. Pasiennya juga banyak yang berÂasal dari luar kota, seperti Sukoharjo, Sragen, Karanganyar, Boyolali, Klaten, dan Wonogiri.
Dokter Lo menjadi istimewa karena tidak pernah memasang tarif. Ia juga tak pernah membedakan pasien kaya dan miskin. Ia jusÂtru marah jika ada pasien yang menanyakan ongkos periksa padahal ia tidak punya uang. Bahkan, selain membebaskan biaya periksa, tak jarang Lo juga membantu pasien yang tiÂdak mampu menebus resep. Ia akan menuÂliskan resep dan meminta pasien mengambil obat ke apotek tanpa harus membayar. Pada setiap akhir bulan, pihak apotek yang akan menagih harga obat kepada sang dokter.
Perlakuan ini bukan hanya untuk pasien yang periksa di tempat prakteknya, tapi juga untuk pasien-pasien rawat inap di rumah sakit tempatnya bekerja, RS Kasih Ibu. AlÂhasil, Lo harus membayar tagihan resep anÂtara Rp 8 juta hingga Rp 10 juta setiap bulan. Jika biaya perawatan pasien cukup besar, misalnya, harus menjalani operasi, Lo tiÂdak menyerah. Ia akan turun sendiri untuk mencari donatur. Bukan sembarang donatur, sebab hanya donatur yang bersedia tidak disebutkan namanya yang akan didatangi Lo.“Beruntung masih banyak yang percaya dengan saya, †kata dia.
Di mata pasien tidak mampu, Lo memang bagaikan malaikat penolong. Ia menjungkirbalÂikan logika tentang biaya kesehatan yang selaÂma ini sering tak terjangkau oleh pasien miskin. Apa yang dilakukan Lo juga seperti membantah idiom “orang miskin dilarang sakitâ€.
“Saya tahu pasien mana yang mampu membayar dan tidak. Untuk apa mereka membayar ongkos dokter dan obat kalau setelah itu tidak bisa membeli beras? Kasihan kalau anak-anaknya tidak bisa makan, †ujar anak ke 3 dari 5 bersaudara itu.
Toh meski galak, Lo tetap dicintai. Ia menjadi rujukan berobat terutama bagi merÂeka yang tidak mampu. Namun dokter luluÂsan Universitas Airlangga Surabaya ini meraÂsa apa yang ia lakukan bukan sesuatu yang luar biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan.
“Tugas dokter itu menolong pasiennya agar sehat kembali. Apa pun caranya. Saya hanya membantu mereka yang membutuhÂkan pertolongan dokter. Tidak ada yang isÂtimewa, †ujar dokter yang buka praktek di rumahnya, Kampung Jagalan, Jebres, Solo.
Setamat SMA, Lo menyatakan keinginanÂnya untuk kuliah di kedokteran. Ketika itu, ayahnya hanya berpesan jika ingin menjadi dokter jangan berdagang. Sebaliknya jika ingin berdagang, jangan menjadi dokter. RuÂpanya, nasÂehat itu sangat membekas di hati Lo. Maksud nasehat itu, menurut Lo, seorang dokter tidak boleh mengejar materi semata karena tugas dokter adalah membantu orang yang membutuhkan pertolongan. Kalau hanya ingin mengejar keuntungan, lebih baik menÂjadi pedagang. .
â€Jadi siapa pun pasien yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus melayÂani dengan baik. Membantu membantu orang itu tidak boleh membeda-bedakan. Semuanya harus dilakukan dengan ikhlas. Profesi dokter itu menolong orang sakit, buÂkan menjual obat, †ujar suami dari Gan May Kwee ini.