9402900202_d370151059_bMeski melambat, ekonomi Indonesia tetap tumbuh positif. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2015 hanya akan berada pada kisaran 4,7%, lebih rendah dari proyeksi 5,2%.

Oleh : Alfian Mujani | Detik Finance
[email protected]

Dengan hanya tumbuh 4,7% tahun ini, meru­pakan laju terendah sejak tahun 2009. Per­lambatan terjadi seiring nilai tukar rupiah yang juga melemah, bahkan sempat mencapai titik terendah ter­hadap dolar Amerika Serikat sejak krisis tahun 1997. Ini menimbulkan kekhawatiran aliran modal asing akan keluar dengan deras sehingga membawa Indonesia kembali ke­pada krisis ekonomi.

DBS Group Research menilai, kekhawatiran ini sangat berlebihan karena yang dialami Indonesia bu­kan hal unik. Perlambatan ekonomi tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lain. Perlu dicatat, USD mengalami penguatan terhadap hampir selu­ruh mata uang global, bukan cuma terhadap rupiah.

Sepanjang Januari–Oktober 2015 memang ada aliran modal keluar dari bursa saham sebesar USD 1,3 miliar. Namun di pasar obligasi neg­ara, pembelian bersih asing dalam periode yang sama mencapai USD 5 miliar. Ini artinya masih lebih banyak dana yang masuk ketimbang keluar. Investor di pasar obligasi memiliki horizon investasi yang cenderung jangka panjang. Mereka menilai prospek Indonesia masih akan baik untuk waktu lama.

BACA JUGA :  Pencok Kentang Betawi, Makanan Renyah yang Gurih Bikin Nagih

Secara fundamental, kondisi In­donesia sekarang sudah jauh lebih baik. Pemerintah sudah berhasil menurunkan rasio utang dari 100% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2000 menjadi 25%. Kapasitas cadangan devisa masih mampu menutupi lebih dari 200% utang luar negeri jangka pendek. Sebagai perbandingan, pada tahun 1994–1997 cadangan devisa Indone­sia hanya berkapasitas 50%.

Saat ini rata-rata defisit neraca transaksi berjalan sebesar 3%, sama seperti sebelum krisis tahun 1997– 1998. Tapi yang membedakannya, nilai investasi langsung asing (FDI) bersih mencapai 2% terhadap PDB. Masih lebih tinggi dibandingkan han­ya 0,8% sebelum krisis tahun 1997.

Bahkan di tengah perlambatan ekonomi global, jumlah FDI per Sep­tember mencapai USD 21,3 miliar. Hingga akhir tahun diperkirakan bisa mencapai USD 28 miliar, lebih tinggi dari proyeksi awal DBS sebesar USD 25 miliar. Masuknya FDI mem­buat defisit neraca transaksi berjalan tidak terlalu bermasalah karena dibi­ayai oleh investasi jangka panjang.

BACA JUGA :  Sajian Malam Hangat dengan Bakso Udang Kuah Bening yang Gurih dan Mantap, Wajib Coba

Kabar menggembirakan lainnya, sekitar 40% FDI masuk ke sektor jasa dan tersier, termasuk infrastruktur. Catatan ini penting karena pemban­gunan infrastruktur akan menentu­kan perkembangan ekonomi Indo­nesia dalam jangka panjang.

Sementara dalam jangka pendek, tanda-tanda percepatan belanja pemerintah telah memberikan ha­rapan pada paruh kedua tahun ini. Terlihat dari data PDB pada kuartal III yang menunjukkan adanya pen­ingkatan pertumbuhan investasi. In­vestasi akan semakin tinggi apabila dunia bisnis sudah mulai beradaptasi dengan nilai rupiah yang terlihat leb­ih stabil dalam satu bulan terakhir.

Ekonom DBS Group Research– Gundy Cahyadi mengatakan, pertum­buhan ekonomi 2016 bisa lebih tinggi jika pemerintah bisa merealisasikan penyerapan anggaran 90–95%. Ter­masuk 80% untuk anggaran belanja modal. Bila ini terjadi maka dampak tidak langsung bagi sektor swasta akan lebih besar dari perkiraan.

DBS memperkirakan pertumbuhan Indonesia tahun depan akan membaik dan bisa mencapai 5,2% meski per­lambatan ekonomi Tiongkok dan ren­cana kenaikan suku bunga Amerika tetap akan membawa ketidakpastian terhadap ekonomi global ke depan.

(Detikfinance) intennadya

============================================================
============================================================
============================================================