NILAI tukar dolar Amerika Serikat (USD) mulai rontok. Mata uang Paman Sam itu melemah terhadap banyak mata uang dunia. Pada perdagangan Rabu (10/2/2016), USD ditutup merosot pada level terendahnya dalam 3,5Â bulan terakhir.
YUSKA APITYA AJI ISWANTO
[email protected]
Merosotnya USD tersebut lantaran para investor masih menunggu langkah Gubernur Bank Sentral AS the Federal Reserve (the Fed) Janet Yellen dalam menentukan arah suku bunganya ke depan.
USD anjlok hingga lebih dari 3% selama dua minggu terakhir, akibat kekecewaan para investor atas ekspektasi perekonomian AS. Terlebih, investor juga khawatir terhadap geÂjolak harga minyak dunia yang terus merosot.
Di sisi lain, perlambatan ekonomi China juga memberikan sentimen negatif terhadap pasar keuangan dunia. Kesehatan bank-bank di Eropa juga menjadi salah satu penyebabÂnya. Pasalnya, permintaan USD berkurang. USD sebagai salah satu aset yang dinilai aman (safe haven) kini tergeser yen yang menguat tajam terhadap USD.
Dolar AS tercatat anjlok hingga 5% dalam kurun waktu dihitung dari awal Desember tahun lalu, usai the Fed menaikkan tingkat suku bunganya. Saat the Fed menaikkan suku bunganya, para investor bergegas untuk meÂnyimpan dananya di aset USD yang dinilai memiliki imbal hasil yang lebih tinggi. Strategist Currency BNP Paribas Michael Sneyd mengatakan, Yellen melakukan kongres pada 13.30 GMT (waktu setempat), dan sepertinya tiÂdak ada sinyal untuk menaikkan suku bunganya. “Ia (Yellen) mengatakan ekonomi AS sudah semakin baik, tetapi mengakui bahwa keputusanÂnya yang belum menaikkan suku bunga tahun ini baik, dan ini telah menyebabkan pengetatan kondisi moneter,†kata dia seperti dlansir ReÂuters, Rabu (10/2/2016).
“Sepertinya kami akan tetap dalam rezim di mana dolar terus meÂlemah terhadap euro dan yen,†kata Michael mengutip perkataan Yellen. Dalam 3,5 bulan, USD jatuh terhadap euro ke USD 1,13385 EUR. Dolar AS turun 0,3% terhadap yen ke 114,63 JPY, ditutup terendah dalam 15 bulan terakhir di 114,05 di hari sebelumnya.
Terhadap rupiah, USD juga meÂlemah. Berdasarkan data perdaganÂgan reuters, USD saat ini bertengger di posisi Rp 13.330, jauh lebih rendah dibandingkan pada pembukaan Rabu pagi di Rp 13.581. Soal fenomena ini, Ekonom Destry Damayanti menilai, pelemahan USD terjadi karena invesÂtor melihat data-data makro ekonomi AS yang tidak memuaskan.
Melihat hal tersebut, investor meÂmandang jika negeri adidaya terseÂbut belum akan memasuki masa recovery atau perbaikan ekonomi. Hal ini membuat USD tertekan terÂhadap rupiah. Tak hanya itu, USD juga melemah terhadap mata uang di negara-negara Asia lainnya. “Karena sebenarnya gini, faktornya sama lah global sama domestik. Kan tadinya ekspektasinya Amerika ekonominya cepat pulih, ternyata kan data-data menunjukkannya beda. Kayak kemaÂrin pertumbuhan (Amerika) di kuarÂtal IV tak sebagus yang diperkirakan, kemudian jumlah penciptaan lapanÂgan kerja, manufacturing-nya tidak sebagus yang diperkirakan orang. Akibatnya mereka semua mikir, oh ini recovery masih lama nih, terus juga bunga mungkin nggak akan naik cepat,†jelas dia saat ditemui di Kampus UI Salemba, Jakarta, Rabu (10/2/2016).
Di sisi lain, Destry mengatakan, perekonomian Indonesia mulai meunjukkan tanda-tanda pemulihan. Hal tersebut bisa dilihat dari pertumÂbuhan ekonomi yang telah dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu.
Meskipun secara full year 2015, ekonomi Indonesia tumbuh melamÂbat ke 4,79% dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 5,02%, namun di kuartal IV-2015, pertumbuhan ekoÂnomi Indonesia naik tinggi ke 5,04%. Hal ini menjadi sentimen positif bagi Indonesia, khususnya terhadap nilai tukar. “Nah di satu sisi dia melihat Indonesia punya growth story, perÂtumbuhan kita tahun 2015 kan better than expected, terus juga kalau kita lihat beberapa data leading indicator kan menunjukkkan tren mulai naik,†terangnya.
Di samping itu, banyak kebijakan pemerintah yang juga memberikan sentimen positif di pasar keuangan Indonesia. Ini menjadi dorongan tersendiri bagi perekonomian IndoÂnesia, khususnya rupiah. “TermaÂsuk juga policy kita sudah konsisten dengan perkembangan yang ada, jadi menunjukkan betapa prudent nya regulator Indonesia,†pungkasnya. (*)