JAKARTA, TODAY — Dolar Amerika Serikat (AS) terus meÂlemah terhadap rupiah. Bahkan kemarin USD turun ke bawah Rp 13.000. Pada data Reuters, Senin (7/3/2016), USD sempat meÂnyentuh nilai terÂendahnya di Rp 12.990.
Sejak pekan lalu, USD memÂperlihatkan tren melemah terÂhadap rupiah. Hal ini didorong oleh derasnya dana asing yang masuk ke sektor keuangan dalam negeri. Jumlah dana yang masuk ke Indonesia dalam dua bulan pertama di 2016 mencapai Rp 35 triliun. Menurut Ketua Asosiasi PeÂrusahaan Pialang Pasar Keuangan Indonesia atau Indonesia Money Brokers Association (Inamba), MelÂchias Markus Mekeng, penguatan rupiah masih bisa terjadi. Namun dia mengharapkan penguatan rupiÂah tidak terjadi terlalu cepat. “Pada 1997, kita pernah mengalami dolar sampai Rp 16.000. Pada saat itu, Pak Habibie mengambil satu langÂkah yang cukup bagus sehingga doÂlar bisa turun ke Rp 6.800. Cuma kaÂlau turunnya terlalu cepat, ini juga buat perekonomian kita, terutama ekspor impor kita, bisa tidak komÂpetitif terhadap barang di luar negÂeri kalau terlalu mahal kita punya rupiah. Memang kalau mau turun, harus berkala supaya ekspor kita bisa kompetitif,†papar Melchias, di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (7/3/2016).
Dia memperkirakan, tingkat awal yang harus dicapai adalah Rp 12.500/USD. Pada tingkat ini, MelÂchias mengatakan, para perusaÂhaan bisa melakukan penyesuaian terhadap ongkos produksi mereka. “Dan mudah-mudahan dari harga Rp 12.500/USD, itu masih bisa komÂpetitif untuk menjual barang merÂeka,†ujar Melchias. “Dan jangan sampai China mendevaluasi yuan. Itu lebih berbahaya. Kita harus lihat penurunan currency (mata uang) itu harus dikaitkan juga dengan negara sekitar kita,†katanya.
Melchias juga mengatakan, bunÂga atau imbal hasil investasi di IndoÂnesia masih menarik dibandingkan negara lain. “Antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga di luar kan masih cukup bagus. Di Amerika, bunga paling 0,25 persen. Di sini maÂsih bisa dapat 7 persen, ada kurang lebih masih ada 6,5 persen kalau mereka hedging. Cost hedging-nya mungkin 4 persen, mereka masih ada split 2-3%,†jelasnya.
Jadi menurutnya, Indonesia masih merupakan tempat yang cuÂkup atraktif imbal hasil investasinya dibandingkan negara lain. Kondisi ini menjadi sinyal positif buat Indonesia.
Karena itu, banyak dana asing berupa USD yang masuk ke dalam negeri dan diinvestasikan ke pasar modal dengan membeli saham. Dalam 2 bulan ini, kurang lebih ada Rp 35 triliun dana asing yang masuk ke pasar keuangan Indonesia.
“Rupiah nanti bisa di level Rp 12.000. Sebenarnya tidak akan membuat saya surprise, karena bahkan bisa lebih dari itu terganÂtung inflow (arus dana asing yang masuk) sebanyak apa,†kata Chatib Basri, Visiting Fellow, University of California, San Diego, kemarin.
Cerita penguatan rupiah, tidak berbeda jauh dari saat melemah. Selalu ada dua faktor, yaitu eksterÂnal dan internal. Untuk negara sepÂerti Indonesia yang masih menata fundamental ekonomi, faktor eksternal jelas berpengaruh besar. Eksternal, dimulai dari kondisi AS. Suku bunga acuan negara tersebut yang kenaikannya didengungkan sejak akhir 2013 sudah terealisasi pada Desember 2015, dengan realÂisasi 25 basis poin.
Harapannya, ekonomi AS bisa kembali bergairah dan tumbuh lebih cepat. Maka kemudian muncul renÂcana kenaikan suku bunga acuan lagi secara bertahap selama 2016. NaÂmun rencana kenaikan suku bunga acuan ini dipatahkan oleh Bank SenÂtral AS sendiri, yaitu Federal Reserve (The Fed). “Ekonomi global dan AS masih lemah, Yellen (Gubernur bank sentral AS) belum akan menaikkan bunga tahun ini,†ungkap Mantan Menteri Keuangan tersebut.
Kemudian Jepang. Ekonomi negeri sakura tersebut masih lesu, bahkan deflasi masih terjadi berkepanjangan. Sehingga solusi yang dikeluarkan adalah penerapan suku bunga negatif. Tujuannya, agar masyarakatnya lebih banyak memÂbelanjakan uangnya dibandingkan harus disimpan di bank. Sebab dengan suku bunga negatif, artiÂnya orang yang menyimpan uang di bank justru harus membayar bunga, bukan mendapatkan bunga.
Tapi kenyataannya berbeda. Yen yang diharapkan melemah justru malah terapresiasi. Sebab orang Jepang cenderung membeli yen untuk kemudian dipindahkan ke negara lain dengan bunga lebih tinggi atau dikenal dengan nama carry trade. Eropa juga punya naÂsib yang tidak berbeda jauh, yakni menerapkan suku bunga negatif. “Setelah itu kondisinya orang bingung mau simpan uang di mana.
(Yuska Apitya/dtkf)