SETIAP menjelang Hari Raya Idul Fitri, selalu diwarnai fenomena khas “mudik Lebaran†ke kampung halaman. Mudik Lebaran tidak lagi sekadar pulang kampung, melainkan juga sudah jadi prosesi ritual yang melambangkan suatu sikap dan keterikatan hidup manusia atas komunitas dan sejarahnya.
Oleh: MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
Pemudik tahun ini pun diprediksi akan terus meningkat, sehingga keamanan dan kenyaÂmanan di jalan harus menjadi perhatian pemerintah. Aktivitas pulang kampung tahun ini juga perlu menggelorakan naÂsionalisme karena bulan Agustus ini juga kita akan merayakan keÂmerdekaan Indonesia. Perjalanan mudik harus lancar dan pemuÂdik merasa aman dari gangguan kriminalitas seperti copet dan peÂnipuan. Perjalanan mudik harus mencerminkan kefitrian dalam kebersamaan membangun nilai-nilai kebangsaan dan satunya kata dengan perbuatan.
Para pemudik harus siap menerimanya dalam kondisi apa pun, termasuk memahami konÂteks ekonomi-sosial bahwa muÂdik lebaran butuh pengorbanan. Dalam tataran demikian, wajar bila dipahami pula bahwa damÂpak positif mudik Lebaran, selain bermakna religus, juga mengandÂung semacam “prosesi kultural†yang senantiasa terpatri dalam seÂtiap gerak langkah para pemudik. Dalam prosesi mudik, seseorang akan mengenali kembali latar belakang sosial-budaya dan asal-muasalnya. Dapat dilihat pada terÂpeliharanya kekuatan ikatan batin antara pemudik dengan sanak keluarga di kampung. Di dalamÂnya tersirat suatu kehendak untuk membebaskan diri dari rutinitas kehidupan di kota-kota besar yang begitu rumit, yang kemungkinan menindas dan menderanya.
Agar dapat mudik Lebaran, orang berani meninggalkan rutiniÂtas di kota, bahkan menanggalkan masalah yang bernuansa rasionalÂitas dan pertimbangan ekonomis. Kenikmatan yang melingkupinya tidak hanya akan dijadikan sebÂagai suatu tradisi, melainkan suÂdah terakomodasi dalam gerak keÂhidupan itu sendiri. Tradisi mudik dapat membudaya dan kian maÂpan karena disirami oleh nilai-niÂlai religiusitas. Rupanya penilaian J.J. Rousseau terbukti kebenaranÂnya, bahwa sebuah tradisi yang ditopang oleh ajaran agama, akan sanggup bertahan dan mengakar kuat dalam sanubari masyarakat.
Salah satu hal yang selalu jadi masalah saat mudik adalah angkutan, padahal bentuk dan mekanismenya sudah diketahui, tetapi tetap saja menimbulkan persoalan. Kendati hal itu sudah rutin, pemerintah lebih banyak menyikapinya secara rutin pula. Bukan meningkatkan kualitas pelayanan yang menjadi hak para pemudik. Kita berharap agar perÂjalanan mudik lebih terkoordinir sehingga setiap kendala bisa diataÂsi. Perjalan mudik harus menekan kecelakaan di jalan yang kemungÂkinan menimbulkan korban jiwa.
Kecelakaan di jalan tentu tidak dikehendaki, dan untuk meniaÂdakannya diperlukan kesadaran semua pihak. Di dalamnya dibuÂtuhkan perasaan kebersamaan dan kekeluargaan dalam satu kesatuan bangsa. Mudik LebaÂran seyogianya berjalan lancar, aman, dan lebih berdimensi unÂtuk mengukuhkan persaudaraan antarsesama anak bangsa. Paling tidak, dibutuhkan kesadaran seÂtiap pengguna jalan. Akan lebih baik bila semua pihak yang terliÂbat mampu mengendalikan diri dan memiliki kesadaran hukum yang tinggi. Sadar akan hak dan kewajiban, baik itu sopir maupun penumpang pada gilirannya menÂjadi cerminan terdinamisasinya hukum dalam masyarakat.
Mudik yang mencerminkan fitrah kemanusiaan, bukanlah perjalanan ugal-ugalan. Mudik harus mencerminkan ketaatan pada aturan hukum, karena denÂgan ketaatan itulah ciri kemanuÂsiaan dan fitrah akan hadir. Sering terdengar adagium, bahwa sikap dalam berlalu-lintas adalah cerÂmin budaya bangsa, maka mudik dengan penuh kesadaran dan taat hukum merupakan cermin seÂberapa jauh Ramadhan membawa kita kembali pada kefitrian. MuÂdik Lebaran tahun ini harus tetap memberikan nuansa religiusitas yang bermakna tinggi di tengah kesulitan hidup yang terus melÂonjak.
Bangun Persaudaraan
Idul Fitri yang melahirkan tradisi mudik sarat dengan makÂna simbolis, telah menandai laÂhirnya tata nilai kehidupan baru. Apa pun akan diupayakan agar dapat pulang ke kampung untuk berlebaran, termasuk menjalani derita perjalanan mudik dengan risiko jadi korban kejahatan sepÂerti kecopetan, penipuan, atau mendapat kecelakaan dalam perÂjalanan. Perjuangan yang dilakoni pemudik, cenderung direfleksiÂkan sebagai untaian cerita menÂarik dan membanggakan dalam kehidupannya.
Kewajiban membangun kemÂbali persaudaraan yang saat ini seÂdang dilanda kemerosotan, dapat dipulihkan di hari Idul Fitri. GerÂbang kebajikan terbuka sebagai titik kulminasi pencarian jati diri terhadap sifat-sifat kemanusiaan sejati, kemudian dijadikan gerÂbang menuju kehidupan bermaÂsyarakat yang beretika dan penuh santun. Idul Fitri sepantasnya disambut dan dirayakan sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta, karena telah mampu melewati masa ujian sebulan penuh berpuasa.
Akhirnya, mudik Lebaran tiÂdak boleh hanya dimaknai sekaÂdar saling memberi maaf, tetapi juga memberikan pesan moral untuk merdeka dari kenistaan. SeÂtiap manusia pada dasarnya meÂmiliki kemerdekaan dan hak yang sama untuk memilih kehidupanÂnya, sehingga Idul Fitri juga mesti dimaknai sebagai momentum unÂtuk melepaskan diri dari belenggu pembodohan dan keterbelakanÂgan. Lebaran di kampung harus memancarkan cinta kasih (mahabÂbah) sebagai landasan pemuliaan kemanusiaan. Cinta kasih dalam bingkai Aqidah Islam yang juga merupakan dasar pengembangan tradisi mudik Lebaran, paling tiÂdak akan lebih memperkuat perÂsaudaraan antarmanusia. (*)
Terima kasih untuk artikelnya.Sebuah pencerahan,”menanggalkan masalah yang bernuansa rasionalÂitas dan pertimbangan ekonomis”untuk sebuah festival hati nurani.Semoga fenomena mudik tahun ini tidak diikuti fenomena lain, tingginya tingkat kecelakaan dan makin tingginya kesadaran pemudik dalam berkendara.Semoga kita dipertemukan lagi dengan fenomena ini tahun depan.